3. Prince of Darkness

403K 30K 1.3K
                                    

"Gio!" Reiner memanggil puteranya yang nyelonong masuk ke dalam rumah, naik ke atas tangga tidak menghiraukan orangtuanya yang sedang duduk di ruang tv. Lisa tersenyum saat Gio menoleh, menatap kedua orangtuanya malas.

"Hm?"

"Papa denger kamu bikin masalah lagi di sekolah." Reiner masih jadi satu-satunya orang yang akan bersikap tegas. Tidak menyerah walau seringkali dia kehabisan kata dan mengalah. Tapi, pasrah dengan perilaku buruk si bungsu hanya akan menghancurkan masa depannya sendiri. Reiner tidak mau Gio tenggelam dalam lukanya, meleburkan kehidupannya karena tingkah tidak terkontrolnya saat ini. "Gio, sampe kapan kamu mau main-main kayak sekarang? Selama tinggal di Sydney sama Grandma kamu, gak pernah sekali pun kamu bikin masalah kayak sekarang."

"Jadi, Papa mutusin buat buang aku lagi?"

"Kami gak pernah buang kamu!" Reiner menyanggah. Dia berdiri dan menatap puteranya tajam. "Kami cuma~ menitipkan kamu ke Nenek kamu sebentar, biar dia gak kesepian di sana," nada suaranya kian melemah. Jika sudah membahas soal ini, dia selalu hilang kata-kata. Reiner sadar semua yang terjadi akibat kebodohannya. Tidak akan ada seorang pun anak yang senang jika sejak umur Enam tahun, dia seperti 'diusir' dari kehidupan orangtuanya.

"Papa atau Mama gak pernah ngajarin aku apa pun. Kalian juga gak ngasih aku apa pun selain uang." Gio bicara tetap dengan nada datarnya. Lisa bergetar mendengar jawaban menyakitkan puteranya. Dia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, tetap mengukir senyuman lebar menyembunyikan perih hatinya. Dia menjadi ibu yang sempurna untuk Giraka, tetapi menjadi ibu terburuk untuk Gio.

"Gio, Papa gak masalah kalo kamu benci sama Mama atau Papa-" dia tidak bermaksud mengatakannya, tidak ada orangtua yang bersedia dibenci oleh darah daging mereka sendiri. Tapi dia memang tidak punya pilihan lain. Reiner mengimbuhkan, "tapi Papa mohon jangan ancurin masa depan kamu sendiri kayak gini. Papa tau kamu sebenernya anak yang baik."

"Darimana Papa tau?" Gio menyeringai sinis. Airmata bercucuran dari dua netra sang Mama. Tidak kuat disinisi oleh Gio secara terus-menerus, "gak usah sok deket gitu deh. Bikin eneg tau gak?"

"Gio!"

Gio tidak menghiraukannya lagi. Dia bergegas menaiki tangga hendak menuju kamarnya. Merasa bosan diceramahi seperti ini baik di sekolah atau pun di rumah.

***

"Gio ... maaf, karena Kakak kamu harus pisah lama dari Mama juga Papa." Giraka tersenyum tipis. Di usianya yang ke Lima belas, Giraka mengajak adiknya pulang ke rumah mereka yang di Jakarta. Sengaja pergi Sydney mengungkapkan permohonannya ditemani sang Mama.

Saat itu, Gio masih berusia Tiga Belas tahun. Tapi dia sudah cukup mengerti, alasan kenapa sejak Tujuh tahun yang lalu dia diminta orangtuanya tinggal bersama sang Nenek? Tidak pernah menikmati sarapan yang dibuatkan Mamanya lagi. Tidak pergi dan dijemput Papa untuk pergi sekolah.

Katanya kakaknya sakit. Dan Giraka membutuhkan perhatian lebih.

Dia sudah cukup terbiasa tinggal bersama neneknya. Tidak pernah lagi bertanya kapan Mama dan Papa akan mengajaknya pulang dan tinggal bersama? Gio menjadi pribadi yang pendiam dan tidak banyak bertingkah. Dia awalnya pikir dipaksa tinggal dengan neneknya karena dia anak nakal dan tidak sepintar kakaknya.

Sampai kelas Empat Elementary School, dia tetap beranggapan demikian dan berusaha menjadi pribadi yang tidak banyak tingkah juga kebanggaan di sekolahnya. Tapi, sekali pun Mama dan Papa dalam setahun bisa sampai Empat kali mengunjunginya, mereka tidak pernah mengajak Gio kembali ke Indonesia. Mereka bersikap dingin seolah Gio bukanlah anak mereka.

Dan kini, tiba-tiba saja Raka yang mulai mengerti kondisi yang terjadi, mengajaknya pulang ke rumah. Dengan ringannya, seolah di antara mereka tidak pernah terjadi apa-apa.

My PET Girlfriend! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang