Endless Farewell II

7 1 0
                                    


Matahari terbenam memang terlihat sangat indah. Gradasi warna antara merah, oranye dan kuning keemasan benar-benar kontras dengan hangat matahari, seolah bersiap-siap untuk dinginnya malam yang menanti. Jangan salah, aku bukan orang puitis lho. Hanya saja pemandangan matahari terbenam adalah hal yang sangat menakjubkan bagiku.

Yah, walaupun malam berbintang tidak kalah hebat, sih.

Dan Midori cocok dengan image malam berbintang.

Lebih dari cocok; Midori itu sempurna.

Begitu aku mengingatnya lagi, wajahku memanas lagi. Kulirik kotak berbungkus kertas warna-warni di tanganku. Kado untuk ulang tahun Midori hari ini. Aku harus kuliah, sih, jadi aku baru bisa memberikan kadonya malam ini.

Aku mengintip ke pembungkus plastiknya. Liontin biru yang sudah lama Midori inginkan. Apa ini tidak terlalu berlebihan, ya?.... Ah, tidak; tidak ada yang berlebihan untuk Midori-ku yang cantik. Argh, aku tak sabar untuk mengetahui reaksi Midori saat melihat kado ini! Wajah imut dengan pipi yang sangat menggemaskan itu, semoga dia tersenyum bahagia nanti. Aku benar-benar ingin membuat matanya berbinar-binar. Di kepalaku seketika muncul seluet tubuh mungil Midori, sangat cocok dengan boneka. Rambut hitam panjang yang lembut seperti sutra. Bibir yang... manis...

Ah.

Mataku tertuju pada gadis manis yang berjalan di seberang jalan.

Itu Midori!

"Heeei! Midoriiiiii! MI-DO-RIIII!!!" seruku dengan senyum mengembang dan kedua tangan melambai meminta perhatian. Banyak orang jadi menatapku dengan tatapan aneh. Yah, biarlah. Setidaknya aku sudah mendapat perhatian Midori! Dengan ini aku tak usah repot-repot berjalan keapartemennya dan bertemu dengan ayah killer dan ibu kelewat penasarannya Midori. Dengan semangat, tanpa pikir panjang aku langsung melempar payung yang melindungiku dari hujan deras dan berlari menyeberang.

Begitu dipikir lagi, barusan memang keputusan terbodoh yang pernah kuambil.

Hari itu dingin sekali dan hujan turun dengan deras. Mobil itu pasti tergelincir dan kehilangan kendali. Pengemudinya pasti panik melihatku menyeberang secara tiba-tiba.

Entah seberapa jauh aku terpental. Decitan ban yang mencoba mengerem tanpa hasil dan teriakan orang-orang yang kebetulan lewat ternyata begitu memekakkan telinga. Tahu-tahu tubuhku sudah terkapar di jalan. Badanku sakit semua... ah, tidak; sekarang aku malah tidak merasakan apa-apa. Rasanya tubuhku makin dingin; yah dari tadi hujan, jadi suhu tubuhku tidak berubah banyak.

"Aku ini bodoh sekali, sih..." gumamku, tapi hanya dalam hati karena tenggorokanku serasa terbakar. Aku tertawa dalam hati.

Jadi begini ya, cara Takahiro Sei mati?

Tidak ada yang kusesali, sih. Kurasa aku sudah menjalani kehidupan membosankan ini dengan baik. Aku juga tidak melakukan kesalahan yang bisa menghancurkan dunia atau semacamnya. Orang tua dan teman-temanku pasti akan mengenangku, jadi bisa dibilang aku takkan mati begitu saja. Jadi di sini, berselimut darahku sendiri dan diguyur hujan yang tak kunjung berhenti, aku bisa pergi dengan tenang... kan?

"Taka-kun?!" tiba-tiba seseorang memanggilku. Tinggi ringan manis seperti madu, namun diliputi rasa takut. Telingaku tak bisa berhenti berdengung, dan aku sendiri kesulitan membedakan dengungan menyebalkan ini dengan derai hujan. Siapa itu? Dari mana asal suara itu?

Midori...?

Ah, benar. Pantas rasanya aku sudah sering mendengarnya. Suara manis itu memang suara Midori. Tidak salah lagi.

Sesuatu yang lengket menghalangi mataku, tapi susah payah kucoba untuk melihat, mencari keberadaan Midori di antara kerumunan yang mengelilingiku. Ah, ternyata sudah banyak orang yang mencoba menolongku, ya. Hei, kalian semua. Sudahlah. Kalian juga tahu kan, begitu melihatku? Aku takkan selamat, lho. Sekarang saja aku sudah kesulitan bernapas, nih. Jadi aku takkan dendam kalau kalian tidak membantuku, kok. Simpan saja tenaga kalian─

CHSMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang