Kendall
"Ada keributan apa ini?"
Bagus. Gigi datang sekarang. Aku harus siap mendapat serbuan pertanyaan darinya nanti.
"Gi, bawa Kylie ke kamarnya. Ia butuh istirahat." Ucapku pada Gigi.
Gigi segera meletakan piringnya ke mini bar dan menuntun Kylie naik ke atas-- ke kamarnya.
"Harry. Ku mohon pergilah sekarang." Ucapku dengan wajah memelas, tidak peduli kalian akan mengataiku apa sekarang. Karena posisi ku sekarang sedang tidak baik. Mencekam, begitulah suasana yang dapat di deskripsikan dari keadaan ini.
"Berhentilah memohon seperti itu padanya, Ken." Sambar Cara.
"Oh, baiklah jika itu mau kalian, aku akan pergi sekarang. Sampai jumpa lagi Ken." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya, dan aku hanya memutar kedua bola mataku melihat tingkahnya yang kegenitan. "Dan sampai jumpa lagi, bitch!" Ucapnya seraya menunjukan jari telunjuknya tepat di depan wajah Cara. Dan Cara hanya membuang mukanya dari Harry.
Ia mulai berjalan menjauh. Ku dapati punggungnya yang mulai menghilang dari pandanganku. Segera ku tutup kembali pintu apartemen dan menyelesaikan permasalahan ini.
"Bagaimana bisa kau mengenal pria itu, Ken?" Tanya Cara to the point.
Tepat seperti dugaanku. Baru saja aku membalikkan badanku, dan aku sudah mendapatkan serangan pertanyaan pertama. Ku hembuskan nafasku berat dan menjawab pertanyaannya dengan setenang mungkin, entahlah ini akan berhasil atau tidak.
"Ia satu kampus denganku." Jawabku datar. "Dan bagaimana denganmu? Bagaimana bisa kau kenal dengannya?" Tanyaku balik.
"Ceritanya panjang, Ken. Dan aku belum siap untuk menceritakannya. Tapi aku memohon satu hal padamu, jauhi keparat itu." Ucapnya panjang lebar. Ia sedang mengatur emosinya agar tidak mencapai pada puncaknya, lagi.
Ku jelaskan, kini Gigi sudah kembali turun ke lantai dasar, bergabung dengan kami dan ia hanya mengamati kami berdua berargumen. Ia hanya menyimak dengan seksama setiap kalimat yang kami-- aku dan Cara ucapkan, tanpa mengucap sepatah katapun, sampai saat ini.
Dan ya, kembali ke ucapan Cara tadi. Bagus sekali, Cara adalah orang kedua yang memintaku untuk menjauhi Harry-- setelah Louis.
Seberbahaya itukah Harry? Kalimat itu tiba-tiba terlintas dipikiranku.
"Kenapa?" Bagus sekali, pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku yang sedang tidak bisa di ajak berkompromi ini. "Ma-- maksudku, kau bahkan tidak menjelaskan apapun kepadaku tapi dengan tiba tiba kau memintaku untuk menjauhinya. Apa alasannya?" Kataku berusaha membenarkan kalimatku sebelumnya.
Cara menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia berjalan memunggungiku dan duduk di sebuah sofa
"Baiklah. Mungkin ini waktu yang tepat aku jujur yang sebenarnya pada mu dan Gigi." Ucapnya sangat lemah.
Apa yang akan ia akui? Bulu di sekujur tubuhku langsung berdiri, aku takut kalau tidak siap menerima kenyataan apa yang belum aku ketahui sebelumnya.
"Tapi ku mohon pada kalian. Setelah ini, jangan kalian jauhi aku atau benci aku." Ujar Cara lirih. Ia sangat lemah, aku belum pernah melihat Cara selemah ini sebelumnya. Ia selalu terlihat kuat dan baik baik saja, dan ternyata ia menyimpan sebuah rahasia besar sendirian. Sekarang aku merasa seperti sahabat yang tak berguna. Tak pernah tahu apa yang sebenarnya Cara rasakan. Dan aku hanya bisa menyusahkannya saja tanoa memikirkan keadaannya.
"Percayalah padaku, Cara. Sampai kapanpun aku akan menyayangimu. Dan aku tidak akan mungkin bisa membencimu." Ucapku sambil mengelus punggungnya, berusaha untuk membuatnya merasa lebih baik.
"Jadi begini, aku pernah melakukan sebuah kesalahan besar. Aku pernah membunuh orang yang tidak berdosa, tidak bersalah." Ucapnya dengan suara bergetar, tak lama kemudian air mata itu membanjiri pipi Cara.
"A-- apa maksudmu? Aku tidak mengerti." Sekarang Gigi mulai berbicara.
"Aku membunuh bayi yang pernah hidup di rahimku." Ucapnya dengan suara tangis yang keras. Sekarang ia sudah menangis sesenggukan.
