Antara perang dan mie ayam

6K 347 95
                                    


"Mbak Rike, saya mau mie-nya yang mateng banget, banyakin sawi sama taoge, baksonya urat yang paling gede, kuahnya juga yang banyak, ya." Nta berbalik menghadap Mona yang mengaduk keranjang rempeyek dan kerupuk kulit, "Kamu mau apa, Mon?"

"Monah nggakh pakhe thaogeh, baksonyah thelor yhang beshar yah."

"Mpok Vivi?"

"Cem biasanya je, lah." Bu Vivi sedikit tak peduli, dia sibuk dengan hapenya.

Nta hanya mengangguk-angguk sebelum berpaling padaku, "kamu Mae?"

"Eemm ... mie ayam aja deh, nggak pake sayuran, nggak pake taoge juga nggak pake bakso," sahutku sambil mencomot kerupuk kulit dari keranjang yang masih saja diaduk-aduk Mona.

"Lah, kenapa? Tenang aja Mae, sekarang yang bayarin Rumonah. Iya kan, Mon?"

"Iyyaahhh, khapanh sih Monah phernah bhohongh?"

"Bukan takut nggak ada yang bayarin, tadi aku udah makan siang sama Mas Hendra di rumah. Takutnya nggak abis kalo pesen yang aneh-aneh, baru juga jam empat," kataku pada Nta.

"Hooo ... ya udah, Mbak Rike ini Mona mie ayam nggak pake toge trus pake bakso telor yang gede banget, Mpok Vivi seperti biasanya dia beli, trus Mae, mie ayam lengkap semuanya ..."

"Ehhh ... Nta!"

"Tapi khusus Mae, mie ayamnya dipisah. Jadi mie ayam di mangkok pakein daun bawang aja sama ayamnya. Trus sawi, toge, bakso telor, bakso urat sama bakso kecilnya diplastikin, dibungkus kasih kuah yang banyak, ya."

Nah, dasar si tukang kredit pelit, masih aja ngakalin orang buat keuntungannya sendiri. Aku yakin banget kalau bakso yang dibungkus itu bakal makan Pak Dana nanti malam.

"Eh Mbak Nta, ini Mbak Vivi pesen apa tadi?" Mbak Rike tampak bingung.

"Kata Mpok Vivi pesen yang biasa. Iya kan Mpok Vivi?"

"Humm," Bu Vivi hanya membalas dengan gumaman. Tangan dan matanya masih asyik memainkan hape baru yang kata Mas Hendra mah itu pasti hape kawe.

"Gosipin siapa lagi, Mpok?" Nta mengambil tempat duduk di sampingku hingga kami berempat duduk berhadap-hadapan. Matanya tertuju pada Bu Vivi yang sedang tertawa kecil.

"Gosipin Rumonah, ada angin apa sampai kita ditraktir makan di warung mie ayam 'Aduhai' punya Mbak Rike. Cemnya dia baru dapet transferan dari lakinya," kata Bu Vivi sambil mengetik cepat di layar gadget.

"Iisshhh, engghak malu yahh goshiphin Monah, phadhahal monah mhasih di shinihh." Mona mencebikkan bibirnya yang disaput lipstik merah darah ala ratu vampir.

"Itu nah, kalau bergosip ada orangnya namanya bukan bergosip toh?" Elak Bu Vivi. Lalu entah ada firasat apa, tiba-tiba Bu Vivi mendongak dan matanya menyapu jalan. "Arah jam dua, baju putih rambut panjang digerai cem kunti. Itu si Enjel Lela tetangga baru yang rumahnya di samping rumah Pak Amir di mulut gang. Juri lomba karoke kemaren yang cemnya mau jadi saingan Nta ngriditin barang di komplek ini. Gosipnya dia punya toko furniture di daerah bojong kenyot, ngakunya suaminya direktur perusahaan di daerah Kuningan, tapi kata informanku, suaminya mantan abang-abang jualan cilok keliling."

Seperti biasa, Bu Vivi selalu menginfokan segala sesuatunya super lengkap. Tak terkecuali kali ini. Spontan kepalaku berputar pada objek yang dikatakan Bu Vivi dan langsung mendapat tabokan krupuk kulit.

"Mae, kalo dibilangin ada gosip, nengoknya yang elegan. Jangan langsung nengok. Ketauan kan kita lagi ngomongin dia. Ndak profesional jadi mata-mata si Mae ini," gerutu Bu Vivi yang hanya kuberi senyum bersalah. Ya mana tau kalo aku nggak boleh langsung nengok. Aku kan belum belajar ilmu per-intelan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Diary Emak-Emak RempongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang