Part 3

7 0 0
                                    

Suasna pada saat istirahat tidak lebih baik dari pagi tadi. Malah bertambah panas. Apalagi ketika seorang teman sekelasku dan beberapa anak lain berdiri di depan kelas dan mulai membacakan puisi cinta untuk mengutarakan perasaannya pada wanita idamannya diiringi sorak-sorai seluruh anak di dalam kelas. Karena tidak tertarik dengan apa yang sedang terjadi di dalam kelas, aku berusaha berjalan menembus kerumunan yang memadati bagian depan kelas untuk keluar dari kelas dan mencari udara segar di luar. Akan tetapi harapan tinggal harapan, sekeluarnya aku dari kelas sekelompok besar siswa telah memadati papan pengumuman. Dari celoteh beberapa anak yang memadati papan pengumuman yang kulewati dengan susah payah, aku mengetahui bahwa dalam waktu dekat akan diadakan lomba-lomba yang terkait dengan hari Valentine. Dengan rasa muak yang sudah tak tertahankan, aku cepat-cepat berjalan menuju perpustakaan untuk menenangkan diri dari segala kegila ini. Aku tak tahan lagi. Aku harus segera mencari tempat tenang untuk melepas kepenatan akibat hari Valentine ini atau para guru nanti terpaksa harus menelpon rumah sakit jiwa untuk menenangkan amukanku yang turut menjadi korban karena satu hari bernama Valentine.

Aku berjalan sambil menunduk, tidak mau melihat semua kekacauan di sekitarku namun sialnya karena tidak memperhatikan langkah kakiku apalagi dengan begitu banyak orang yang berlalu lalang di sekitarku. Yang entah mengapa membuatku merasa jumlah murid di sekolah ini tiba-tiba bertambah dua kali lipat dari jumlah siswa biasanya. Semoga sekolahku tidak ketambahan mereka yang sudah tiada yang ternyata juga ingin merayakan Valentine yang belum kesampaian saat masih bernyawa.

Saking kesalnya karena jalanan di sekitarku begitu padat, kupercepat langkahku dan tanpa sadar aku berjalan terlalu jauh dan bukannya menuju ke arah perpustakaan, langkahku malah mengarahkanku memasuki ruangan hall terbesar di sekolah kami yang esok sabtu malam akan digunakan untuk pesta dansa Valentine tahunan sekolah kami.

Keberisikan yang ditimbulkan oleh para siswa yang memadati koridor sudah hilang karena sekarang aku berada di ujung terjauh sekolah kami. Sayup-sayup dari dalam hall besar itu terdengar petikan gitar yang mengalun lembut dengan nada menyenangkan diikuti senandung pelan seseorang. Tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Jangan-jangan ada hantu penasaran yang mati karena putus cinta di hari Valentine di dalam hall ini dan rohnya masih mengembara mencari cinta sambil memainkan sebuah gitar. Tapi sebuah kesadaran masuk menyentakkan otakku. Sejak kapan hantu bisa bermain gitar? Pasti ini efek karena aku terlalu banyak menonton film-film hantu buatan lokal yang sebagian besar tidak masuk akal. Meski masih merasa sedikit takut, ternyata rasa ingin tahuku malah membuatku berjalan lebih dekat ke arah suara alunan musik yang cantik namun asing itu.

Langkah kakiku mengantarku pada sesosok pria yang duduk membelakangiku yang sekarang kuyakini masih manusia –karena tidak tembus pandang. Ia ternyata menyadari kehadiranku yang selama beberapa saat memperhatikannya memainkan gitarnya dengan indahnya. Pria itu, kemudian menghentikan permainan gitarnya, berbalik dari posisi awalnya, dan menatap wajahku –orang yang dari tadi diam-diam terpesona akan permainan gitarnya.

Selama beberapa saat kami hanya saling menatap satu sama lain. Mataku tidak bisa lepas dari wajahnya yang tampan. Aku tak mengenal pria tersebut dan sepertinya tidak pernah melihatnya di sekolah ini sebelumnya. Mungkin ia anak kelas sebelah. Sejujurnya, aku memang kurang mengenal anak-anak dari kelas lain.

Bola matanya yang berwana kelabu seperti langit ketika akan turun hujan menatap lurus ke arahku. Mata yang indah itu tanpa kusadari telah membuatku seakan terhipnotis. Mata yang indah itu dibingkai oleh wajah tirus dengan rahang tinggi pada kedua tulang pipinya memberikan kesan tegas namun lembut. Mungkin ketampanannya akan semakin terlihat jika ia sedikit gemuk pikirku mengamati keseluruhan wajahnya. Kemudian yang terakhir, rambut hitam pekat lurus yang terlihat begitu lembut namun agak tipis, terlihat sangat tidak pas dengan wajah pucatnya yang lebih terkesan seperti orang Eropa dibanding orang Asia.

Ia yang pertama kali tersadar dari adegan saling lihat yang kami lakukan. Dengan bingung dan agak kikuk, pria itu cepat-cepat berdiri dan berjalan ke luar hall meninggalkanku yang masih terpesona dengan permainan gitar setra ketampanannya.

Aku hanya diam tak berkutik bagai patung, seakan semua ototku terkunci di tempatku berdiri. Aku masih tak percaya ada orang setampan itu di sekolahku. Siapa pria itu? Mengapa aku belum pernah melihatnya sebelumnya? Tiba-tiba bel tanda masuk pun berbunyi dengan nyaring membuatku terlonjak kaget dan segera berlari kembali ke kelas. Dalam hati, diam-diam aku berdoa semoga esok aku dapat bertemu dengan pria itu di hall ini lagi. Tanpa kusadari bibirku tertarik ke atas membentuk senyum sumringah membayangkan wajah pria itu tadi. Pasti ada saraf otakku yang konslet, tapi biarlah, jarang-jarang bisa mengamati pria tampan di sekolah ini apalagi yang pandai bermain gitar. Mengingat permainan pria tadi, kembali membuatku tersenyum sumringah dan melangkahkan kaki keluar dari ruang hall yang besar itu.


A Piece of Chocolate for My ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang