[15]

4.6K 540 59
                                    


Suara ketukan palu seakan-akan menggema pada ruang persidangan tersebut. Cukup menghentakkan beberapa orang di dalamnya. Namun, setidaknya semua orang yang datang, keluar dari ruangan itu dengan raut wajah lega.

Tidak terjadi persaingan sengit antara Herdi dengan Dian. Keduanya sama-sama menerima ajuan dari masing-masing. Tidak ada pengelakkan, keduanya hanya mengikuti sebagaimana alur persidangan membawa mereka. Hingga akhirnya, keputusan akhir pun diputuskan.

Keduanya resmi bercerai pukul sepuluh tadi.

Beberapa orang yang datang sudah beranjak dari kursinya dan pulang. Hingga menyisahkan keluarga terdekat saja.

Bahkan, sebelum semuanya benar-benar keluar dari ruangan tersebut, mantan suami-istri itu pun sempat berjabat tangan dan melempar candaan ringan.

Namun, pemandangan itu tidak cukup bagi Tama. Tama menoleh ke belakang. Tepat berjarak dua orang darinya, Thaya tengah berjalan sendiri sembari mengenggam jaketnya dan diam.

Seulas senyum tipis muncul pada bibir Tama. Tama berpamitan terlebih dahulu kepada Audi karena, ingin meninggalkannya. Setelahnya, Tama pun menghampiri Thaya.

Tama tepat berdiri di sebelah kanan Thaya. Tangan Tama menepuk pundak kiri Thaya.

Merasakan tepukan pada pundaknya, Thaya pun menoleh ke arah kiri. Namun, tidak ada siapa pun di sebelah kirinya.

"Disini."

Sesaat, alis Thaya bertaut bingung karena sebuah suara muncul bagaikan hembusan angin pada telinganya. Ia pun segera menoleh dan langsung mendapati Tama berdiri di sampingnya dengan cengirannya.

"Ya, Tuhan, Gue kira siapa!" Thaya menepuk lengan Tama pelan.

"Sok kaget, banget." Tama mendengus geli sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya.

"Dilarang komentar." Balas Thaya. Kini, keduanya berjalan berdampingan.

Tama berdeham pelan sebelum bersuara kembali, "Jadi, ..."

"Jadi apa?" Potong Thaya langsung.

"Kebiasaan ah, motong." Tukas Tama dan segera menampilkan wajah kesalnya.

Thaya tertawa pelan. "Potong-potong roti ... diolesi mentega–"

Tama segera memotong Thaya. "Gue nggak nyuruh lo nyanyi, Aya."

Tawa Thaya kembali berderai. "Tapi kan, gue pengen. Lo nggak ada hak buat ngatur gu–" Thaya tersentak menghentikan ucapannya. Ia menyadari sesuatu terasa salah.

"Hak?" Balas Tama langsung, bahkan sebelum Thaya dapat mengoreksi ucapannya.

"Bu–bukan gitu ..., nggak maksud apa-apa, sumpah!" Thaya menghela nafasnya panjang dan menatap Tama dengan tatapan bersalah.

Mendapati raut wajah Tama yang terlihat datar, Thaya semakin merutuki dirinya dalam hati. Mungkin, ini karena perasaan tidak enaknya, maka ucapannya pun melantur.

Tapi sedetik kemudian, Tama tergelak tertawa. "Apa sih. Dramatis lo, Ya." Jemari Tama beralih mengusap puncak kepala Thaya pelan.

Thaya hanya diam sesaat mendapatkan gerak-gerik Tama yang sudah lama tidak ia temui. "Tam. Lo mau pulang?" Tanya Thaya. Namun, terdengar lesu.

Tama tersenyum tipis. "Kayaknya ada yang lupa."

Kening Thaya bertaut bingung. "Lupa? lupa apanya? Hari ini kita lagi nggak anniv kan?"

Sontak, Tawa Tama kembali berderai. Membuat bahunya naik turun, sembari tangannya mengepal dan menutupi mulutnya. "Kita kan anniv tanggal empat belas. Sekarang tanggal tiga belas."

Brought It To An EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang