(12)

9.5K 725 5
                                    

Claire~ 

Dalam perjalanan pulang Morgan beberapa kali mencurigai sikapku yang tiba-tiba berubah, aku berhasil meyakinkannya bahwa aku sedang kesal karena membolos sekolah. Morgan sesekali melirikku dari sudut matanya, salah satu tangannya masih menggenggam tanganku. Aku berusaha tidak memandang ke arah Morgan, karena aku tahu hal itu hanya akan membuatku ingin menangis. Aku berusaha menyamarkan ekspresi sedih di wajahku dengan ekspresi jengkel, lalu mengalihkan pandanganku pada pemandangan di luar jendela. Sinar matahari sudah hampir menghilang, hanya menyisakan sedikit sinar jingganya, bahkan bintang di langit mulai bermunculan. Beberapa mobil mendahului mobil Morgan, beberapa yang lain mengklakson mobil kami karena kecepatan mobil Morgan yang lambat. 

"Morgan, kita akan sampai di Jersey tengah malam kalau kecepatannya seperti ini." Gumamku padanya. Ia menoleh sedikit padaku. 

"Aku harus melepaskan tanganmu untuk bisa memindahkan gigi." Gumamnya, sambil melirik pada genggaman tangannya padaku, "Dan aku sedang tidak ingin melepaskannya." 

Aku menarik tanganku yang sedang digenggam oleh Morgan dengan lembut, "Kau selalu bisa menggenggam tanganku nanti, Morgan." Kataku dengan tersenyum kecil. Morgan melirikku sebentar, lalu mengemudikan mobilnya lebih cepat. Kami terdiam sangat lama hingga akhirnya aku tertidur. 

Aku tidak ingat kejadian setelah tertidur di mobil Morgan, yang jelas sekarang aku berada di tempat tidurku, dengan selimut menutupi sampai ke leherku. Mataku mengerjap dalam kegelapan, sinar bulan yang sedikit menempus jendelaku membuat mataku yang telah terbiasa di kegelapan dapat melihat sekitarku. Kulirik jam di meja sebelahku, pukul 2 pagi. Morgan duduk di sofanya yang biasa, kepalanya bersandar di sandaran sofa, menghadap ke langit-langit kamarku. 

"Morgan?" sapaku dengan suara sedikit serak. Morgan tidak berubah dari posisinya. 

"Mmm?" jawabnya sambil masih menatap langit-langit kamarku. Aku tidak membalasnya, hanya menatapnya sambil diam selama beberapa saat. Lalu akhirnya setelah menit-menit yang lama ia menoleh padaku, matanya berkilat karena sinar bulan yang masuk ke kamarku. Morgan berdiri dari sofanya lalu berjalan ke arah tempat tidurku, aku menggeser tubuhku ke samping, memberi ruang pada Morgan. Ia menjatuhkan badannya di sampingku lalu melipat kedua tangannya di bawah kepalanya sebagai bantal. Ia kembali menatap langit-langit kamarku. Aku memandang wajahnya dari samping, berusaha mengingat setiap senti wajah Morgan lalu menyimpannya di kepalaku. 

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku padanya sambil memandang bulu mata Morgan yang bergerak-gerak setiap Ia berkedip. Kadang-kadang aku merasa iri dengan bulu mata Morgan yang panjang, sedangkan bulu mataku biasa-biasa saja. 

"Aku memikirkan apa yang kira-kira kau pikirkan selama perjalanan tadi, Claire." Jawabnya dengan suara pelan. Aku selalu menyukai suara Morgan ketika Ia menyebutkan namaku, seakan-akan hanya Morgan yang bisa mengucapkan namaku dengan sempurna. 

"Aku memikirkan tentang membolos, dan menyesal telah ikut meeting tersebut." Balasku. Aku benar-benar jujur saat mengatakan bahwa aku menyesal telah datang meeting kemarin siang, aku menyesal telah membuat Morgan melewati ini semua karena melindungiku, aku menyesal membayangkan apa yang akan terjadi pada Morgan karenaku. 

"Kau berbohong, Claire. Dan itu yang membuatku bertanya-tanya selama lima jam terakhir ini." Aku melihat Morgan menggertakan giginya, ia sedang kesal. 

"Aku hanya stress dengan ujian yang akan datang, Morgan. Karena itu aku merasa kesal sepanjang hari." Kataku padanya. Morgan akhirnya menggerakkan kepalanya ke arahku, ia menatapku beberapa saat, mencari-cari sesuatu yang kusembunyikan. Aku berusaha membuat wajahku meyakinkan, kulebarkan mata hijauku sambil membuat ekspresi pura-pura sedih. Well, aku benar-benar sedih, jadi tidak perlu berpura-pura. Tiba-tiba suara gebrakan terdengar dari arah kamar mandiku, aku terlonjak duduk. Sedangkan Morgan dengan kecepatannya, sudah masuk ke kamar mandiku. Jantungku berdebar keras, tiba-tiba pikiranku dipenuhi oleh kata-kata paman Greg tentang pasangan Seth yang ingin membalas dendam.  

Claire de Lune (Valerina #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang