[17] Tama

4K 495 20
                                    


"Tiga." Timpal Thaya dengan entengnya. "Jemput ya?"

Kalau saja ia masih di rumah, mungkin ia akan dengan sukarela menjemput Thaya dan mengajak perempuan itu pergi. Tapi sayangnya, tidak saat ini.

"Nggak bisa, Ya."

"Lho. Kenapa?"

Sebelum Tama menjawab, ia merasa sedikit berat untuk berkata jujur namun lebih berat lagi untuk berbohong. Tentunya, ia akan memilih jujur.

"Gue udah di bandara." Lanjutnya, yang lantas sukses membuat pikirannya menjadi tambah tidak karuan.

Hening di ujung sana.

"Ya? Jangan diem." Ujar Tama, dengan mencoba tenang.

Tidak ada balasan dari Thaya, yang ada malahan bunyi nada terputus dari ponselnya. Thaya memutuskan telfonnya.

Tama ingin sekali mematahkan stik drumnya saat ini juga. Tapi, pasti ia akan kena omel baik dari Audi atau pun Ibunya.

Jadi, yang ia lakukan hanya mengusap wajahnya frustasi. Mungkin caranya salah. Perempuan mana yang akan menerima bila ditinggal pergi begitu saja, tanpa pamit.

Tapi, justru keinginannya mengajak Thaya untuk makan–Alibi dengan soto ayam–ia ingin berpamitan dengan perempuan itu.

Namun sepertinya, respon dari Thaya terlalu abu-abu. Thaya mengiyakan tapi, tidak memastikan.

"Tam," sahut Audi tiba-tiba.

Tama menolehkan kepalanya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Papa katanya mau kesini." Lanjutnya sembari menjauhkan ponselnya dari pandangannya.

"Papa yang mana?" Tanya Tama.

Audi memutar kedua bola matanya. "Kayak bapak lo sekarung aja sih," balasnya.

"Ya, Papa Damar atau Papa Herdi, Audila? Kan ada dua." Jawab Tama sembari mendecak kesal.

"Herdi."

"Nggak sopan lo." Timpal Tama.

"Rese lo. Ini, mau gue tanyain nggak? Si Aya dateng juga atau nggak?" Tanya Audi yang kembali menyalakan ponselnya.

Tama takut berekspetasi, namun takut juga untuk mendengar kenyataannya. Tapi, berekspetasi untuk saat ini, bukan lah opsi yang baik.

"Boleh."

"Gini-gini gue bisa baca raut wajah orang lho, Tam. Insting gue bener kan, lo uring-uringan karena, Aya." Ucap Audi sembari mengetikkan suatu pesan pada ponselnya.

Tama mendengus. Perkataan Audi, sulit dipercaya terkadang. "Sotoy."

"Ah, iya! lo bukannya mau makan bareng Aya kemarin?" tanya Audi dengan pandangan penasaran.

"Nggak jadi."

"Yah, gue pengen tau sih alasannya ... tapi, gue nggak mau buat muka lo tambah kayak orang belom mandi lagi."

Tama berdecak kesal. "Itu, udah dibales belom?" Ia mengangkat dagunya mengarahkan kepada ponsel yang digenggam kakak perempuannya itu.

"Eh? nungguin juga ternyata?" Goda Audi sembari memainkan alisnya.

Tama hanya melemparkan tatapan datarnya kepada Kakak perempuannya itu.

"Belom dibales," jawabnya sembari menaikkan bahunya sekilas.

Ingin rasanya Tama menelfon Thaya kembali, namun entah mengapa, sesuatu dari dirinya memilih untuk diam sejenak. Mungkin, memberikan Thaya sedikit ruang adalah pilihan yang baik untuk sekarang. Ya sekarang dengan artian waktu yang sedikit.

Tapi, setidaknya Tama bisa bertemu Thaya saat ini. Sebelum ia masuk pesawat, dan sebelum jarak akan menjadi penengah hubungan mereka.

"Masih belum dibales?" Tama kembali bersuara.

Audi menoleh, dan kembali mengecek ponselnya. Sayangnya, ia menggelengkan kepalanya. "Udah ... udah dibales," Jeda. "Nggak dateng, Tam."

Mendengar jawaban Audi, Tama menghembuskan nafasnya perlahan.

Ia beralih mengecek notif pada ponselnya. Harap-harap, siapa tau Thaya mengirimnya pesan.

Tapi, nihil.

Tinggal dalam satu rumah yang sama, bertemu hampir tiap harinya, dan tentunya dekat. Dan semuanya sudah terjadi selama tiga tahun. Cukup membuat Tama tahu bagaimana sifat perempuan satu itu.

Tama menggerakkan jemarinya pada layar ponselnya. Ia mengetikkan pesan baru untuk Thaya.

Satu menit ...

Dua ...

Ah, keluh Tama dalam hati. Ia tidak akan mendapatkan balasan dari Thaya. Percaya lah.

Tama mengangkat tangan kanannya, dan menatap jam tangannya. "Kita delay berapa lama, Di?" Tanya Tama tanpa menoleh.

Audi menoleh namun tidak langsung menjawab. Ia mengerutkan keningnya, menandakan ia tengah menghitung. "Hmm, sekitar dua jam. Tapi, udah lewat setengah jam. Jadi ..., tinggal satu setengah jam. Kenapa?"

Tanpa mengindahkan pertanyaan Audi terlebih dahulu, Tama sudah beranjak berdiri dan meraih jaketnya yang ia taruh di atas kopernya.

"Lho ... ini mau kemana?" Kali ini, suara Ibunya terdengar.

Tama tersenyum tipis ke arah Ibunya, "Bentar doang kok. Nggak lama." Jawabnya.

"Mau kemana sih?" Tanya Audi dengan alisnya yang bertaut.

"Pergi dulu, Ma, Di." Ujar Tama dan segera melangkahkan kakinya pergi.

Semoga saja, Thaya membaca pesan yang baru ia kirimkan tadi itu.

Tama:  Ya, gue kesana.

#

a.n
1 part lagi + epilog dan...

selesai.

tapi, gue masih bimbang dengan ending yang ada pada epilog nantinya.

Tapi, daripada mikirin epilognya, liat apa yang terjadi next chap aja yaa!

Brought It To An EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang