Nia yang diam-diam menyadari perubahan drastis sikapku selama beberapa hari belakangan ini, yang bahkan sampai tiba-tiba memutuskan untuk ikut ke pesta dansa yang pada awalnya sangat kutolak untuk kuhadiri itu membuatnya merasa sangat cemas. Ia dengan diam-diam mengikutiku menuju hall dan melihatku menangis terisak-isak disana. Meski bingung dengan apa yang terjadi padaku, Nia melangkahkan kakinya mendekatiku yang sedang terisak sedih.
Mendengar langkah kaki di belakangku, otomatis membuatku segera memalingkan kepala berharap melihat Aru di sana. Alih-alih melihat Aru, aku melihat Nia yang menatapku dengan cemas. Dengan segera aku berdiri dan memeluk Nia dengan erat masih sambil terisak.
Nia menepuk-nepuk bagian belakang punggungku berusaha menenangkanku yang sesunggukan dan mengajakku untuk duduk di tangga menuju ke atas panggung. Untungnya saat itu sudah pulang sekolah sehingga kami bisa berada di sana selama yang kami mau. Selama beberapa saat Nia hanya diam saja dan sesekali mengusap punggungku sambil menyodorkan sekotak tissue. Ia tidak memaksaku memberi penjelasan namun menungguku sampai siap menjelaskan padanya.
Setelah cukup tenang dan menghabiskan seluruh persediaan tissue milik Nia dan milikku sendiri, aku menyusut air mata yang masih tersisa di sudut mataku. Nia menyodorkan botol minum yang diambilnya dari dalam tasku dan aku meminum beberapa teguk air putih yang terasa manis dan menyegarkan di tenggorokkanku yang baru kusadari terasa begitu kering.
Kutatap wajah Nia yang dengan sabar menunggu penjelasanku dan mulai bercerita tentang apa yang terjadi selama dua minggu terakhir ini. Tentang pertemuanku dengan Aru, yang kemudian membuatku selama beberapa hari kemudian mendatanginya ke hall setiap hari untuk mendengarkan permainan gitarnya, tentang perasaan ketagihanku akan alunan gitar yang ia mainkan dan bagaimana akhirnya kami berbicara satu sama lain. Kemudian akupun menceritakan tantangan yang Aru ajukan dan ketika keesokan harinya aku tak dapat lagi menemukannya di hall bahkan di acara pesta dansa sekolah. Pada saat menceritakan bagian terakhir ini, lagi-lagi air mataku bergulir membasahi wajahku.
Nia tampak puas atas penjelasanku yang juga pastinya menjawab semua tanda tanya yang berseliweran di kepalanya mengenai sikapku yang aneh semenjak hari Valentine minggu lalu. Nia yang sepertinya mengerti kesedihanku kembali memelukku dengan hangat dan berjanji akan membatuku. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir mengenai semua hal yang secara tiba-tiba terjadi padaku.
"Sepertinya aku dapat mengerti mengapa kau begitu anti dengan hari Valentine." ucap Nia prihatin. Ia pasti teringat kejadian yang kurang lebih sama mengenaskannya di hari Valentine tahun lalu. Saat pria yang kusukai malah menyatakan cintanya kepada orang lain di hari Valentine yang sangat kubenci ini.
Kemudian tiba-tiba sebuah kesadaran merasuki pikiran Nia yang kemudian membuatnya bertanya, "Tadi kau bilang siapa nama pria itu?"
"Aru?" jawabku dengan bingung.
"Bukan nama panggilannya, Ata. Nama lengkapnya. Apa nama lengkap pria itu?" tanya Nia lagi dengan tidak sabar.
"Arcturus Haneda." jawabku masih tidak mengerti. Terlebih ketika melihat senyum sumringah Nia melintasi wajahnya. "Mengapa kau tersenyum seperti itu? Kau mengetahui sesuatu?"
"Belum pasti sih, tapi sepertinya aku tahu siapa orang yang pernah menyebut-nyebut nama itu. Pantas saja sepertinya aku tidak asing dengan nama itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece of Chocolate for My Valentine
RomansaValentine. Apa itu Valentine? Hanya satu hari penuh dengan kebisingan Apa sih kerennya hari bernama Valentine itu? Hanya mengingatkan pada luka.