Aku memeluk tubuhnya dari samping, entahlah aku seperti bisa merasakan kesedihan Cara pada saat itu.
"Siapa yang berani melakukannya, Cara?" Tanyaku hati hati.
"Harry."
Sudah cukup. Nafasku berdetak tidak karuan. Untuk menelan ludah saja terasa sangat susah. Hatiku seperti di tusuk sebuah pisau belati sampai tembus ke seluruh permukaan tubuhku. Aku merasa aneh sekarang, antara kesal dengan apa yang telah Harry lakukan kepada Cara, dan benci atas sikap Harry yang sama sekali tidak bertanggung jawab.
Aku mengatur nafasku yang sempat tidak terartur.
"Pada beberapa tahun yang lalu, Louis, teman Harry sedang dekat denganku. Kami sering belajar bersama, menghabiskan waktu bersama, tertawa dan bercanda bersama. Susah dan senang telah kita lewati bersama sama. Aku menyayanginya, Ken. Sampai pada akhirnya, di sebuah pub aku melihat Louis sedang French Kiss dengan seorang jalang. Aku sangat kesal dan marah saat itu, aku mulai membenci Louis, karena menurutku ia hanya memberiku sebuah harapan palsu.
"Setelah itu, aku berlari ke luar pub dengan keadaanku yang sangat kacau. Aku sudah tidak ingin hidup waktu itu. Aku hanya ingin mati agar aku terbebas dari semua masalah. Aku tidak bisa hidup tanpa Louis di sisiku karena menurutku Louis adalah separuh dari jiwaku. Sampai di tengah jalan aku bertemu dengan Harry, ia melihat keadaanku yang sangat berantakan, dengan air mata yang mengalir dan make up yang rusak. Sejak saat itu, aku menjaga jarak dengan Louis dan aku mulai dekat dengan Harry." Jelasnya dengan nada dibuat sekuat dan setegar mungkin.
"Kalau kau belum siap cerita tidak usah di paksakan, Cara." Ujar Gigi. Aku mengangguk setuju dengan ucapan Gigi. Padahal dalam hatiku sebenarnya aku ingin Cara melanjutkan ceritanya, karena aku sangat penasaran dengan krlanjuran ceritanya dan karena Harry dan Louis juga sudah terlanjur masuk di kehidupanku.
"Aku masih bisa kok. Aku juga tidak ingin menutupi ini selamanya dari kalian." Ucapnya sambil mengulas senyum.
"Beberapa bulan kemudian, Harry menyatakan perasaannya padaku di sebuah pantai. Dan aku menerimanya, sehinga kami menjadi sepasang kekasih. Lalu di malam harinya kami mengunjungi sebuah frat milik Niall-- teman Harry. Kami berdua mabuk. Dan ya, kejadian keji itu terjadi ketika kami dalam keadaan mabuk. Ia telah merebut keperawananku malam itu. Keesokkan harinya setelah kami berdua terbangun dan tersadar apa yang telah terjadi semalam, aku marah sangat marah dengan apa yang telah Harry lakukan kepadaku. Tapi apa? Dia seolah tak peduli dengan apa yang telah ia lakukan. Ia mengaku bahwa ia tak pernah benar-benar mencintaiku, ia hanya ingin membuktikan kepada Louis bahwa ia bisa mendapatkan apa yang ia ingin dapatkan, dan ia ingin membuktikan bahwa ia lebih kuat dari Louis."
Kejamnya kau Harry. Rutukku dalam hati. Dasar pria bajingan.
"Dan kejadian di malam itu. Louis tidak benar benar menikmati ciuman jalang itu. Jalang itu adalah jalang bayaran Harry untuk menggoda Louis. Itu semua sudah di rencanakan oleh Harry agar aku salah paham kepada Louis. Padahal keesokkan harinya pada waktu itu, Louis sudah berusaha keras agar aku mau mendengarkan penjelasannya. Tapi aku terlalu egois, tidak mau mendengarkan ucapannya dan malah mendengarkan apa kata Harry. Louis tidak bersalah. Dan setelah kejadian menjijikan itu aku jadi merasa sangat bersalah padanya."
***
To be continued.
Part ini bakalan di bagi jadi 2 karena panjang banget. Jadi part selanjutnya nanti masih lanjutan dari part yang ini.
Sorry slow update yaw. And sorry for typo(s).
Vote + Comments sangat aing hargai itu.
CaKe on mulmed
Love to you. A.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moved On // h.s.
FanfictionBukan aku yang menginginkan hal itu terjadi, tapi takdirlah yang melakukannya. Aku berjanji atas jiwa dan ragaku, aku akan menjagamu selagi aku masih mampu melakukannya. Aku akan menjagamu sampai nafas terakhirku berhembus. -Harry Edwards Styles. Co...