Balada Mae

6.3K 379 23
                                    

"Potong berapa, teh?"


"Dua belas aja, Kang," sahutku sambil memilah-milah kangkung di antara tumpukan sayuran hijau lainnya.


"Kalau punyaku potong enambelas ya, Kang. Eh tapi itu kayanya gede banget ya, potong delapan belas aja. Tapi kalau bisa potong dua puluh ya dua puluh aja." Nta ikutan nimbrung sambil membungkus oncom -lagi- dalam secarik potongan koran persegi.


"Mbak Nta mau bikin sop ayam?" Tanya Kang Dadan.


"Enggak, bikin ayam goreng."


"Kalau buat bikin ayam goreng mah duapuluh kekecilan, Mbak, delapan belas aja ya?" Bujuk Kang Dadan.


"Enggak, ah. Duapuluh." Putus Nta tak mau kalah.


"Sudah, kasih je lah, Kang. Cem tak tau siapa Nta." Dari belakang punggungku, Bu Vivi datang dan langsung menengahi Kang Dadan yang tampak tak tega melihat ayam di tangannya remuk oleh pisau daging. "Eh, ada Mae. Tumben Sabtu masak. Ada angin apa Mae?"


Aku menoleh dan tersenyum kecil pada Bu Vivi namun hanya itu yang kuberikan karena aku tak ingin banyak basa-basi kali ini.


"Lakinya kerja kali. Jadi, Mae Sabtu gini ke luar. Iya Mae?" Kali ini Nta lah yang bertanya.


Aku kembali menggeleng dan meminta cabe hijau besar pada Kang Dadan.


"Apalagi, Teh? Ini aja?"


"Iya, Kang."


"Ayam, kangkung, terong, cabe campur, cabe hijau besar, bawang bombai, tomat sama lodeh? Semuanya empatpuluh tujuh ribu, Teh."


Aku hanya mengangguk sambil mengangsurkan seratus ribuan untuk membayar belanjaanku. Mataku tetap tertuju pada Kang Dadan yang sedang mencari kembalian dalam tas pinggangnya.
Bukannya tak tau, sedari tadi juga aku merasakan tatapan aneh Bu Vivi dan Nta yang juga sibuk  bisik-bisik dan saling senggol. Tapi kali ini aku benar-benar tak ingin bergosip dengan mereka.


"Aiihh Mae, tumben belanjanya cepet. Ndak pengen ngobrol-ngobrol dulu?"
Bu Vivi berkedip-kedip penuh penuh penekanan, tampak sekali dia berusaha mengalihkan perhatian dan upayaku untuk kembali ke rumah.


"Enggak Bu Vi.."


"Vivi!" Bentaknya.


"Eh iya Vivi, lagi ada emaknya Mas Hendra." Sahutku dengan suara nyaris tak terdengar.


"Oooo..." Koor tercipta bersamaan dari Bu Vivi yang super kepo dan Nta yang penasaran.


"Jadi mertuamu lagi nginap, Mae?"


Kuberikan anggukan mantap pada Bu Vivi.


"Emangnya ibu mertuamu minta jatah duit belanja, kok kamu mukanya kusut gitu?" Tanya Nta makin penasaran. Lalu kuberikan gelengan beruntun sebagai jawaban pada Nta.


"Terus kenapaaa kamuu mukanya kusuutt?? Ndak bisa indehoy lagi sama Hendra? Dipelototin sama mertua jadi ndak bisa masuk kamar cepet-cepet?" Kembali Bu Vivi meneror dengan pertanyaan.


Dan aku kembali menggeleng. Tak etis rasanya menceritakan masalah rumah tangga pada tetangga. Aku nggak mau jadi bahan pergujingan.


"Beehh…  ada masalah ini sepertinya." Nta mengelus-elus dagu dengan mata menyipit kejam. Wajahnya menyiratkan kecurigaan "Mau curhat nggak Mae? Gratis deh kali ini. Aku nggak narik bayaran buat konsultasi. Tapiii.... kamu jadi ngredit springbed baru kan?"


"Isshh jangan mau Mae, sama Vivi aja. Dijamin solusinya tepat." Vivi menghalangi Nta yang sudah memegang tangan kananku yang menenteng plastik belanjaan.

Diary Emak-Emak RempongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang