Please don't hate this one...
...
..
.
Tidak seperti biasanya, kau membawa Ruri bersamamu, ya. Tapi sepertinya Ruri juga masih agak takut dengan pemakaman, terlihat dari caranya berdiri tak pernah jauh darimu. Midori, asal duduk begitu saja di rerumputan di samping nisan tanpa peduli begitu dan memainkan buket bunga tulip yang kau bawa di pangkuanmu, pasti ada yang kau pikirkan, ya. Terlihat juga dari kantung mata yang menghancurkan cantiknya kulit putih mulusmu. Aku berdiri diam, kali ini tanpa berkata apa-apa, tepat di hadapanmu.
"Hei, Taka-kun. Aku datang lagi," kau menggumam.
"Aku tahu, kok, Midori," jawabku pelan.
Kau selalu datang setiap minggu karena berpikir dengan begitu aku takkan kesepian, kan? Padahal aku mengikutimu terus ke mana pun kau pergi, lho. Dengan begitu aku tahu, sampai sekarang tak semenit pun kau lupa padaku, kan? Ironis, padahal kukira saat aku masih 'hidup', kau tidak memikirkanku sebanyak itu.
"Tanpa terasa sudah 3 bulan, ya." Hm? Kau berniat memulai percakapan ya, Midori? Akan kudengarkan, tapi kau tahu sendiri kan kalau aku takkan bisa menjawab? "Teman-teman di falkultas-mu titip salam; bahkan Muroyama-sensei, dosen super galak itu juga, lho. Kau percaya itu?"
"Dia titip salam? Sebentar lagi akan kiamat, nih..." celetukku.
"Sudah hampir musim semi. Pemandangannya juga berubah. Matahari terbenam hari pertama di musim semi memang beda seperti yang kau bilang."
"Ha. Tuh kan, apa kubilang?" komentarku sambil tertawa.
Hening.
"Kalau kau ada di sini, mungkin kau akan mengatakan sesuatu seperti 'apa kubilang?' atau 'aku benar kan?' atau semacamnya, ya," gumammu sambil tertawa kecil.
"Ketahuan, ya," gumamku sambil tersenyum kecut. Jantungku serasa remuk mengingat... aku mati begitu saja. Kau mungkin juga merasa begini, kan, Midori? Walau aku tak ingin kau merasakan kepedihan semacam ini, aku yakin penyesalanmu tak kalah dalam.
"Hei, Taka-kun," kau menggumam. Kepalamu menunduk, jadi aku tak bisa melihat wajahmu maupun memperkirakan apa yang kira-kira akan kau katakan selanjutnya.
"Ada apa, Midori?" kataku dengan tolol seolah kau benar-benar mendengarku.
Hening lagi. Apa yang kau pikirkan, Midori?
"... Maafkan aku, ya."
Apa?
Aku tak salah dengar, kan?
"Untuk apa kau meminta maaf? Bukannya seharusnya aku yang─"
"Kau mati gara-gara aku, kan? Kalau saja kau tidak melihatku di jalan itu... seandainya aku tetap diam di rumah dan menunggumu datang... kau takkan..." suaramu gemetar tak menentu.
Jadi... alasan kau menangis hingga matamu bengkak sendirian dalam kamar setiap malam, alasanmu kehilangan nafsu makan, dan alasanmu membeli bunga yang sama setiap kali mengunjungiku tiap akhir pekan... karena kau merasa bersalah?
Kau kembali menangis untuk entah yang keberapa kalinya; sementara aku hanya berdiri di sini tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku benci dengan diriku yang mulai terbiasa dengan isakan tangismu. Memangnya aku sedingin ini? Tidak, kan?
"Midori," panggilku. Yah, tentu saja tanpa mendapat jawaban. Aku sudah terbiasa dengan itu. "Kau tidak salah. Sama sekali tidak. Aku saja yang super tolol dan melompat tanpa pikir panjang. Tolong jangan menyalahkan dirimu. Aku tak mau melihatmu begini."
Kukira dengan mengatakan hal seperti itu, tangisanmu akan berhenti dan tergantikan dengan senyum manis yang kuingat. Tapi tentu saja, apa pun yang kukatakan takkan berpengaruh kalau kau tak bisa mendengar apa yang kukatakan. Tangisanmu tak kunjung berhenti. Kau menggumamkan kata 'maaf' tanpa henti seperti tape recorder rusak.
Kata-kata yang meluncur keluar dari mulutmu itu membuatku muak.
"Dasar bodoh," kataku, mengepalkan tangan dengan frustasi. "Untuk apa kau menangis? Sejak kapan kau jadi cengeng? Hah, Midori? Kau pikir dengan meminta maaf begini aku akan pergi dengan tenang? Begitu? Tidak, aku takkan pergi ke mana-mana! Kau dengar? Jadi hantu gentayangan atau apapun itu, aku takkan pergi, tahu! Aku akan tetap di sini! Jadi berhentilah menangis, dasar cengeng!"
Aku berhenti sejenak. Rasanya aku tak bisa mengatur napasku. Sudah lama sejak terakhir kali aku bisa merasakan apapun, jadi kukira aku takkan bisa merasakan sakit lagi. Aku menoleh dan mengharapkan wajahmu yang berhenti menangis, yang tersenyum dan akan mengatakan kau akan menjalani hidupmu untuk bagianku juga. Tapi tidak. Kau masih menangis seperti tadi.
"Oi, Midori! Kau dengar?!" teriakku kalap.
Tentu saja tidak, tolol.
"Midori! Jawab aku!"
Dia tak mungkin menjawabmu.
Pikran rasionalku sangat tidak membantu saat ini. Suaraku gemetar tak terkendali, tapi aku tak peduli lagi. Keputusasaan sudah menenggelamkanku terlalu dalam. Perasaan yang tak tersampaikan itu... ternyata sebegini menyakitkannya, ya?
"Hei, Midori..." aku terisak. Persetan dengan semuanya. Aku sudah tak punya apa-apa lagi, jadi sekarang akan kubuang sisa-sisa harga diriku dan menangis sepuasnya. "Aku selalu menyukaimu, lho."
Aku berjalan mendekat dan melingkarkan kedua lenganku ke tubuhmu, seolah dengan begitu aku bisa benar-benar memeluk gadis yang kucintai. Tapi yang kurasakan hanya dingin. "Maafkan aku baru bisa mengatakannya sekarang, ya... Midori....maaf..."
Untuk apa aku melakukan ini?
Tangisku makin keras.
Padahal aku yang paling tahu, kalau Midori tahu perasaanku pun, itu hanya akan menyiksanya lebih banyak karena sampai kapan pun dia takkan bisa memilikiku.
Karena... aku sudah mati.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHSM
RomanceIt all started with that not-so-simple question; "Punya Hypergraphia, ya?" Bagi yang kurang tahu, Hypergraphia adalah sindrom yang menunjukkan keinginan besar untuk menulis. Jadi kurang lebih CHSM itu singkatan in dari 'Curahan Hati Sabtu Malam'. K...