(8)

11.7K 771 9
                                    

Claire~ 

Aku berlari semakin menjauh ke dalam hutan dan semakin lama semakin gelap. Kupaksa kakiku berlari walaupun paru-paruku sudah hampir kehabisan nafas, aku tidak tahu dimana aku berada. Kuputuskan untuk berhenti sebentar untuk mengatur nafasku, lalu terdengar samar suara teriakan seseorang memanggil namaku, Nick. Jantungku berdebar keras membayangkan Nick dengan kepalanya yang berdarah berlari dan berteriak mencariku. 'Damn, apa yang harus kulakukan? Berlari semakin jauh ke dalam hutan lalu tersesat atau berlari ke arah psikopat yang ingin menculikku?' Pilihan pertama terdengar lebih baik daripada terjebak bersama Nick. Kupaksa lagi kakiku berlari semakin jauh ke dalam hutan, setelah setengah jam berlari suara Nick tidak terdengar lagi. Hampir seluruh tubuhku terluka karena goresan ranting pohon, 'rasanya seperti de javu' pikirku. Seragam sekolahku sekarang sudah berantakan, rasa haus membuat tenggorokanku kering. Aku terus berlari hingga tiba-tiba aku sampai di bagian hutan yang lebih terang, padang bunga clover terhampar di depanku beberapa meter di depanku terdapat sebuah batu besar. 'Aku tahu tempat ini' kucoba untuk mengingatnya tapi tidak berhasil. Kucoba untuk terus berlari menyeberangi padang clover, lalu masuk ke dalam hutan yang gelap, lagi. Nafasku sudah terputus-putus, kakiku juga sudah mulai terasa sakit. 'Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang' kakiku terus bergerak memaksa tubuhku menjaga keseimbangannya, aku tidak boleh berhenti. Lalu tiba-tiba sinar matahari yang terik bersinar beberapa meter di depanku, aku berhenti sejenak mataku mengerjap membiasakan diri dengan sinarnya yang terang. Jalanan, mataku memandang jalanan di depanku dan aku tahu jalan ini menuju kemana. Sesaat aku ingin melompat sambil berteriak, tapi tenagaku yang tinggal sedikit menahanku. Aku menarik nafas lalu menghembuskannya mencoba menstabilkan nafasku, lalu berjalan sambil setengah berlari ke ujung jalan, menuju rumahku. 

Kubuka pintu rumahku lalu menutupnya setelah masuk, punggungku bersandar pada pintu. Rasa lega menyelimuti tubuhku hingga kurasakan sepasang mata yang sedang menatapku. Jantungku berdetak tidak teratur, kepalaku mendongak menatap sepasang mata berwarna hijau yang paling indah. Sesaat jantungku berhenti berdetak. Aku tidak tahu apa perasaan yang sedang kurasakaan, lega? Takut? Bahagia? ...Rindu? Sesuatu seperti meledak di dalam dadaku. Ia masih memandangku, mulutnya sedikit terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar. Jika aku mengira penampilanku saat ini sangat berantakan, di depanku ada yang lebih... berantakan. Rambut coklatnya benar-benar berantakan seakan-akan angin tornado baru melewati kepalanya, kedua kantong matanya berwarna agak kehitaman, sebuah luka goresan yang terletak di bawah mata kirinya masih menyisakan sedikit jejak darah, Ia mengenakan kemeja berwarna biru tua dengan bercak-bercak kehitaman yang membentuk pola cipratan. Walaupun terlihat sangat berantakan tapi cowok yang berdiri di seberangku ini... aku tidak bisa menjelaskannya. Ia memiliki pengaruh padaku, seperti magnet yang menarikku dengan kuat. Tiba-tiba ia berjalan mendekatiku lalu menarik tubuhku dalam pelukannya, memelukku erat. Dadaku dipenuhi oleh ledakan emosi yang tidak kuketahui asalnya, Ia mencium puncak rambutku lalu mengendurkan pelukannya sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Pelukannya terasa sangat nyaman, tidak seperti Nick... Hell, bahkan Nick tidak bisa dibandingkan dengannya. Tiba-tiba aku ingat bahwa orang yang sedang memelukku ini adalah orang asing, "Um, kau... kau bukan psikopat juga kan?" Bisikku di pelukannya, tenagaku terlalu lemah untuk melepas pelukannya ataupun melawannya. Jauh di dalam diriku, aku tidak ingin orang ini melepas pelukannya. Lalu terdengar suara bergemuruh di dadanya diikuti oleh suara tawa yang berat, ia sedang tertawa.  

"Oh Claire, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?" suaranya membuat tubuhku membeku, aku mengenal suaranya, aku mendengarnya di mimpi-mimpiku. Aku mengenalnya tapi tidak bisa mengingatnya, setiap aku berusaha mengingat sesuatu menghalangiku seakan-akan memblokirku. "Siapa kau?" tanyaku pelan sambil mendongakkan wajahku menatapnya. Ia membeku sejenak lalu matanya berkilat marah, "Si brengsek itu... Dia menghapus ingatanmu?" nada bicaranya berubah kasar, tapi ia masih memelukku dengan lembut. Aku memandangnya dengan bingung, "Apa?" tanyaku. 

Claire de Lune (Valerina #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang