Sign of Cancer : Blue Canvas

2.5K 95 16
                                    

Sign of Cancer :

Blue Canvas

 

Hujan deras turun selama lima hari berturut-turut di jam yang sama. Pukul satu siang sampai empat sore. Di hari-hari seperti itu Yuka terpaksa memakai taksi saat pulang sekolah. Mahal! Tapi mau bagaimana lagi. Mustahil dia menuntut pacarnya, Genta, menjemput naik motor di tengah hujan begini. Salah-salah motornya malah nyungsep gara-gara trotoar yang berubah selicin porselen.

Hari ini Yuka-lah yang harus mendatangi sanggar tempat Genta dan teman-temannya melukis. Sudah hampir tiga minggu gerombolan pelukis itu tidak keluar dari sana, untuk mempersiapkan pameran seni yang diadakan bulan depan. Dan Yuka dengan sukarela membelikan peralatan lukis mereka mulai dari kanvas, kuas, beragam jenis cat lukis (terkadang Yuka musti mencatat jenisnya dengan hati-hati, takut salah beli), terpentin, sampai barang-barang rada ajaib semacam sisir rapat yang dikombinasikan dengan sikat gigi untuk memberi efek-efek tertentu pada lukisan.

Yuka menyeret sekarung peralatan dan memasukkannya ke jok belakang taksi. Kemudian dia menyelinap ke kursi di sebelah supir dengan seragam yang setengahnya basah, “Sanggar Cendana di Jalan Kamboja, Pak.” Si supir mengangguk dan mengemudikan taksi-nya ke tujuan yang diminta. Sanggar Cendana dulunya sebuah sanggar tari, setelah terbengkalai bertahun-tahun, Genta dan teman-temannya mengambil alih dan menyulapnya menjadi tempat yang cocok untuk melukis. Yuka terlibat dalam setiap proses pemugarannya.

Sudah hampir dua tahun dia berpacaran dengan Genta yang merupakan mahasiswa sekolah seni lukis di kota mereka. Hal yang paling Yuka sukai dari Genta adalah muka seriusnya sewaktu melukis. Genta seolah tenggelam seluruhnya dalam dunianya sendiri. Dunia lukis, yang mencintai Genta sebesar Genta mencintainya. Yuka sempat merasa tersisihkan dan dianggap nomor dua. Namun Genta selalu berhasil meyakinkan bahwa melukis adalah hidupnya sedangkan Yuka adalah nyawanya. Yang selalu dibalas Yuka dengan kata, “Gombal!” dengan wajah yang bersemu merah.

Kongkol dan Ndebuk (Yuka tidak tahu nama asli mereka), keduanya cowok, ternyata menunggu di depan sanggar. Keduanya membantu Yuka mengangkut karung yang dibawanya. Pintu dan jendela sanggar yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, bahkan celah-celah di pinggirnya diganjal koran bekas. Yuka dan yang lain melewati Memey (cewek) dan Hanung (cowok) yang berdebat mengenai lukisan mana yang disertakan dalam daftar pameran dan mana yang tidak.

“Yang ini bagus.” Hanung menyodorkan lukisan kawanan gajah. “Sayang kalau tidak ditampilkan.”

“Tidak cocok dengan tema yang diusung dalam acara nanti,” tolak Memey.

Yuka nyengir. Perdebatan kedua orang itu bisa berlangsung berjam-jam. Hanung dan Memey menjadikan kebiasaan itu sebagai pelepas stress bila sedang suntuk. “Kita taroh di sini aja,” kata Ndebuk pada Yuka dan Kongkol, maksudnya karung yang mereka angkat. Sekali ayun, karung tersebut telah nangkring di atas meja oshin kecil di tengah sanggar.

“Thanks ya, Yuk,” kata Kongkol. “Klo nggak ada kamu nggak tau gimana deh nasib kami.”

“Ih, nggak pa-pa kali,” tukas Yuka. “Eh, Genta dimana?”

Private Room.”

Yuka meletakkan tas sekolahnya di samping karung lalu pergi ke ruangan kecil tanpa ventilasi. Anak-anak sanggar menyebutnya Private Room sekedar untuk meng-elit-kan ruangan yang sesungguhnya pengap dan remang-remang itu. Di sana Genta terlihat sibuk, tangannya luwes menggerakkan kuas di atas kanvas, tak menyadari kedatangan Yuka. Kepala Genta yang plontos berkeringat, padahal udaranya lumayan dingin, kepengapan di sana berubah menjadi kelembaban. Keringat tersebut menandakan bahwa dia sedang berkonsentrasi penuh dan sebaiknya tidak diganggu. Apa yang dia lukis? Bukannya seluruh kepingan Genta sudah rampung kemarin? Yuka mengintip dari balik bahu Genta, lalu terhenyak. Lukisan itu memang masih dalam tahap awal. Sapuan dan goresannya belum begitu jelas. Namun Yuka mengenali rambut ikal, wajah oval dan leher jenjang itu. Genta melukis diriku. Genta memakai gradasi warna tosca alih-alih hitam. Seperti itukah aku di matanya? Tersanjung, Yuka mundur tanpa suara, turut tenggelam oleh pesona ayunan tangan Genta. Genta pernah bilang melukis itu sama dengan menari namun tanpa koreografi. Tangan kita tahu kemana dia harus bergerak karena dituntun oleh hati. Tebal-tipis. Lemah-tekan. Panjang-pendek. Lurus-lengkung-berputar. Segalanya begitu indah bila kita mampu menghayati prosesnya. Tanpa sadar Yuka menghela nafas dan spontan Genta membalikkan badan. Terkejut pada keberadaan Yuka. “Ma-ma’af,” seru Yuka serba salah. Dengan sigap Genta mengambil kain, menyelubungi lukisannya. Sia-sia, aku sudah melihatnya.

Midnight Magic ~ensikLOVEdia~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang