Part 8

9 0 0
                                    

Keesokan harinya, sesuai pernyataannya kemarin, Nia membeberkan informasi penting terkait Aru kepadaku. Mungkin setelah lulus, sahabatnya ini bisa melanjutkan sekolah sebagai agen rahasia atau polisi, mungkin. Melihat begitu kuat ingatannya tentang informasi yang pernah ia dapatkan.

Nia kemarin teringat sewaktu semester awal kami memasuki SMA, seorang teman kami yang sekarang berada di kelas IPS yang bernama Hanna, pernah menceritakan tentang seorang gitaris muda yang sangat berbakat berada di sekolah mereka. Meski Nia tidak tertarik dengan para pemain musik, yang dianggapnya sama dengan anak band atau boyband yang biasanya playboy, namun karena teman kami itu mengatakan kalau gitaris ini sangat tampan mau tidak mau membuat Nia 'Sang Pecinta Keindahan' dengan senang hati mencari tahu.

Nia hanya mengingat nama belakangnya saja. Haneda entah siapa dengan nama depan tersulit dan teraneh yang pernah Nia dengar setelah nama ku yang menurutnya sudah cukup aneh. Setelah mendengarku menyebutkan nama lengkap Aru kemarin, Nia langsung dapat mengingat percakapan yang ia lakukan dengan Hanna setahun yang lalu. Kemudian setelah memastikan kembali dan bertanya lebih detail ke Hanna mengenai gitaris muda itu yang sekarang sudah dipastikan adalah Aru, Nia mendapat beberapa informasi mengenai Aru.

Aru adalah anak seorang designer interior terkenal yang usianya setahun di atas mereka. Aru ternyata menderita penyakit leukemia yang sekarang sudah mencapai stadium 4. Ibunya yang adalah seorang pemain biola professional juga meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit yang sama sewaktu Aru masih berusia 10 tahun. Kemudian, karena ia tak memiliki saudara kandung dan sepertinya tidak terlalu dekat dengan saudara-saudara sepupunya yang lain, ia tidak kunjung mendapat donor untuk cangkok sumsum tulang belakang yang membuat penyakitnya tak dapat disembuhkan sampai mencapai stadium tinggi seperti itu.

Dari berita yang beredar, Aru juga tak mau menjalani kemoterapi, karena menurutnya tidak ada gunanya menyiksa diri setiap minggu dengan cairan racun yang katanya dapat menyembuhkan kanker itu. Kemoterapi diyakininya sama seperti membunuhnya perlahan hanya melalui cara lain. Aru yang sakit-sakitan sering tidak masuk sekolah sehingga tidak heran kalau kami jarang atau hamper tidak pernah bertemu maupun berpapasan dengannya.

Aku terhenyak mendengar semua berita yang Nia sampaikan dengan cukup lengkap itu. Kemudian mengerti mengapa Aru tiba-tiba menghilang dari hall selama beberapa hari ini. Mungkin kondisinya kembali melemah dan harus dirawat di rumah atau di rumah sakit. Diantara perasaan sedih lain yang menyerang ke dalam hatiku, entah mengapa ada perasaan lega juga yang terselip di sana. Hatiku terasa sedikit lega memikirkan kemungkinan kalau Aru tidak menjauhinya dengan sengaja atau karena membencinya.

Seakan mengetahui apa yang akan kukatakan selanjutnya, Nia menyodorkan sebuah kertas berisi alamat yang diduga adalah rumah Aru. Dengan haru kupeluk sahabat terbaikku itu sedikit terlalu keras sampai ia harus mencubit pahaku untuk dapat menghirup nafas dengan benar kembali. Ketika ia akan kupeluk lagi, Nia mengangkat kedua tangannya menahan tubuhku mendekatinya dan berseru, "Cukup! Cukup! Aku tahu kau mengakui kehebatanku dalam mencari informasi. Tapi kalau sekali lagi kau memelukku sekeras tadi, aku bisa menyusul Aru ke rumah sakit!"

Tanpa kupedulikan omelannya kembali kupeluk Nia, kali ini lebih lembut dari yang pertama dan ia pun balas memelukku dengan lembut. Aku sudah tidak sabar untuk datang mengunjungi Aru. Aku harus bertemu Aru atau aku akan menjadi gila karena rindu yang bahkan tidak kuketahui datangnya dari mana. Kami bahkan baru mengenal beberapa hari. Tapi sudahlah. Siapa yang pernah dapat memprediksi cinta dan reaksi yang ditimbulkannya?

~**~

Begitu bel pulang sekolah terdengar, aku yang memang sudah membereskan seluruh buku-buku ku ke dalam tas cepat-cepat membantu Nia memasukkan buku-bukunya dan dengan segera menarik Nia untuk menemaniku menuju alamat yang tertera di kertas yang tadi pagi ia berikan kepadaku.

Evo –pacar Nia yang juga berusia setahun lebih tua dari mereka, selalu membawa mobil ke sekolah sejak memiliki SIM dan bertugas mengantar jemput Nia ke sekolah. Rencana kami ke rumah Aru sudah dibicarakan Nia kepada Evo sebelumnya yang tidak keberatan turut menemaniku ke rumah Aru. Aku juga telah meminta ijin mama untuk pulang terlambat dengan alasan ada urusan yang harus kuselesaikan. Untungnya mama tidak bertnya macam-macam mengenai urusan apa yang harus kuselesaikan itu.

Setelah berputar-putar dan beberapa kali tersasar, kami akhirnya menemukan perumahan mewah yang didominasi rumah-rumah besar bercat kuning gading pucat. Rumah Aru berada di bagian tengah kompeks perumahan mewah itu. Rumah yang dari luar terkesan sederhana dengan sentuhan minimalis yang elegan itu dilengkapi dengan gerbang hitam rendah serta halaman hijau yang cukup luas membuatnya tidak kalah menarik dibanding rumah-rumah lain di sekitarnya.

Sesaat aku merasa ragu untuk memasuki rumah mewah itu. Ia tidak menduga kalau Aru sekaya ini. Ia tidak mau terkesan matre dengan mendatangi orang yang baru beberapa hari ia kenal dan ternyata seorang anak pengusaha kaya raya. Apa yang akan Aru pikirkan kepadanya nanti?

Nia yang sedari tadi memandangiku dari belakang mendesah tidak sabar dan langsung menekan interkom yang terpasang di dinding samping gerbang hitam itu. Dengan terkejut kutatap Nia dengan perasaan campur aduk antara kesal, takut dan juga malu.

"Ni, mengapa kau tekan tombol interkomnya? Aku baru saja berpikir untuk pulang saja. Apa yang akan Aru pikirkan kalau aku tiba-tiba muncul di depan rumahnya padahal kami baru pernah berbicara satu kali?" bisikku ke arah Nia.

"Kau mau pulang setelah kita jauh-jauh datang ke sini? Enak saja. Kalau kau tidak mau masuk biar aku saja yang masuk dan mengatakan kalau sahabat baikku sudah hampir gila karena merindukan majikan mereka yang bernama Arcturus Haneda." Nia berkata dengan garang sambil menjitak pelan kepalaku.

"Selamat siang, kediaman keluarga Haneda. Ada yang dapat kami bantu?" Sebuah suara terdengar dari interkom yang baru saja ditekan oleh Nia.

"Kami ingin bertemu dengan Arcturus Haneda." jawab Nia segera dan mendapat pelototan membunuhku.

"Tenanglah, Ta. Kita hanya datang berkunjung. Tidak ada maksud apa-apa kan?" kata Nia menenangkan sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Berkunjung bagaimana? Kita bahkan tidak membawa setangkai bungapun." keluhku gelisah.

"Siapa bilang?" tanya Evo tidak setuju dan di tangannya sudah ada separsel buah-buahan segar yang ditata dengan sangat cantik.

Lagi-lagi kutatap Nia dengan mata berkaca-kaca. Sudah siap memeluknya lagi. Namun kali ini Nia sudah menyiapkan posisi kuda-kuda untuk mengantisipasi pelukanku. Akhirnya aku hanya tersenyum penuh rasa terimakasih kepada Nia dan Evo.

"Mohon maaf, Tuan Arcturus sedang tidak dapat ditemui." terdengar kembali suara dari interkom yang terdengar sangat menyesal. Yang membuatku amat sangat kecewa. Rasa sedih kembali memasuki hatiku. Harapanku satu-satunya untuk bertemu dengan Aru sudah kandas. Namun tiba-tiba interkom itu kembali mengeluarkan suara, "Apakah ada pesan yang ingin disampaikan?"

Harapan yang tadi sempat hilang seperti muncul kembali dalam genggamanku yang membuatku mendekatkan diri ke arah interkom dan berkata, "Tolong katakana pada Tuan Arcturus kalau ia masih memiliki hutang sebuah lagu untuk seorang gadis. Terima kasih."

A Piece of Chocolate for My ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang