Part 4 - Aiyana si Gadis Gipsi (1)

185 18 0
                                    

Aku terbangun sekitar pukul delapan pagi keesokan harinya, lalu mencuci muka di bak cuci piring.
Selanjutnya, kami semua turun ke danau untuk mandi. Di dekat danau ada sebuah toilet kecil, sehingga kami bisa mandi disana.
John ada pula di dekat danau, sedang mengamati kehidupan seekor belut eropa, atau yang biasa disebut european eel.
"European eel biasa hidup di air tawar. Para ahli menyebutnya juga dengan nama Anguilla anguilla." John menjelaskan padaku. Aku mengobrol dengannya sembari menunggu yang lainnya mandi.
European eel itu melintas di antara ganggang hijau. Atau yang dikatakan John kemarin, para ilmuwan menyebutnya-- oh ya, Chlorophyta.
Selanjutnya kami melihat seekor ikan Trout, dan John kembali menjelaskan tentang ikan ini padaku.
Setelah lima belas menit menunggu, semuanya selesai mandi dan kami kembali ke karavan.
Kami sarapan bersama, dan setelah itu kembali menjelajahi bukit itu, kali ini ke sebelah barat.
Sekitar jam dua belas, saat makan siang, kami kembali untuk makan siang bersama.
Kami makan dan mengobrol, juga bercanda dan tertawa. Saat itulah aku tiba - tiba melihat kepala seseorang yang sedang memperhatikan kami tersembul dari sebuah semak - semak. Serena juga melihatnya, lalu berteriak memberitahu Sarah, yang duduk di sebelahnya.
"Mama, lihat! Ada orang di sana!" Serunya dengan antusias.
Orang yang ditunjuk itu tahu kalau ia ketahuan, lalu ia berdiri dan lari.
"Pakaiannya lusuh, dan kulitnya sangat coklat, mungkin saja ia dari kaum Gipsi." Kata ayahku.
Aku juga melihatnya sekejap sebelum ia lari. Kulitnya sangat coklat dan pakaiannya lusuh. Usianya kira - kira tujuh tahun dan rambutnya hitam. Ya, mungkin saja ayahku benar, mungkin saja ia seorang gadis gipsi.
"Kata pak Alfred, ada sekelompok Gipsi yang berkemah tak jauh dari sini." Ayahku menjelaskan.
"Bu, apa itu Gipsi?" Serena tiba - tiba bertanya pada istriku.
Istriku kebingungan menjelaskannya pada anak yang masih berumur lima tahun, yang belum mengerti tentang sebuah suku atau kaum.
Akhirnya ia menjawab, "itu adalah sekelompok orang yang tinggal di sebelah sana, sayang." Jawabnya.
Setelah itu Serena asyik menghabiskan biskuitnya yang sedang dimakannya.
Kaum Gipsi biasanya tidak suka didekati orang asing atau bergaul dengan orang asing. Karenanya, kami sepakat untuk tidak mendekati daerah dimana kaum Gipsi tinggal.
Siang itu, kami bermain - main kembali di dekat Danau dan kulihat John sedang menyelam.
"Di dalam sana indah sekali, kawan!" Serunya padaku. "Kemarilah bergabung denganku!" Ajaknya.
"Tidak, aku tidak bisa menyelam." Jawabku dari pinggir danau. John berada di tengah Danau, dan ia pun menyelam kembali.
Sebenarnya aku tak suka berada di dalam danau, sungai, laut, dan semacamnya. Berada di dalamnya membuatku merinding! Laut dan danau seperti itu sangat misterius bagiku dan tak ada yang tahu apa yang akan kaujumpai di dalamnya.
Anakku Serena sepertinya berkebalikan denganku. Ia menyukai air dan senang bermain air. Setiap kami ke danau atau sungai yang ada di sisi bukit yang satunya, ia selalu betah bermain - main dengan air sambil mandi.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga hari itu dan kami memutuskan untuk kembali ke atas.
Istriku memintaku untuk mengambil air dari sungai di bawah karena persediaan air kami kurang. Aku beranjak mengambil ember dan bergegas turun ke bawah. Hari sudah semakin sore dan aku tak mau kembali dalam gelap.
Di sekitar sungai sepi dan hanya terdengar suara desiran air dari sungai. Langit sudah mulai gelap dan aku bergegas - gegas mengisi air agar dapat kembali secepatnya.
