Gio lagi-lagi bolos di jam kelas. Dia justru sedang berdiri melipat tangannya di atas pagar bata lantai Dua. Menatap para murid kelas 3 IPA A yang sedang berolahraga. Mereka semua tampak sedang asyik bermain voli di lapang timur. Dan sebagian lagi tengah bermain bola basket di lapang basket yang lokasinya di utara.
Semuanya ikut serta.
Kecuali seorang cewek yang menguncir dua rambutnya dan kini duduk di tepi koridor kelas yang berseberangan dengan lokasi Gio berada. Dia juga memakai setelan olahraga seperti yang lainnya, tampak berwajah murung sambil memeluk bola basketnya. Menatap teman-temannya yang hilir mudik kemudian tampak menghela napas.
Jaraknya dengan Gio sangat jauh. Tapi entah kenapa cowok itu bisa melihat setiap gerak-geriknya? Diana terlihat sangat~ kesepian?
Diana benar-benar tidak bisa ikut berolahraga.
Selama ini dia pasti malu dan iri kepada teman-temannya.
Mungkin, hal itu juga yang membuat dia bisa dekat dengan Giraka. Kakaknya pun mengalami hal yang serupa sepanjang masa sekolahnya. Tidak pernah ikut kegiatan sekolah yang bisa menguras energi dan memperburuk kesehatannya.
"Dia, sedih." Gio bergumam. Untuk ukuran pembolos seperti Gio, jelas kalau sakit seperti itu dia dengan sukarela tidak perlu ikut kegiatan belajar. Dia bisa membolos tanpa perlu repot diburu oleh guru-guru yang melihatnya.
Namun itu karena Gio tidak merasakan penderitaan Diana.
Cowok itu tidak mengalami sakit yang sama sehingga membatasi setiap kegiatannya.
Gio berbalik kemudian melangkah tergesa. Dia ingin menghampiri Diana, menatapnya dari jarak dekat, kemudian mengganggunya seperti biasa.
"Kalo lagi marah, dia gak keliatan kayak orang sakit." Gio bergumam pelan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa dirinya bisa sepeduli ini?
***
"Adik gue juga punya asma parah, tapi dia bisa ikut kegiatan-kegiatan di sekolah."
Diana diam mendengarkannya. Cibiran untuknya sejak lama, memang selalu sama. Teman-temannya pernah melihat dia pingsan karena memaksakan diri ikut olahraga, tapi baik di SD, SMP, bahkan sekarang di SMU, dia masih selalu mendapatkan sindiran yang sama.
Di kelas, tidak semua orang menyukainya. Terutama semenjak dia dan Gio resmi berpacaran walau secara terpaksa. Diana dianggap tidak tau diri karena setelah Giraka pergi, dia justru mengincar adik almarhum pacarnya sendiri.
Dia menulikan telinganya.
Mereka yang menjelek-jelekannya, biasanya akan bersikap munafik kalau sudah ada butuhnya.
"Di, lempar-tangkap bola doang masa lo gak bisa, sih?" Tika bertanya ketus. Dia tidak rela disaat dirinya berkeringat dan ngos-ngosan seperti ini, salah satu teman sekelasnya justru enak-enakkan duduk berteduh hanya mengawasi.
"Gue bisa kok." Diana tersenyum lebar. Dia masuk ke lapang basket, membuat Pak Toni selaku guru olahraga menoleh, menatapnya cemas. Memang, sih, hanya lempar-tangkap bola. Tapi masalahnya cuacanya sedang panas. Takutnya, kondisi fisik Diana tidak kuat. Apalagi sejak tadi wajahnya terlihat sedikit pucat.
"Diana, kamu gak perlu maksain diri. Sesuai ketentuannya, kamu cuma perlu ikut ujian teori."
"Enak bener kayak gitu, Pak. Pashing bola kan diem di tempat, paling gerak dikit." Tika yang menjawab sewot, kedua temannya yang lain mengangguk mengiyakan. Bagi mereka, kebaikan Diana hanya topeng untuk mencari perhatian. Apalagi dia sering diperhatikan sama cowok-cowok populer di sekolah. Jelas saja mereka tidak suka.
"Lo gak ngerti kondisi Diana. Kalau dia pingsan kita sendiri yang ribet!" Nabila tidak terima, selaku sahabatnya, dadanya panas melihat sahabatnya yang tetap diam walau dinyinyiri. Diana tidak pernah melawan kalau menyadari sindiran keras yang ditujukan padanya, semuanya memang dia yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My PET Girlfriend! (Tamat)
Fiksi RemajaS1 = My Pet Girlfriend S2 = Candy SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN Ganteng, jenius, berandalan, guru pun dilawan. Gio Reiner jadi murid pindahan paling badass di sekolahnya. Gio tidak sungkan memukul siapa pun yang berani men...