(7)

9.5K 774 7
                                    

Morgan~ 

Elaine berlari di belakangku, aku tidak tahu ini pukul berapa yang jelas sinar bulan masuk diantara sela-sela rerimbunan pohon. Sinarnya yang terang seakan-akan menuntun kami. Elaine berhenti di belakangku, ia terdiam, matanya melihat sekeliling dengan waspada. Aku membalikkan badanku, "Apa-" 

"Kau menciumnya?" Tanyanya sambil mengendus udara di sekitarnya, aku mengikutinya. "Gultor..." gumamku pada Elaine, bau manis beserta anyir menusuk indra penciumanku. "Mereka sangat... banyak." Tambah Elaine, "Brengsek,di saat seperti ini-" Kalimatku terpotong oleh panah yang meluncur beberapa senti dari kepalaku. Sebuah erangan mengerikan dari belakangku memecah keheningan. Elaine memegang busurnya sambil menatap ke belakangku, "Mereka hanya akan memperlambat kita, Morgan.". Kami berdiri saling membelakangi, pedangku sudah berada di tangan. "Kau sudah pernah bertarung?" tanyaku pada Elaine. "Yeah, beberapa kali." Jawabnya. Walaupun Elaine sepertinya tidak sehebat Dane, tapi paling tidak Ia pernah bertarung. Kami terdiam menunggu serangan gultor-gultor itu, tapi tidak ada yang terjadi. Bayang-bayang gelap pohon membuat jarak pandang kami hanya sedikit. Tiba-tiba belasan Gultor muda muncul dari segala arah, iris mata gultor muda berwarna hitam sedangkan matanya berwarna merah, mereka menyerang secara acak yang tentu saja memudahkanku dan Elaine untuk mengalahkan mereka. Pedangku berhasil memenggal kepala dua Gultor secara beruntun, darah berwarna hitam kental mengucur dari sisa tubuh mereka. Dari sudut mataku kulihat anak panah Elaine menancap pada leher salah satu Gultor, lalu satu lagi menancap pada mata Gultor menembus ke belakang kepalanya. Pedangku bergerak menusuk, memenggal, dan menyayat setiap gultor yang mendekat, kemejaku sedikit basah terkena cipratan darah Gultor yang menjijikan. Beberapa Gultor berhasil menggores lenganku dengan kuku mereka. Rasanya lama sekali hingga tiba-tiba tidak ada lagi Gultor yang mendekat, tubuh-tubuh tidak bernyawa tergeletak di sekitar kami. Lalu kulihat Elaine membungkuk bertumpu pada busurnya, nafasnya terengah-engah. "Kau terluka?" Tanyaku padanya. "Aku tidak apa-apa." Jawabnya sambil berusaha mengatur nafasnya.  

Untuk sampai ke rumah Claire paling cepat adalah besok pagi, itupun jika tidak ada halangan. 'Aku benar-benar akan membunuh Nick jika sesuatu terjadi pada Claire.'. Kami berlari dalam diam sibuk dengan pikiran kami masing-masing, pikiranku dipenuhi dengan Claire. Aku harap Ia baik-baik saja.

Claire~ 

Suara mobil Nick menderu di depan rumahku, kutatap pantulanku di cermin lalu merapikan seragamku. Nick mengetuk pintu rumahku, tanganku meraih tas sekolahku lalu berlari menuruni tangga. Nick berdiri mengenakan seragam yang sama denganku, rambutnya yang keemasan disisir dengan rapi seperti biasanya entah kenapa tanganku gatal untuk mengaca-acak rambutnya yang rapi. Ia tersenyum padaku, "Siap untuk sekolah?"  

"Yeah." Jawabku sambil menutup pintu di belakangku. Ia meraih salah satu tanganku lalu menggenggamnya sambil berjalan menuju mobilnya, lalu membukakan pintu mobilnya untukku. "Thanks." Gumamku padanya. "Kau tahu Tara?" Tanyaku pada Nick. Ia mendongak ke arahku, "Tara Eswell? Yeah, ia sahabatmu Claire." 

"Kau tahu?" Tanyaku dengan terkejut. Nick tertawa mendengarku terkejut, "Yeah, ia mengkhawatirkanmu karena tidak masuk sekolah. Aku sudah memberitahunya bahwa kau baik-baik saja." Tambahnya. "Oh, Thanks Nick." Balasku. Setelah memarkirkan mobilnya Nick berjalan di sampingku menuju kelas, beberapa anak melirik kami dengan tatapan aneh. Tara menjatuhkan buku yang sedang dipegangnya ketika melihatku memasuki kelas, "Claire! Kau sudah sembuh?" Lalu pandangannya berpindah pada Nick yang berdiri di sebelahku, keningnya mengerut. "Aku baik-baik saja Tara." Balasku sambil berjalan menuju tempat dudukku, Nick juga berjalan menuju tempatnya. Tara mengikutiku dari belakang, "Sebenarnya kau sakit apa?" Tanyanya setelah kami berdua duduk di bangku kami. "Um, Demam?" Jawabku tidak yakin. Tara mengulurkan tangannya lalu menaruhnya di keningku, "Kau sudah benar-benar sembuh kan?" Aku tertawa melihat wajah Tara yang khawatir, "Iyaaa aku sudah sembuh Tara!" Jawabku sambil melepaskan tangannya dari keningku. "Jadi kapan kau akan mengambil kucingmu, Claire?" Pertanyaan Tara membuat keningku mengerut bingung, "Huh?" Tara memandangku sejenak, "Bukannya aku keberatan morgan ada di rumahku, hanya saj-" 

Claire de Lune (Valerina #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang