xxv

56.3K 5.3K 84
                                    

Martin.

Yeah. Kalian bisa bilang kalau gue ini tipe-tipe psikopat. Ya itu benar, hanya saja, gue cuma menyiksa orang yang memang pantas untuk gue siksa. Seperti Opal, misalnya. Entah bagaimana kabarnya di laut sana, gue gak perduli.

Gue harus jalanin rencana awal gue untuk rekrut Bayu dan Kira setelah mereka lulus, dan, good news nya gue akan tinggal di Indonesia juga.

Memang sih, bokap gue belom bilang kita harus tinggal di mana. Yang penting, gue udah berhasil membawa Kira dan Bayu ke Bali buat ketemu bokap gue.

Kami bukan dipihak penjahat, kok. Kami cuma memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Menawarkan bantuan pada yang terdesak, untuk memusnahkan yang jahat.

"Martin."

Gue menoleh. Setelah tidur seharian, kepala gue cukup pusing. Tapi, melihat Hana yang manggil gue barusan, pusing gue sedikit hilang terobati.

"Ya?"

"Lo nggak ada niat jahat kan, sama mereka?" tanya Hana tiba-tiba.

Gue menggeleng, "Nggak, sama sekali nggak ada. Ini murni mau bantuin, dan mereka akan bayar dengan cara bekerja buat bokap gue nanti."

"Ide bagus. Cuma... Gue gak tega aja, lo mempergunakan waktu yang terdesak gini buat rekrut orang."

"Tenang Hana. Gue bukan orang jahat, walau tampang gue keliatan kayak orang culas."

Hana tertawa, "Akhirnya lo sadar juga."

Gue kenal Hana udah cukup lama. Cewek ini berhenti sekolah dan memilih buat bekerja menjadi bandar narkoba. Hana mengakui pekerjaan itu cukup berbahaya, hanya saja, Hana menyukainya.

"Lo seharusnya jadi model." kata gue, Hana cuma tersenyum.

"Lo tau, gue gak bisa pose-pose kayak gitu. Walaupun gue keliatan feminin, tapi hati gue tuh kayak batu. Keras, Tin."

Gue selalu menyukai cara Hana tersenyum, tertawa. Dan tambahan, gue suka rambutnya.

-----

Kira.

Kami sampai di Bali.

Gue memang udah pernah ke Bali, waktu karya wisata dulu. Tapi, rasanya beda. Gue ke sini lagi, dengan orang yang sama sekali belum gue kenal betul kecuali Bayu. Ralat, tidak semua hal tentang Bayu gue tau.

Martin menyarankan untuk mengambil barang-barang kami yang ada di mobil, lalu memindahkannya ke mobil milik Martin. Hana memberikan saran agar mobil itu tetap dipakai, namun dengan arah yang berbeda untuk mengelabui Geovani. Tidak lupa juga, gue membuang baju yang gue pakai waktu hari penangkapan itu.

"Gue jadi lebih tertarik buat main-main di pantai daripada kejar-kejaran sama orang idiot." gumam Indra, saat kami sudah sampai di hotel.

Hotel yang dipesan oleh Martin cukup mewah, dengan jendela besar di kamar yang langsung berhadapan dengan pemandangan pantai yang dipenuhi oleh turis-turis dari berbagai macam negara.

Kami berempat tetap berada di dalam satu kamar, kecuali Martin yang memang tidak ingin bergabung atapun ditemani. Entahlah, menurut gue dia misterius banget.

"Yuk." kata Hana, sontak kami semua melirik perempuan yang sama misteriusnya dengan Martin.

"Mungkin kalau kita berlagak kayak turis-turis yang emang lagi liburan di sini, itu nggak bakal bikin mereka menemukan kita. Secara, turis banyak." jelas Hana.

"Boleh juga." kata Bayu, "Tapi kita harus siap kapan aja kalau tiba-tiba mereka menemukan kita." ucapnya.

Gue pun mengangguk, gue setuju.

"Ide kalian bagus juga, namun tidak cukup aman."

Kami berempat menoleh serentak, melihat seorang pria berumur sekitar empat puluhan berdiri di ambang pintu bersama Martin.

Itu Digory North.

****

a.n :

Hi, gue tau kalian ga pengen cara diganti. Karena menurut gue cara kurang muda. Emang sih, sama kaya gigi dan vini. Dan bayu kemudaan castnya. Tp menurut gue itu udah cocok he-he.

Sori kependekan. Wkwkw.

AftertasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang