Yah, aku hanya bercanda, sih.
Aku terbangun oleh suara mesin yang paling mengganggu di dunia. Rasanya seluruh tubuhku kebas. Hampir setengah dari tubuhku dibalut perban yang menguarkan bau antiseptik yang khas. Mungkin aku terlihat seperti mumi. Kucoba untuk menjaga mataku tetap terbuka untuk melihat sekelilingku. Leherku sulit digerakkan, jadi aku harus pelan-pelan menggeser pandanganku ke sudut-sudut ruangan serba putih ini. Jendela dengan tirai setengah ditutup, tepi ranjang dengan seprai putih kebiruan, tiang infus di sebelah mesin yang mengeluarkan bunyi 'biip' yang sangat mengganggu tadi,... ah, jadi aku ada di Rumah Sakit.
Dan aku masih hidup.
Tangan kiriku berat... di-gips, ya? Oh ya, waktu tabrakan tadi aku memang bertumpu pada tangan kiriku agar kepalaku tidak terbentur. Kelihatannya tidak cukup berpengaruh sih, karena kepalaku sekarang juga diperban. Tapi aku tak merasakan apa-apa, berarti aku dibius?
Kucoba untuk mengangkat tanganku dan menyentuh perban di keningku, tapi telapak tanganku terhalang sesuatu. Saat pandanganku bergeser pada lenganku, rasanya pipiku memerah melihat Midori ada di sana, tertidur, dengan tangannya menggenggam tanganku.
Ma... manisnya...
Rupanya gerakan tiba-tiba yang kulakukan saat terkejut tadi membuat Midori bangun. Dia mengusap matanya agar bisa melihat dengan lebih jelas. Lalu saat dia melihatku... dia menangis.
"Oi, Mi-Midori?! Ke-kenapa?! Ada yang sakit?!" teriakku kaget, langsung bangkit dan meraih kedua bahu Midori, walaupun gerakan tiba-tiba itu membuat tangan kiriku terasa sangat sakit.
Midori menggeleng cepat. Dia tersenyum. "Ini tangis bahagia, tahu. Aku senang kau akhirnya sadar!" Lalu entah kenapa, Midori langsung memukul kepalaku.
"Sa... sakiiit!" jeritku kesakitan. Midori sengaja memukul di bagian kepalaku yang diperban! Kalau kau senang aku sudah sadar, jangan buat aku pingsan lagi, dong!
"Beraninya kau membuatku khawatir, Taka-kun?" geramnya, berlagak galak, padahal 5 detik yang lalu masih berurai air mata. Tapi wajah imutnya itu sangat tidak cocok dengan kesan galak, jadi reaksi rasional satu-satunya hanya tertawa. "Apanya yang lucu?!"
"Tidak, hanya..." aku menghentikan tawaku, lalu tersenyum lebar, "...aku menyukaimu, Midori. Dari dulu."
Wajah kemerahan Midori takkan kulupakan seumur hidup. Kalau saja aku sempat memotretnya!!!
"Kuanggap wajah kemerahan itu sebagai tanda bahwa kau juga menyukaiku," celetukku. Tapi aku bisa merasakan wajahku juga memanas, hingga serasi dengan warna merah tomatnya Midori.
"O-omong-omong, ti-tidurmu tadi tidak tenang, lho. A-ada yang sakit?" tanya Midori, sengaja mengalihkan pembicaraan hingga aku tak tahan untuk tak tersenyum mengejek.
"Seluruh tubuhku sakit, dokter, sembuhkan aku~" candaku manja, lalu merintih kesakitan menerima hadiah cubitan di pipi oleh Midori.
"Aku serius!" geramnya jengkel. Aku tertawa lagi.
"iya. Iya," ucapku, berusaha mengngat-ingat sambl menggaruk kepala. "Entahlah, rasanya tadi aku mimpi... mimpi yang panjang, aku lupa."
"Dasar pelupa." Midori mengolokku.
"Aku memang pelupa, bodoh," olokku balik.
"Maaf deh, kalau aku bodoh," Midori merajuk.
"Kumaafkan," ucapku sambil tertawa, lalu mencium pipinya saat dia lengah. Wajah Midori memerah lagi. Aku tertawa melihatnya. "Karena aku menyukaimu. Sangat suka."
Jad begitulah. Akhir bahagia yang terasa terlalu mengharukan untuk jadi nyata...
Yah, karena itu memang bukan kenyataannya.
.
..
...
I understand if you want to smack my head now.
Jadi, menurutmu apa yang terjadi? Apa Takahiro Sei sudah mati? Atau apa semuanya hanya mimpi buruk yang panjang, dan sekarang dia sudah bangun? I'll leave that decision to you guys~ I'm too lazy to explain everything~
KAMU SEDANG MEMBACA
CHSM
RomanceIt all started with that not-so-simple question; "Punya Hypergraphia, ya?" Bagi yang kurang tahu, Hypergraphia adalah sindrom yang menunjukkan keinginan besar untuk menulis. Jadi kurang lebih CHSM itu singkatan in dari 'Curahan Hati Sabtu Malam'. K...