Aku baru saja mengangkat ember yang penuh saat kudengar suara yang cukup keras, lalu jeritan. Seperti suara sesuatu yang jatuh ke rumput, lalu suara jeritan orang.
Aku terdiam dalam sedikit kengerian. Di sungau yang sepi dan hari sudah mulai gelap, dan aku hanya seorang diri.
Aku memutuskan untuk mencari tahu sebentar di pinggir sungai. Tak jauh aku berjalan, dan kutemukan seorang anak tergeletak di dekat sungai. Sepertinya ia jatuh karena tak melihat ada akar pohon yang menghalangi jalannya. Kubangunkan anak itu, namun ia tak bangun juga.
Kurasa ia pingsan, dan aku kasihan kalau harus meninggalkannya seorang diri di sini.
Aku menggendongnya di punggungku, lalu berjalan keatas dengan ember penuh berisi air di tanganku.
Tak mudah, namun aku senang aku berhasil mencapai puncak sebelum gelap.
"Seorang gadis gipsi. Diakah yang kita lihat di semak - semak itu tadi siang?" Gumam ayahku.
Kami semua merawatnya karena kepalanya berdarah. Mungkin terantuk batu di sekitar sungai.
"Kasihan sekali, bajunya sangat lusuh, dan mukanya kotor." Kata ibuku.
Istriku membersihkan luka - lukanya. Untungnya tak parah. Hanya berdarah di keningnya dan beberapa lebam - lebam di kaki dan tangannya.
Rambut keritingnya yang hitam dan tebal kotor.
Serena melihatnya dengan sedikit aneh. Dan ekspresi mukanya menunjukkan keingin tahuan tentang kedatangan tamu yang tiba - tiba itu.
Kami membaringkan anak perempuan gipsi itu di dalam karavan istriku, lalu beranjak untuk makan malam.
Bill menyalakan api unggunnya dan kami duduk di sekelilingnya untuk makan. Selesai makan kami mengobrol di sekeliling api unggun dan bercanda sampai sekitar pukul sepuluh.
"James! Anak itu sudah bangun sekarang!" Seru istriku dari dalam karavan. Kami semua yang sedang asyik mengobrol di sekeliling api unggun bergegas ke dalam karavan. Gadis itu terlihat ketakutan dan tak mau bicara. Ditanya pun, ia tak menjawab.
Istriku memberinya minum, yang diterimanya dengan takut - takut.
"Siapa namamu?" Tanya istriku. Namun gadis gipsi yang malang itu hanya memandang istriku dengan ketakutan, dan mengucapkan sesuatu dengan pelan dalam bahasa asing.
"Siapa namamu?" Tanya istriku pelan - pelan. "Aiyana." Anak itu menjawab dengan takut - takut.
"Tak usah takut, manis." Kata istriku pelan - pelan, sebab sepertinya gadis kecil ini tak begitu mengerti bahasa inggris. "Kau bisa bahasa inggris?" Tanyanya lagi. Gadis itu mengangguk pelan. "Aiyana bisa sedikit." Katanya pelan. "Nah, begitu. Bicaralah, tak usah takut." Jawab istriku lagi. "Darimana asalmu?" Tanya istriku. Gadis itu kelihatan bingung, lalu istriku mengulang lagi pertanyaannya pelan - pelan. Kali ini, dia mengerti. "Gipsi." Katanya. "Baiklah. Dengar, Aiyana. Kami akan mengantarmu pulang besok pagi." Kata istriku. Aiyana kelihatan tak mengerti, dan istriku mengulang lagi. "Kami antar Aiyana pulang besok pagi." Katanya pelan - pelan. "Terima kasih." Aiyana mengangguk.
Gadis kecil itu menyebut dirinya sendiri dengan namanya, Aiyana. Nama yang aneh di telingaku, karena nama itu baru kudengar dan tidak umum.
"Aiyana-- seperti nama dari suku indian." Kata ayahku. "Namanya memang unik karena biasanya hanya beredar di kaum mereka." Jelasnya lagi.
Sementara itu istriku menjelaskan lagi kalau Aiyana harus tidur sekarang. Gadis kecil itu mengangguk mengerti, namun ia tak terbiasa tidur di atas kasur dan memilih untuk tidur di lantai. Istriku tak suka melihatnya, lalu menghamparkan alas untuknya. "Nah, begini kan lebih baik." Gumamnya.
Aiyana mungkin tak nyaman berada di tengah kami, karena ia terus menerus gelisah dan tak bisa diam.
Kaum gipsi memang tak suka berada di tengah orang asing sehingga hal itu wajar saja.

The Red RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang