Selena Gomez's POV
Aku meliuk-liukkan tubuhku di pole. Laki-laki yang menyaksikanku melemparkan uang kepadaku. Yes, I'm a stripper. You can call me a bitch or whatever you want, but I don't have a choice.
Aku Selena Gomez, tetapi orang-orang di club memanggilku Selly. Ibuku orang Indonesia, dan Ayahku dari US. Mereka sudah bercerai dari 2 tahun yang lalu, sekarang aku tinggal dengan Ayahku di Washington DC. Ayahku mengidap sakit gagal ginjal, dia harus sering cuci darah. Aku harus menghasilkan uang untuk biaya pengobatannya, kuliahku, dan untuk makan dengan cepat. Setiap hari Sabtu dan Minggu siang, aku bekerja di salah satu toko bunga pinggir jalan. Dan setiap malam, Aku menjadi stripper di Zax Club. Aku tidak punya pilihan lain, Aku belum lulus kuliah.
"Wow, Selly, you killed it! And something's different, hm... What is it?" Rosie menampar bokongku ketika aku masuk keruangan tempat para stripper. Rosie adalah satu-satunya temanku di Zax Club. She's pretty. Rambutnya blonde di ombre bawahnya dengan warna merah sepinggang, mata abu-abu, hidung mancung, dan bibir pink yang tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal juga.
"Thanks! It's new lingerie, I bought it yesterday." Aku memakai sweatshirt dan sweatpants ku, lalu menghapus make up dari wajahku.
"How's your dad?" Tanyanya.
"He's fine, better than before, I think." Aku merapihkan uang hasilku tadi dan menaruhnya di dompetku.
"Good, so you're going home?"
"Yeah, maybe he's looking for me right now." Aku melirik jam dinding, jam menujukkan pukul 10:30 PM. Aku memakai sweater, beanie dan ugg boots ku. It's pretty cold outside.
"Okay, see you tomorrow."
"See you." Aku mengambil tasku dan keluar dari club. Aku menyilangkan tanganku, memeluk diriku sendiri. I'm freezing. Jalanan sepi, hanya ada beberapa orang. Aku mampir sebentar di kedai kopi pinggir jalan. Aku ingat bahwa Ayah sangat suka kopi. Aku berjalan ke meja pelayan untuk memesan.
"Good night, my name is Sarah, what can I do for you?" Seorang pelayan wanita paruh baya tersenyum hangat. Menurutku wajahnya tidak terlalu tua, hanya rambut coklatnya yang bercampur warna putih sedikit.
"Can I get two mocachino's?"
"Sure, $10 for two mocachino's"
Aku mengeluarkan $10 dari dompetku dan memberikan kepadanya. Dia berbalik badan dan menyiapkan pesananku. Setelah siap, dia menyerahkan 2 cup coffee kepadaku. "Two mocachino's. Thank you, have a nice day."
"You too." Aku keluar dari kedai kopi tersebut dan kembali berjalan kerumah. Aku selalu pulang kerumah berjalan kaki karena tidak terlalu jauh dari rumahku, walaupun sangat dingin di malam hari. Aku tidak punya sepeda motor, ataupun sepeda. Sebenarnya aku punya mobil, tetapi untuk apa membawa mobil ke tempat yang jaraknya hanya seperti 15 meter dari rumah? Jadi aku hanya berjalan dengan kedua kaki ku.
Sesampainya Aku dirumah, aku berjalan menuju kamar Ayahku. Aku mengetuk pintu kamarnya.
"Dad, I'm home."
"Come in." Ujarnya dari dalam.
Aku membuka pintu dan mendapati Ayah sedang duduk diatas kasur dengan album photo berasa di pangkuannya. Aku duduk disampingnya.
"Look what I bought for you." Aku memberikan 1 cup coffee kepadanya.
"Thank you, hunny." Dia menyeruput kopinya.
"What are you doing?" Aku melihat album yang berada diatas pahanya.
"I just want to see the little Selena." Ayah tersenyum hangat. "I remember the day when you came in this world," dia menunjuk photo bayi sedang menangis terbalut kain di baby box. Lalu photo gadis kecil sekitar umur 3 tahun di pangkuan seorang wanita. "I remember when you get excited for first school," ayah menunjuk photo gadis kecil yang sama mengenakan seragam kindergarten dan tas ransel dipunggungnya. "But when you come home, you cried, you said that you get bullied."
"And you birthday party," ayah menunjuk photo gadis kecil itu lagi dengan seluruh kue memenuhi mukanya. "And when we gone fishing with Grandpa." Photo dua pria sedang duduk dikursi dengan pancingan masing-masing ditangan mereka dan gadis kecil itu memegang ikan.
"Now, look at you! You grow up so fast! You grow up into a beautiful girl, brave girl, smart girl," ayah mengusap air mata di pipiku dengan ibu jarinya. Aku bahkan tidak menyadari kapan aku menangis. Wow, I miss being a little kid. Aku merindukan menjadi anak kecil dengan seseorang bermain dengan rambutku, ketika aku masih lugu dan tidak tahu apa-apa. Where the time goes?
"It's because you." Ujarku. "Thanks for loving me, thanks for taking care of me,"
"Your happiness is all that matters to me, promise me you will be a strong girl."
"Why?"
"Just promise me you'll be." Ayah menyodorkan jari kelingkingnya.
"I promise." Aku menanutkan jari kelingkingnya di jari kelingkingnya.
A/N : that's chapter one, it's short af but I hope you liked it.
Vomment please?
KAMU SEDANG MEMBACA
WAITING
FanficI'm here, still here, and always here waiting for you. *** •Warning: This story is contain sexual scene and strong language. If you feeling uncomfortable with this story, just don't read it. And if you like it, please vote and comment, it makes me h...