"Tentu saja, Ru. Ata pasti dengan senang hati akan menemanimu di sini. Iya kan, Ta?" Tiba-tiba suara Nia terdengar dari belakang kami membuatku terlonjak kaget. Kupikir tanpa sengaja aku menyuarakan isi hatiku. Dasar Nia.
"Sudah berapa lama kau menguping pembicaraan kami, Ni?" tuduhku sambil menatap sahabatku dan pacarnya yang sekarang duduk di hadapan kami berdua.
"Tidak lama. Hanya saat kau mulai mengatakan serpihan hatimu dicuri oleh seseorang sampai permintaan Aru kepadamu untuk menemaninya." jawab Nia tanpa perasaan bersalah.
Dengan gemas kupelototi sahabat baikku itu berharap laser akan keluar dari mataku dan membolongi jidatnya berisi otak yang begitu berani dan jahil itu. Ia hanya tertawa renyah saat menerima pelototan dariku dan seakan tidak terjadi apapun ia kembali berkata dengan nada menggoda, "Ata pasti bersedia menemanimu dalam pengobatanmu, Ru. Setiap hari sampai kau sembuh bahkan kalau perlu. Tapi kami tidak sanggup kalau harus mengantar dan menjemputnya kemari setiap hari. Kami juga membutuhkan waktu untuk berduaan saja. Iya kan, honey?" tanyanya meminda penegasan Evo yang ikut memberikan senyuman penuh cinta kepada Nia.
Aru tertawa geli melihat tingkah Nia itu yang memaksaku juga ikut tersenyum meski kesal. Apa haknya menyatakan kesediaanku untuk menemani Aru? Meski memang pasti akan kulakukan. Tapi tetap aku merasa senang dengan kehadiran Nia yang selalu ada di sisiku saat aku membutuhkannya.
"Sepertinya dari para pelayan, papi mendengar kalau kau hari ini banyak tertawa, Ru. Itu sangat baik untuk kesehatanmu." Terdengar suara berat dari arah belakang kami dan membuat kami serempak menoleh ke belakang.
Seorang pria paruh baya yang memiliki wajah Jepang yang khas yang pastinya adalah ayah Aru melangkahkan kakinya ke arah kami. Otomatis aku, Nia dan Evo bangkit berdiri untuk menyalami ayah Aru tersebut dan memperkenalkan diri.
"Tadi om dengar ada yang mau menemani Aru setiap hari sampai ia sembuh?" tanya Om Akira menatapku yang membuatku tertunduk malu. Aku dapat merasakan kedua pipiku menghangat karena pertanyaan itu.
Dengan santainya, Nia menggantikanku menjawab pada Om Akira kalau aku akan dengan senang hati menemani Aru sampai ia sembuh. Dengan segera kuangkat kepalaku dan menatap Nia dengan ganas. Namun Nia seakan tidak menggubris tatapanku dan terus berceloteh tentang aku yang setiap hari pulang ke rumah selalu menggunakan kendaraan umum yang pastinya akan kesulitan untuk datang ke sini setiap hari serta kesulitan mereka untuk meminta ijin dari orang tuaku jika harus menculik anak mereka setiap hari untuk pergi ke rumah seorang pria.
Meski kesal melihat tingkah laku Nia yang tanpa malu menjabarkan semua yang ada di dalam pikiranku, diam-diam aku bersyukur karena ia telah menggantikanku menjelaskan masalah yang harus kuhadapi jika harus menemani Aru setiap hari. Meski sebenarnya aku tidak keberatan.
"Oh, itu masalahnya. Tenang saja, nak Ata. Om akan siapkan sebuah mobil dan supir untuk menjemputmu kemari dan mengantarkanmu pulang saat kau ingin kemari. Nanti Om juga akan datang langsung ke rumahmu untuk meminta ijin kepada kedua orang tuamu."
"Ti... Tidak perlu repot-repot begitu, Om. Nanti saya akan meminta ijin sendiri kepada orang tua saya dan saya bisa naik kendaraan umum untuk pulang pergi kemari." ujarku menolak tawarn Om Akira lantaran tidak enak.
"Tak apa-apa, ini juga demi kebaikan dan kesembuhan Aru. Om sangat berterima kasih kepada kalian karena telah begitu baik memperhatikan Aru. Selama ini, anak Om yang keras kepala ini tidak mau melakukan pengobatan sebagaimana mestinya dan jika ada gadis cantik yang berbaik hati mau menemani Aru dan membuatnya rajin untuk berobat, pasti akan Om fasilitasi sebaik-baiknya." ujar Om Akira memaksa.
"Papi... Jangan membuatku terlihat tidak baik di mata teman-temanku, dong." Aru menatap ayahnya dengan wajah bersemu kemerahan di balik wajah pucatnya.
"Tentu tidak, anakku. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kebahagiaanmu." ucapnya sambil mengusap-usap lembut rambut tipis Aru yang membuatnya terlihat seperti anak SD di hadapan ayahnya.
"Baiklah, anak-anak. Om masuk ke dalam dulu. Nanti beritahukan saja kepada pelayan dimana alamat rumahmu, nak Ata. Nanti atau esok Om akan ke rumahmu untuk meminta ijin kedua orang tuamu." ucap Om Akira sebelum masuk ke dalam meninggalkan kami berempat.
"Ta, sepertinya kita harus pulang. Ini sudah malam dan orang tuaku serta orang tuamu pasti telah mencari-cari kita." kata Nia sambil bangkit berdiri. Sebelumnya, ia menyerahkan sebuah kertas dan pensil kepadaku untuk mengisi alamat dan nomor telpon rumahku serta handphoneku. Kemudian kami beranjak pergi. Tepat sebelum aku akan melangkah pergi, Aru menyuruhku untuk mendekat ke arahnya, kemudian mencium dahiku. Aku yang terkejut cepat-cepat memegang dahiku yang terasa panas. Kemudian segera berpamitan dan melangkahkan kaki keluar rumah Aru yang mewah itu.
Setelah kami mengunjungi Aru hari itu, keesokan harinya, Om Akira –ayah Aru datang ke rumahku untuk menjelaskan maksud kedatangannya kerumahku serta meminta ijin secara langsung kepada kedua orang tuaku. Meski awalnya mama kurang setuju, namun karena aku turut membantu menjelaskan setelah Om Akira pulang, akhirnya kedua orang tuaku menyetujuinya dengan syarat prestasiku di sekolah tidak boleh menurun karena hal ini.
Kemudian, keadaannya Aru semakin hari semakin membaik dan ia sudah mau menjalani kemoterapi secara rutin serta team dokter terus mencari sumsum tulang yang cocok untuk dicangkokkan kepada Aru. Kami sama-sama berharap dan selalu agar penyakitnya dapat segera sembuh, sehingga aku dapat segera mendengarnya bermain gitar untukku lagi.
Aku juga datang secara rutin ke rumahnya untuk menjenguknya maupun melakukan beberapa hal bersama-sama seperti belajar bersama dan ia mengajariku cara bermain gitar. Hubungan kami pun semakin erat dan pada akhir bulan Februari tahun itu.
Hal itu tentu membuatku sangat senang. Membuat alergiku pada hari Valentine sedikit berkurang. Karena pada hari itu, aku bertemu dengan belahan jiwaku. Orang yang sangat aku cintai meski dengan segala keterbatasan kami masing-masing. Aku juga tak pernah berhenti bersyukur karena Tuhan yang sungguh luar biasa merancang pertemuan kami berdua dengan sangat indah. Meski aku tetap tidak menyukai warna pink yang menjadi dominasi warna pada hari Valentine dan kemacetan akibat satu hari tersebut. Tetapi sekarang aku sudah mulai makan coklat, lho. Coklat pertamaku adalah coklat pemberian Aru yang berwarna coklat gelap hampir hitam. Tentu pertamanya aku merasa jijik dan enggan memakannya. Tapi karena Aru memaksa, akhirnya aku mencicipinya sedikit dan ternyata rasanya tidak terlalu buruk juga. Coklat yang kumakan adalah dark chocolate dimana rasa pahit lebih dominan dibandingkan dengan rasa manis yang membuat lidahku ketagihan dengan campuran rasa yang unik itu. Seperti kisah cintaku di hari Valentine yang pada awalnya terasa pahit namun jika dirasakan lebih dalam akan terasa manis dan memunculkan rasanya yang khas.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
I hope you like my story
berhubung masih super amatir mohon maaf atas typo yang merajalela dan kalau ceritanya agak aneh. semoga semua yang membaca tetap terhibur dan ditunggu comment serta votenya ya...^^
Love you all...
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece of Chocolate for My Valentine
RomanceValentine. Apa itu Valentine? Hanya satu hari penuh dengan kebisingan Apa sih kerennya hari bernama Valentine itu? Hanya mengingatkan pada luka.