xxxi

55.6K 5K 131
                                    

Bayu.

Sudah sekitar tiga puluh menit lamanya kami menunggu, namun tidak ada tanda-tanda keributan ataupun informasi dari Indra. Cowok itu sama sekali tidak membalas bbm dari gue, atau dari yang lain. Gue mulai curiga, pasti ada yang gak beres di sana.

"Agora, kenapa kita nggak langsung aja ke sana?" tanya gue pada bapak-bapak yang lumayan ganteng itu. Fyi, Indra sempat memanggilnya Anggora sebelum ia pergi tadi.

Agora menggeleng, "Sesuai kesepakatan sebelumnya, kita akan ke sana setelah Indra menghubungi salah satu diantara kami." katanya.

Gue lihat, gerak-gerik Hana juga jadi beda. Cewek itu kelihatan gelisah, bahkan lebih parah.

"Gue nggak bisa nunggu lagi." ucap Hana, cewek itu tiba-tiba saja menghampiri mobil Martin, ia juga menyeret Martin ikut masuk ke mobil.

Gue yang berada di posisi yang sama dengan Hana, mengekori mereka dari belakang.

"Terserah bapak mau ikut kami atau enggak." kata gue.

Si Agora mulai berdecak, setelahnya, bapak-bapak berumur sekitar tiga puluhan itu memerintahkan sesuatu lewat walkie-talkie nya. Gue tersenyum puas.

"Kalian akan satu mobil sama saya." kata Agora, kamipun mengangguk.

Setelahnya, mobil kami melesat lebih dulu. Dan sisanya, mengekori kami dari belakang. Beberapa orang personil keamanan sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Dan tentu saja, mobil kami dilindungi anti peluru.

Saat tahu mobil ini merupakan mobil anti peluru, gue langsung iri. Coba, waktu kejar-kejaran di jalan tol gue pake mobil macem gini. Kan, keren. Ah, oke gue mulai kayak Indra.

"Senjata kalian udah siap, kan?" tanya Agora, kami mengangguk serentak.

"Bokap lo di mana, Tin?" tanya Hana.

"Dia kayaknya terima jadi aja deh," jawab Martin.

Mobil yang kami kendarai mulai masuk menerobos beberapa keamanan di gerbang pertama, dan di gerbang kedua, pintunya sama sekali tidak dibuka.

"Kita nerobos aja, nih?" tanya gue.

Si Agora yang kelihatan ragu-ragu, akhirnya mengangguk dengan mantap. Pria itu kini menjalankan mobil yang kami taiki ke arah gerbang yang sudah jelas-jelas ditutup atau mungkin saja digembok.

"Kalian tenang aja, mobil ini adalah mobil khusus." kata Agora.

Kami bertiga berpegangan erat-erat saat mobil ini mampu menerobos gerbang kantor cabang profesor West yang memang tidak begitu kuat.

"Bayu, kamu ke ruangan West." kata Agora, tapi gue menggeleng.

"Gue mau nyari Kira." ucap gue.

"Biar gue aja yang ke ruangannya." ucap Hana, Martin mengangguk. "Gue ikut Hana."

Kami sudah siap dengan pistol, saat turun dari mobil, kami menembaki setiap anggota berpakaian hitam yang mencoba mendekati kami. Pistol yang kami miliki berisi obat bius, sehingga siapapun yang tertembak akan pingsan selama beberapa saat.

"Ruangan West semuanya bercat kayu!" teriak gue, yang langsung misah dengan Agora, Hana dan Martin.

Gue segera berbelok ke sebuah koridor, beberapa anggota berpakaian hitam ada di sana. Dan... Gue bertemu Geovani.

Geovani tersenyum licik. Cowok itu bersiap-siap untuk menerjang gue, sepertinya.

"Ah, gue udah tau lo bakal dateng." katanya.

Gue tersenyum, lalu mengambil pistol yang ada di tas pinggang gue. Jadi, pistol yang gue pegang saat ini ada dua.

"Oh, terimakasih sudah menunggu kedatangan gue." ucap gue.

Gue mulai maju kedepan, sambil menghindar dari tembakan mereka. Gue pake anti peluru dibalik baju gue, jadi gue santai aja. Sampai-sampai satu peluru berhasil mengenai kaki gue...

Untung aja, gue nggak tumbang.

Gue tetap berusaha berjalan maju kedepan sambil terus menembaki. Beberapa lawan memang langsung pingsan begitu saja, tinggal Geovani.

"Gue gak mau mati sendirian! Lo udah bunuh temen gue! Kemana Epis sama Opal?!" tanyanya, seperti orang kesetanan.

"Epis ada." ucap gue.

Tanpa gue sangka, cowok itu menangis. "Lo juga harus mati bareng gue." katanya.

Gue menggeleng, lalu dengan langkah cepat gue berguling seraya membuat tubuh Geovani tumbang, dan setelahnya gue segera menembakinya beberapa kali. Sebelum cowok itu benar-benar pingsan, dia berhasil nembak tangan kanan gue.

Sialan.

Kira.


Gue bisa mendengar suara Bayu dari luar sana, astaga. Sontak, gue sama Indra jadi senyam senyum gajelas.

BRAKKKKK

Gue bisa melihat Bayu diambang pintu, dia tersenyum. Cowok itu berjalan terseok-seok menuju kami.

"How's life, Bay?" tanya Indra, Bayu hanya tertawa.

"Lo kena tembak." kata gue, tapi Bayu hanya diam.

Cowok itu membabi buta membuka ikatan tangan gue, lalu Indra. Setelahnya, Bayu duduk bersandar di dinding. Cowok itu memegangi kaki kanan dan tangan kirinya.

"Bay, lo...."

"Lo sama Indra duluan aja, ambil pistol di tas gue." kata Bayu, ia memberikan tas pinggangnya ke gue.

Gue mengambil satu pistol, lalu memberikannya pada Indra. Lalu, gue mengambil salah satu pistol yang dipegang oleh Bayu.

"Ndra, lo duluan." kata gue, sambil meliriknya.

"Apa? Nggak, Kira, lo harus keluar bareng Indra." ucap Bayu, tapi gue tetap menggelengkan kepala.

Tiba-tiba saja, terjadi sebuah ledakan hebat. Tubuh kami semua terpental ke dinding, sementara sepertinya terjadi kebakaran diluar sana.

"Gila!" pekik Indra, cowok itu tersenyum lebar. "Lo harusnya bersyukur ini bukan bom nuklir, man."

Posisi gue dan Bayu hampir berpelukan, gue yang menyadari itu langsung melepaskan diri.

"Gue duluan!" kata Indra, sekarang cowok itu sudah keluar dari ruangan."

Seperginya Indra, gue menatap Bayu. "Lo masih bisa jalan, kan?" tanya gue.

"Gue bisa." katanya.

Gue pun membantunya untuk berdiri, "Gue udah punya salinan chip nya."

"Lo serius?"

Gue mengangguk, "Dimana Hana sama Martin?"

"Di ruangan Profesor West, mereka nyari chip."

Saat kami keluar dari ruangan, kami bisa melihat ruangan Profesor West telah hancur dan terbakar. Untuk sesaat, gue dan Bayu hanya bisa saling pandang. Sementara Indra, berdiri tak jauh dari kami.

"Bay... Di mana Hana dan Martin?" tanya Indra.

***

a.n :

gue mau ketawa yang kenceng dulu. lagi-lagi gantung kaya beha.

oh ya.... jangan lupa baca rewind! thank uuu

AftertasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang