Part 2

14 0 0
                                    

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mendambakan balasan atas perasaan yang terpendam. Segala cara telah kulakukan untuk memikat hatinya, tapi ternyata hal itu malah membuat pria idamanku itu jatuh ke pelukan wanita lain.

Baiklah, aku akui memang aku tergolong manusia unik karena tidak menyukai Valentine yang dinantikan oleh semua orang –ingat unik! Bukan freak! Aku tidak terima kalau ada orang yang berani mengatai aku freak hanya karena aku tidak menyukai Valentine. Menurutku lebih freak lagi orang-orang yang mengagung-agungkan 1 hari yang sebenarnya biasa saja dan berulang setiap tahunnya seakan-akan setelah hari Valentine seluruh cinta akan disedot habis dari muka bumi. Tapi memang beginilah aku. Mau bagaimana lagi, pada akhirnya aku memang harus bersabar menghadapi satu hari terpanjang dalam satu tahun ini dikelilingi orang-orang gila yang mabuk kepayang karena hari bernama Valentine. Ah, seandainya aku bisa memotong hari ini dan langsung lompat ke hari berikutnya pasti akan langsung aku lakukan meski konsekuensinya Tuhan tentu akan didemo oleh jutaan manusia yang kecewa hari Valentine kesayangan mereka tidak datang tahun ini.

"Athena!!!! Sampai kapan kau mau tidur?!! Kau sudah hampir terlambat!" teriak mama menggelegar menusuk telingaku dari lantai bawah.

"Ya, Ma!!" balasku tak kalah kencang. Untung saja rumah kami cukup besar dan tidak di kawasan pemukiman padat penduduk. Kalau tidak pasti para tetangga sudah melempari kami dengan baskom dan panci setiap hari karena keberisikan yang kami timbulkan karena teriakan-teriakan kami setiap hari.

Aku menggeliat-geliat sedikit sebelum akhirnya bangun dan berjalan ke arah lemari pakaian untuk mengambil baju seragamku dan pergi mandi. Sembari memakai seragam, kuamati pantulan tubuhku di cermin dibalik lemari pakaianku. Kucubit pipiku yang tembam berisi berharap bisa kempis jika sering-sering dicubit –dan yang ada malah makin melebar. Kemudian kuamati rambut bergelombangku yang berkeliaran tak teratur sesering apapun kusisir di sekitar wajah bundarku yang selalu berminyak –sebanyak apapun kutaburi bedak. Aku berpikir, sebenarnya aku tidak jelek-jelek amat. Meski memang sedikit berisi, namun otakku cukup cerdas. Paling tidak aku tidak pernah tinggal kelas. Aku juga bukan gadis yang jutek. Bisa dibilang aku cukup ramah –asal tidak ada yang memancing emosiku tentunya. Tapi mengapa sampai sekarang belum ada pria yang melirikku dan sungguh-sungguh menginginkanku menjadi miliknya? Ya, Tuhan. Betapa sedih hidupku. Umurku tahun ini menginjak 17 tahun dan sekalipun aku belum pernah berpacaran. Masa aku harus berjalan ke sekolah tanpa busana agar ada yang melirikku? Dengan cepat kugelengkan kepalaku. Bukannya mendekat yang ada para pria itu akan lari terbirit-birit menjauhiku mengira aku orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.

Tentu aku sebenarnya sangat mengharapkan memiliki kisah cinta seperti gadis-gadis di semua buku yang telah kubaca. Meski alergi dengan Valentine namun aku tidak alergi dengan yang namanya cinta. Semua cerita yang kubaca pasti berakhir dengan para wanita mendapatkan pria idamannya dan hidup bahagia bersama pasangan hatinya itu selamanya. Aku pun berangan-angan kapan aku akan mendapatkan kesempatan indah itu dan bertemu dengan pangeran pujaanku.

~**~

Sesampainya di sekolah dengan susah payah aku menerobos gerombolan orang yang memenuhi lorong di depan kelas-kelas untuk berusaha memasuki kelasku yang letaknya agak di ujung. Ya, Tuhan ini masih pagi. Bel sekolah bahkan belum berbunyi. Semangat sekali teman-teman sekolahnya itu. Beberapa anak ada yang berjualan coklat berbagai ukuran dan bentuk mulai dari bentuk hati sampai bentuk kaki –yang entah dimana kaitannya dengan Valentine dan sebagian lagi ada yang menjual buket-buket bunga mawar mulai dari yang kecil sampai yang sedang. Untung saja yang dijual tidak sampai karangan bunga. Bayangkan saja, kalau masing-masing anak membawa satu saja karangan bunga, bisa-bisa sekolahku dikira rumah duka oleh orang-orang yang lewat. Namun yang semakin membuat aneh adalah tidak ada satupun guru yang menghentikan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh teman-temannya itu. Mungkin para guru juga telah terbius kegilaan akan satu hari bernama Valentine ini.

Sambil berdesak-desakan tadi, aku juga melihat beberapa anak membagi-bagikan coklat dengan modus untuk teman-temannya namun dengan malu-malu memberikan kepada pria incarannya. Bahkan ada beberapa anak yang sudah menyatakan cinta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menjalani hari jika cinta mereka ditolak di pagi hari maupun yang menunggu jawaban dengan harap-harap cemas sampai sepulang sekolah. Aku hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat semua itu.

Ketika akhirnya dapan memasuki kelas, ternyata penderitaanku belum berakhir. Kelasku ternyata tidak kalah ramainya dengan apa yang kulihat di lorong tadi. Beberapa anak sedang membagikan selebaran yang berisi undangan untuk pesta dansa kepada semua anak di kelas dan mengundang semua yang berminat untuk berpartisipasi dalam acara dansa Valentine tahun ini yang akan diadakan di hall pada sabtu malam. Tentu saja dengan pasangan masing-masing.

Perasaan kesal kembali menyusup ke dalam hatiku. Kulihat selebaran itu dengan enggan dan cepat-cepat memasukkannya ke dalam tas. Sial, memang mereka pikir semua anak di sini memiliki pacar?

Ketika berjalan menuju tempat dudukku, aku mendengar teman-teman gadisku sedang ribut-tibutnya membicarakan soal gaun yang akan mereka pakai untuk pesta dansa esok sabtu dan memutuskan akan berdandan di salon mana. Pasti mereka sudah memiliki pasangan untuk diajak ke pesta dansa itu pikirku kecut. Semua hal ini sungguh memuakkan. Terlebih ketika mereka tiba-tiba memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti yang sedang mereka bicarakan tadi. Aku hanya mengerutkan dahi dan mengangkat bahu untuk menanggapinya dan kemudian membenamkan kepalaku di balik tanganku yang terlipat di meja berharap jam pelajaran pertama segera dimulai. Melihat reaksiku yang apatis, mereka berdecak kesal dan melanjutkan pembicaraan tanpa melibatkanku lebih dalam.

Untungnya tak lama setelahnya, bel tanda jam pelajaran pertama dimulai telah berbunyi dan semua anak memasuki kelas dan duduk di kursi mereka masing-masing. Aku masih dapat mendengar sura beberapa anak yang masih dengan gigih menjual coklat-coklat dan bunga-bunga mereka kepada teman-teman di sekitarnya. Suasana kemudian menjadi lebih tenang ketika guru fisika kami memasuki ruang kelas untuk memulai pelajaran.

A Piece of Chocolate for My ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang