Part 9

15 0 0
                                    

"Baik, mohon tunggu sebentar. Akan saya sampaikan pesan tadi kepada Tuan Aru," ujar suara dari interkom tersebut kembali terdengar. Kami pun akhirnya menunggu dengan harap-harap cemas. Mungkin saja ketika mendengar pesanku itu, Aru akan mau menemuiku.

Setelah menunggu cukup lama, belum ada respon yang kami dapatkan. Pintu gerbang besar itu belum terbuka juga. Kami sudah memutuskan untuk pergi saja dari rumah Aru. Mungkin kondisinya sekarang memang tidak memungkinkan untuk ditemui. Ketika aku sudah akan memasukkan kepalaku ke dalam mobil, tiba-tiba pintu gerbang berwarna hitam itu terbuka dan seorang satpam datang menghampiri kami dan mempersilahkan kami masuk bersama mobil yang kami bawa juga.

Aku tidak dapat menahan perasaan bahagia yang kurasakan. Kebahagiaan karena akan menemuinya membuatku terus tersenyum sepanjang memasuki halaman rumah yang ternyata sangat besar itu. Kami berjalan cukup jauh menuju bagian dalam rumah yang dari depan tadi terkesan sederhana namun setelah masuk ke dalam sangat megah dan mewah.

Ketika akan memasuki rumah mewah itu, kami disambut oleh beberapa pelayan dengan seragam berwarna biru laut yang salah satunya mempersilahkan kami untuk masuk dan mengarahkan kami masuk ke dalam ruang tamu. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak memandang takjub ke sekeliling interior rumah yang begitu tertata indah yang didominasi warna coklat muda dan coklat tua serta hitam.

Tentu saja bagian dalam rumah Aru begitu indah mengingat reputasi ayahnya yang merupakan designer interior terkenal. Masa interior rumah seorang interior designer tidak menakjubkan? Bagaimana pelanggannya bisa percaya kalau memang keahlian seninya sungguh baik jika interior rumah sang designer saja tidak menarik? Setiap barang di rumah itu terlihat mahal dan tertata sangat baik. Seakan setiap benda memang sudah seharusnya berada di sana.

Ruang tamunya pun begitu elegan dengan perpaduan karpet bulu tebal berwarna gradasi antara coklat tua dan hitam. Diatasnya berdiri sofa-sofa yang terlihat sangat empuk menggoda untuk diuduki berwarna putih gading dan sebuah meja rendah dari kayu dengan kaca pada lapisan atasnya. Pada dinding di bagian belakang ruang tamu itu, terdapat beberapa foto kanvas dalam berbagai ukuran. Salah satu foto yang paling besar adalah foto seorang wanita keturunan barat yang masih muda dan sangat cantik sedang menggendong seorang anak laki-laki yang usianya mungkin baru 2 tahun dengan wajah yang begitu bahagia. Di sebelahnya terpasang foto keluarga yang berisi 3 orang yang kemungkinan besar adalah foto Aru dengan keluarganya. Di dalam foto itu usia Aru mungkin baru 6 tahun. Ia begitu mungil dan menggemaskan. Wanita cantik pada foto besar yang pertama tampak lebih kurus dan lebih pucat pada foto yang kedua ini. Namun pancaran kebahagiaan tetap terlihat pada matanya yang ternyata berwarna sama dengan warna mata Aru.

Kami pun dipersilahkan untuk duduk di sofa berwarna putih gading tersebut. Aku menunggu dengan harap-harap cemas kedatangan Aru ke hadapan kami. Sebenarnya aku ingin menawarkan diri untuk ke kamarnya saja agar ia tidak perlu berjalan keluar. Namun gadis macam apa yang masuk ke kamar seorang pria pada hari pertama kedatangannya ke rumah pria tersebut? Akhirnya aku memutuskan untuk diam saja dan menunggu.

Di hadapan kami dihidangkan beberapa makanan ringan dan tiga gelas minuman yang sepertinya es jeruk. Nia yang sepertinya sudah kehausan dari tadi dengan segera menandaskan isi gelasnya yang kemudian langsung diisi kembali oleh pelayan rumah Aru. Aku yang melihatnya hanya bisa menundukkan kepala dengan malu.

Tak berapa lama kemudian, seorang pria yang terlihat begitu lemah didorong keluar dengan menggunakan kursi roda. Namun warna kelabu matanya yang selalu menghantui mimpi-mimpi malamku membuatku mengenali sosok lemah berwajah pucat itu. Pria yang duduk di kursi roda itu adalah Aru. Aru yang sama dengan yang selalu ditemuinya setiap istirahat di dalam hall sekolahnya. Aru yang selalu memetik gitarnya dengan nada-nada indah. Sekarang terlihat sangat berbeda. Badannya terlihat jauh lebih kurus dibanding hari terakhir aku bertemu dengannya. Rambut hitamnya yang indahnya pun sekarang menjadi sangat pendek dipotong model tentara. Tapi semua itu tidak mengurangi ketampanannya di mataku dan selalu membuatku berdebar-debar ketika menatap matanya yang indah namun sendu itu.

Ia yang sepertinya telah diberitahu akan kedatanganku tidak terlihat terkejut. Ia hanya tersenyum lemah dan terlihat agak tidak nyaman. "Hai." Sapanya lemah. Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Selama beberapa detik tidak ada satupun dari kami yang bersuara.

"Hai juga, Aru. Salam kenal. Aku Nia sahabat Ata dan ini pacarku Evo. Ia seangkatan denganmu." Nia berkata untuk memecah keheningan yang semakin lama semakin menyesakkan.

Aru kemudian tersenyum dan mengulurkan tanggannya ke arah kami bertiga, "Salam kenal, Nia dan Evo. Sepertinya kalian telah mengetahui namaku dan seperti yang telah kau sebut tadi, kau boleh memanggilku Aru."

Nia dan Evo kemudian bergantian menyalami Aru. "Ehm, sepertinya Evo lapar, Ta. Sebaiknya kami keluar sebentar mencari makan di sekitar sini." kata Nia tiba-tiba membuatku menatapnya dengan bingung.

Sepertinya Evo pun merasakan kebingungan yang sama denganku yang terlihat dari kerutan di dahinya. Namun Nia hanya menatap Evo tajam dan segera menariknya menuju pintu keluar. Seakan lupa sesuatu, Nia kembali menuju ke arah kami kemudian mengambil parsel buah dari tanganku dan menaruhnya di atas pangkua Aru kemudian berkata, "Kami pergi sebentar, ya. Titip Ata di sini sebentar boleh? Kami akan segera kembali."

Aru tersenyum ramah menerima parsel yang diletakkan Nia di atas pangkuannya kemudian berkata, "Sebenarnya kalian tidak perlu kemana-mana. Pelayan-pelayanku bisa menyiapkan makanan yang kalian inginkan."

"Ah, tidak perlu repot-repot. Tadi di jalan Evo melihat rujak cingur dan ia kemarin bilang kalau ia sedang ngidam rujak cingur. Iya, kan honey?" ujar Nia yang aku yakini sebagai suatu kebohongan. Evo yang dicubit perutnya karena hanya melongo bingung mau tak mau dengan tergagap membenarkan perkataan Nia. Selain melihat tingkah Nia yang mencurigakan, seingatku selama perjalanan menuju ke sini aku tidak melihat ada rumah makan yang menjual rujak cingur apalagi di dekat-dekat sini.

Nia menatapku dan berkata, "Ta, kami pergi sebentar. Ngobrol-ngobrollah dengan, Aru sampai kami kembali." Barulah kemudian aku menyadari apa yang Nia rencanakan dan dengan spontan memeluk sahabat terbaikku itu. Ia memang tahu apa yang kubutuhkan meski aku tak tahu juga apa yang harus kukatakan jika nanti berduaan saja dengan Aru di rumahnya yang besar ini.

"Ya, ampun, Ata. Aku hanya pergi mencari makan sebentar. Kau tak perlu seemosional ini untuk melepas kepergianku." canda Nia sambil mendorong mundur bahuku. Ia menepuk bahuku perlahan dan dari matanya aku tahu ia memberikanku dorongan semangat sebelum kemudian menarik Evo untuk meninggalkan rumah Aru.

A Piece of Chocolate for My ValentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang