SCOLD YOU

22.3K 1.7K 28
                                    

Aku terbangun ketika kurasakan tangan kecil menempel di wajahku. Membuka kedua mata, terdiam sejenak, lantas kusadari aku tertidur di kamar Taya. Beberapa saat lalu, Taya memintaku menceritakan kisah tentang seorang puteri dan pangeran, alih-alih membacakan satu dari sekian koleksi buku dongengnya. Mau tidak mau, terpaksa aku mengarang cerita. Namun, tanpa sadar aku ternyata ikut tertidur usai mengakhiri kisah bahagia pasangan puteri dan pangeran yang aku karang.

Beranjak dari tempat tidur, kuperbaiki posisi tidur putri kecilku yang sekitar sebulan lagi akan resmi menjadi seorang kakak. Mengatur posisi bantal agar tepat berada di bawah kepalanya, juga memperbaiki letak selimut agar ia tidak kedinginan atau tergigit serangga malam.

Usai kupastikan Taya bisa tidur dengan nyaman, aku keluar dari kamarnya. Tepat di saat itu, aku sukses tersentak oleh keberadaan siluet hitam yang duduk di atas sofa. Itu pasti Jungkook. Aku bisa mengenali posturnya di tengah cahaya temaram.

“Sayang, apa yang kau lakukan? Kenapa tidak tidur?” tanyaku, menghampirinya yang tengah duduk dengan posisi merundukkan punggungnya. Kedua sikunya tertumpu di atas kedua pahanya, lengkap dengan kedua telapak tangan yang menangkup hidung mancungnya.

Ayah dari bayi yang tengah kukandung itu menoleh padaku usai menurunkan kedua tangannya. Digerakkan ketujuhbelas otot-otot di sekitar bibirnya untuk membuat sebuah lengkung singkat. Kendati kulihat senyum itu tersemat di wajah tampannya, akan tetapi aku jelas bisa membedakan mana senyum tulus dan mana senyum yang dipaksakan. Terlebih, kulihat raut wajahnya nampak lebih lelah dari biasanya, pun sorot matanya redup, tak berbinar seperti biasa.

Pasti ada yang salah.

“Ada sesuatu yang kau pikirkan, hm?” tanyaku lagi, begitu aku duduk di sebelahnya, mengangkat tangan kananku menyentuh pundak kirinya.

“Tidak. Tidak ada,” sahutnya. Lagi, terlihat memaksakan sebuah senyum menghias wajahnya.

Kuembuskan karbondioksida secara perlahan dari mulutku. “Aku tahu kau bohong,” tuturku. Aku tahu, priaku bukan tipe yang mudah membuka apa yang sedang dipikirkan atau dirasakannya.

Pandanganku mengikuti gerakannya yang menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, terus hingga ke rambutnya. Sebuah hela napas panjang meluncur dari mulutnya. Terasa ada beban berat yang coba ia keluarkan bersama napasnya.

“Aku sedang memikirkan sesuatu belakangan ini.”

Akhirnya, ia mulai membagi sesuatu yang membebaninya.

“Apa itu?” tanyaku.

“Ini tentang pekerjaan.”

Aku sengaja diam, menunggunya untuk menjelaskan lebih.

“Beberapa waktu belakangan ini, aku memeriksa ulang beberapa file laporan yang kubuat untuk presentase di depan direktur dan pemegang saham, aku juga melihat rekaman saat aku berdiri menjelaskan laporanku pada mereka…”

Jungkook membuat jeda sesaat.

“Aku merasa aku bisa lebih baik dari apa yang sudah kulakukan. Aku merasa belum mengeluarkan kemampuanku dengan baik. Aku merasa belum memberikan kontribusi yang besar untuk pekerjaanku, untuk perusahaan.”

Lagi, ia terdiam.

Dan, aku  masih memilih untuk menunggu hingga ia benar-benar mengeluarkan semua yang menjadi beban pikirannya.

“Aku selalu memasang target, akan melakukan ini, akan melakukan itu, akan melakukan sesuatu untuk membuat kemampuanku lebih berkembang, tapi…”

Sebuah hela napas panjang lepas dari mulutnya, kali ini terkesan pasrah.

“Tapi…, aku tidak tahu harus mulai dari mana,” akunya. “Sepertinya, aku… belum betul-betul berniat untuk memperbaiki kekuranganku, ya? Sepertinya…, aku tidak punya tekad yang bulat untuk membuat diriku menjadi lebih baik.”

Dan, ia mengakhiri ceritanya dengan tatapan menunduk, sepaket dengan senyum miris, seolah ia mengasihani dirinya sendiri.

“Plak!”

Aku memukul pipinya dengan telapak tangan kananku.
Ia terkejut, tentu saja. Seketika menatapku penuh tanya.

“Kau ingin membuat dirimu seperti apa lagi? Kau ingin membuat dirimu sesempurna apa, hm?” tanyaku. “Kau tahu? Kau sudah bekerja cukup keras selama ini. Dan, kau bilang kau masih punya kekurangan, hm? Kau bilang kau belum mengeluarkan kemampuanmu dengan baik, hm? Kau bilang kau belum melakukan apapun untuk pekerjaanmu, untuk perusahaan tempat kau bekerja, begitu?”

Jungkook tidak merespon. Entah terkejut dengan ucapanku yang panjang atau dia memang bingung harus merespon seperti apa.

“Kau ingat, beberapa bulan lalu kau pergi ke Jepang untuk menemani direktur mempresentasekan sesuatu di depan para investor Jepang. Kau bahkan diberikan upah tambahan karena kerja kerasmu. Dan, kuharap kau juga belum lupa kalau minggu lalu, kau dengan jelas mengatakan padaku kalau kau masuk daftar promosi untuk kenaikan jabatan. Lalu, apalagi yang membuatmu merasa kurang, Jeon-a? Kau belum cukup lima tahun bekerja di perusahaan, tapi kau sudah menunjukkan kalau kau bisa diandalkan,” omelku. “Tolong buka matamu dan lihat hasil yang telah kau dapatkan selama ini. Kau sudah bekerja cukup keras.”

“Tapi…”

“Tolong berhentilah memaksa dirimu bekerja terlalu keras,” potongku.

“Junmi~ya…”

“Kalau kau ingin tahu apa yang kurang darimu, aku akan memberi tahu padamu,” ucapku lagi. “Kau kurang menghargai kerja kerasmu sendiri. Kau selalu merasa buruk, kau selalu merasa kurang, kau selalu merasa belum bisa melakukan apa-apa. Buka matamu lebar-lebar, Jeon-a. Kau telah melakkan semuanya dengan sangat baik. Semua orang bisa melihat itu!”

Kuatur napasku yang tersengal setelah mengomelinya panjang lebar. Bersamaan dengan hal itu, Jungkook mengangkat tangan kirinya, membiarkan bagian tubuhnya itu menyentuh pipiku. Sedetik kemudian, kurasakan jari jempolnya bergerak mengusap sesuatu di bagian bawah mataku.

“Tolong jangan menangis,” tuturnya.

Aku bahkan tidak sadar kalau aku telah mengeluarkan air mataku.

“Tolong jangan membuatku merasa bersalah.”

Kedua tangan kananku bergerak menyingkirkan tangannya dari pipiku, lantas kuraih tangan kanannya, menumpuknya dengan tangan kiri miliknya. Kugenggam kedua tangan yang sudah bekerja sangat keras untuk menghidupiku dan keluarga kecil kami, menciumnya beberapa saat.

“Aku tidak melarangmu bekerja keras, aku hanya melarangmu untuk memaksakan dirimu bekerja keras. Aku sangat bangga dengan apa yang telah kau lakukan, dengan apa yang telah kau berikan untuk keluarga kita,” kataku, memandangnya tepat di kedua bola matanya. “Aku tidak mau kau jatuh sakit. Aku sayang kamu. Kamu harus tahu itu.”

-THE END-

JEON FAMILY STORIES SEASON 1 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang