xxxii

52K 4.9K 58
                                    

Hana.

Sejak aku memasuki ruangan bertema kayu ini, aku sudah bisa merasakan sesuatu yang aneh. Maksudku, aura di sini berbeda sekali dengan aura di luar. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi di dalam sini, tapi, aku tidak tahu itu apa.

Aku dan Martin segera menelusuri seluruh ruangan ini. Sedangkan ku lihat Agora sudah hilang di balik pintu. Aku tidak perduli apa yang ingin dilakukan bapak-bapak itu, karena bagiku dan Martin, chip itulah yang paling penting.

"Apa yang kalian cari?"

Kami berdua hampir saja melompat saat mendengar suara dingin itu. Benar saja, seorang pria yang umurnya sudah agak tua muncul dari pintu yang ada dipojok ruangan.

"Ah, Martin North." katanya, ia berjalan menuju meja kerjanya. "Apa Ayahmu sengaja memperalat Kira dan Bayu untuk merebut data-data itu?"

Shoot! Tebakannya benar seratus persen.

"Ya." jawab Martin.

"Tapi sayangnya, aku tidak akan memberikan chip itu pada kalian berdua. Karena pada dasarnya aku ingin Kira atau Bayu yang mengambilnya."

Kami berdua saling bertatapan, "Tapi, kedatanganmu tidak begitu buruk, Martin." lanjutnya. "Aku bisa saja mempergunakan kalian untuk disandera, agar rivalku lah yang langsung turun tangan di sini. Tanpa perantara seperti ini. Omong-omong, Martin, Ayahmu terlalu pengecut."

Martin terlihat geram saat mendengar ucapan-ucapan profesor West barusan, cowok itu mulai mengarahkan pistolnya ke tua bangka itu.

"Ah, silahkan saja membunuhku. Aku tidak takut. Karena kalian juga akan mati di sini, bersamaku."

Setelah ucapan itu, kami bisa melihat profesor West mengambil sesuatu dari mejanya. Aku dan Martin tidak tahu itu apa. Yang jelas, suatu ledakan hebat terjadi. Kami terlempar ke arah sudut ruangan, dan sebuah rak buku hampir saja meniban kami kalau-kalau sebuah meja tidak menyanggahnya. Aku meringis saat buku-buku dengan halaman tebal itu menimpa kepalaku.

Aku melirik Martin. Cowok itu terkena luka bakar yang cukup serius di tangan kirinya.

"Kita harus keluar." ucapku.

Martin menggeleng, "Chip itu, Hana." katanya, aku bisa melihat cowok itu meringis kesakitan ditengah-tengah ucapannya.

"Nggak, ayo, kita keluar dari sini." kataku.

Aku menarik tangan kanan Martin untuk terbebas dari rak buku besar yang menghalangi kami. Kulihat profesor West sama sekali tidak ada di dalam ruangan ini.

"Cih, apa-apaan! Katanya mau mati bareng, eh malah kabur! Bego!" gerutuku kesal.

Aku dan Martin sempat terpaku sebentar setelah melihat keadaan pintu yang penuh dengan api. Kami terkurung di sini. Dan satu-satunya yang tersisa adalah jendela yang letaknya agak tinggi, lalu sebuah pintu di sudut ruangan.

"Jendela?" tanya Martin, aku menggeleng.

"Sebentar." ucapku, lalu mencoba membuka pintu yang ada di sudut ruangan.

"Dikunci." kataku.

"Lo bawa persediaan peluru kan?" tanya Martin, aku mengangguk.

"Minggir."

Martin mendorongku lembut ke belakang, lalu cowok itu segera menembaki pintu tersebut hingga beberapa areanya bolong. Begitu lama hingga akhirnya, cowok itu menendang pintu itu hingga agak hancur.

Ruangan itu agak sempit, dan terdapat pintu besi di sana. Martin hendak membuka pintu tersebut, namun aku melarangnya.

"Tunggu." kataku. "Gue pernah liat difilm-film, besi ini bakalan panas kalo di dalemnya kebakaran."

Aku mengambil sebuah buku tebal yang ada di ruangan itu, lalu menyampirkannya ke gagang pintu.

"Biar gue aja." ucap Martin, akupun mengangguk.

Pintu itu berhasil terbuka. Yang ternyata bagian belakang dari kantor ini. Kami berhasil keluar. Dan aku bisa melihat sebuah mobil kabur dari gerbang belakang.

Buru-buru aku menelpon Agora, tetapi tidak diangkat. Lalu, aku memutuskan untuk menelepon Bayu.

Bayu.

Gue dan Kira sama-sama menatap Indra. Pikiran gue nggak bisa luput dari pikiran buruk atau firasat buruk mengenai Hana dan Martin, atau Agora. Sejujurnya, gue juga takut mereka kenapa-napa. Gue takut di balik pintu kayu tersebut, mereka udah hangus terbakar.

"Bayu tolong lo kasih tau gue, di mana Hana!" pekik Indra.

Gue menghela napas. Tiba-tiba saja ponsel yang gue simpen di tas pinggang gue berbunyi.

"HANA!" teriak gue, saat melihat siapa yang menelepon gue.

"Halo, Hana lo di mana?" tanya gue.

"Gue sama Martin udah ada di luar, kalian keluar aja cepetan! Profesor West baru aja kabur."

"Oke." kata gue, yang langsung menutup telepon itu.

"Mereka udah di luar, mendingan kita keluar aja. Soalnya profesor West kabur." jelas gue.

"Kabur? Gimana caranya kita bunuh dia?" tanya Kira, matanya melebar.

Gue mengangkat bahu, "Gue gak tau, yang terpenting kita keluar dari sini. Kalo nggak mau keluar dengan keadaan gosong."

Akhirnya, kami semua keluar dari gedung tersebut. Untung saja, pintu depan gedung ini tidak terkepung api. Api hanya berasal dari bagian dalam gedung begitu juga dengan ruangan profesor West.

Gue menghirup udara luar kuat-kuat. Bagaimanapun ini pengalaman pertama gue. Gimana nggak? Dikepung api, juga tangan dan kaki gue yang kena tembak. Mengingat luka tembak gue, rasa sakit luka itu jadi terasa kembali. Ah, seharusnya gue nggak usah inget-inget kalau gue luka tadi.

"Di mana Agora?" tanya salah satu petugas keamanan kami.

Gue menggeleng. Gue sama sekali nggak kepikiran buat nyari Agora, dan gue pikir bapak-bapak itu udah ikut bareng Martin dan Hana.

"Kami nggak ngeliat dia." jawab gue.

Sementara, otak gue masih mengingat bahwa profesor West telah melarikan diri. Gue buru-buru berjalan terseok-seok, mencari di mana mobil yang tadi kami naiki.

"Di mana mobil?" tanya gue, setengah kesetanan.

Hana dan Martin baru saja datang, penampilan mereka nggak banget. Apalagi, terdapat luka bakar di lengan Martin.

"Profesor West kabur, kami harus ngejar mereka." ucap Martin, wajahnya terlihat kesakitan.

"Pake mobil kami," kata salah satu petugas, yang langsung melempar kunci mobilnya pada Martin.

Kami tidak bisa membuang-buang waktu lagi, kami harus mengejarnya. Kenapa? Pertama karena Digory North, ayah Martin. Kedua karena gue nggak mau hidup dengan terus menerus dikejar-kejar oleh West. Dan terakhir, gue mau Kira bisa hidup seperti biasa. Normal. Tanpa pistol.

***

AftertasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang