[C] Tahi Kucing

1.6K 114 10
                                    

"Tahi kucing itu bau!" teriakku.
"Aku tidak percaya." Jawabmu.

Sebelumnya, aku mau bercerita. Eh, aku mau memperkenalkan diri dulu. Bisa-bisa kamu menamaiku kampret atau bangsat. Ya, apalah arti sebuah nama, tetapi rasanya membara saja kalau aku dipanggil seperti ini," Hai Bangsat, apa kabar! Ya ampun kamu cantik sekali!" biarpun pakai embel-embel cantik aku enggak suka.
Namaku Olinka. Aku baru saja bicara pada sepupuku. Aku menyebutnya sepupu sebab dia adalah anak dari Tante Mimi yang merupakan adik ayahku. Kami seumuran. Dalam hal ini aku mendefinisikan seumuran sebagai lahir di tahun yang sama meski bulan, tanggal, dan jam berbeda. Usia kami 11 tahun. Sepupuku ini berkulit putih, berpipi bulat, agak gendut, rambutnya berponi seperti pemeran Charlie di Charlie and Chocolate Factory. Tetapi dia tidak setampan itu. Percayalah. Percayalah. Perlu tidak aku memberitahu namanya siapa? Mungkin aku perlu memberitahu namanya meskipun pada akhirnya kamu mengabaikannya. Namanya Ragawilapa Batara. Di rumah dia dipanggil Aga. Tapi aku memanggilnya Bata.
Tahu dong bata? ya, bata itu merk sepatu. Tapi yang aku maksud bata yang dipakai untuk membangun rumah. Terbuat dari tanah yang digiling sedemikian rupa, dicetak, dijemur, dan dibakar dengan suhu tertentu. Aku lupa menanyakan pada tukang bata dalam suhu berapa bata dibakar. Dan sebenarnya aku tidak yakin mereka paham. Atau mereka hanya kira-kira, aku belum pernah tuh melihat tukang bata membawa termometer dan mengukur berapa suhu bara api.
Ya, ya, ya. Maaf aku malah bercerita tentang batu bata. Tetapi aku punya mulut yang diciptakan untuk berbicara sesukamu. Asal tidak berbicara kotor dan melanggar hukum dan agama kupikir tidak masalah. Lagipula aku bicara apa yang aku mau katakan. Bukan yang mau orang dengar. Aku enggak paham sama orang yang bermanis-manis, penjilat!
"Kita enggak punya kucing ya?" Bata merusak argumen di kepalaku. Aku menoleh, menaikkan alisku. Saat ini kami sedang duduk di halaman belakang rumah Bata. Jadi ceritanya, orangtuaku pergi ke luar kota dan aku dititipkan di rumah Bata. Kemudian Bata mengajakku ke halaman belakang, duduk di bawah pohon mangga yang tidak berbuah dengan dialasi tikar. Di atas tikar tersebar susu kotak stoberi dan vanila yang sudah kosong. Ada beberapa kulit pisang dan bungkus Taro yang isinya ludes. Tiga perempat isinya telah pindah ke perut Bata.
"Ini rumah kamu Bata. Kenapa nanya aku?"
"Aku lupa."
"Kamu beneran enggak pernah mencium bau tahi kucing?" tanyaku memastikan. Bata mengangguk. Berkali-kali. Sepertinya perlu aku tambahkan sambil berseru trilililililili. Sebentar... sebenarnya lagu itu yang benar di pucuk pohon cemara atau di pucuk pohon cempaka? Uhm, aku harus mencari di internet nanti lirik lagu Burung Kutilang yang asli.
"Mami enggak mau ada kucing di rumah ini. Kata mami mereka bau. Mereka suka mencuri. Dan membuang kotoran sembarangan. Padahal menurutku itu hanya masalah kita mendidik kucing kita. Iya enggak? "
"Mendidik?" tanyaku. Sesungguhnya aku malas berkomentar. Aku masih memikirkan lirik Burung Kutilang.
"Kita makan dengan tangan karena kita dibiasakan makan dengan tangan. Kita mandi di kamar mandi karena terbiasa mandi di sana. Orang-orang yang tidak malu mandi di sungai karena sejak kecil mandi di sungai. Aku pikir kucing juga gitu. Kalau aku membiasakan mereka buang sampah perut mereka di kotak pasir, mereka pasti enggak mau buang kotoran di sofa. Kalau aku...."
Langit berwarna biru. Cerah sekali. Biarkan sajalah Bata bicara sendiri. Paling juga ujung-ujungnya dia minta dibelikan kucing. Pakai acara ingin tahu tahi kucing baunya seperti apa.
"Gimana menurutmu?" tanya Bata sambil menepuk bahuku.
"Bagus."
"Hahaha. Kamu memang sepupuku yang paling cantik!"
"Kamu cuma punya sepupu perempuan aku. Yang lain laki-laki," sahutku. Padahal, aku tidak tahu dia bicara apa. Apa yang dimintai pendapatnya tadi. Apa yang aku bilang bagus itu. Alah... paling juga beli kucing untuk dipelihara.
*
Dua minggu, tiga hari, dan sekian jam dari aku mengatakan 'bagus' Tante Mimi datang ke rumahku. Menemui Ibu. Aku yang sedang membaca majalah Bobo mencuri dengar. Eh tidak, tapi memang mendengar dengan jelas.
"Aku enggak ngerti Mbak sama kelakuan Aga. Duh... pusing!" keluh Tante Mimi. Ah, paling-paling Aga minta kucing.
"Senin lalu Mbak, dia bawa 4 kucing kampung ke rumah. Selasa bawa, 3 atau 2. Rabu bawa 8. Dan Kamis bawa 1. Udah berapa itu Mbak?"
"18."
"Nah 18. Banyak banget kan Mbak? Aku udah melarang dari dulu untuk beli kucing. Eh, dia malah bawa kucing kampung. Aku bilang oke, tapi kamu urus waktu dia bawa kucing di hari pertama. Ya, tapi kok semua kucing yang dia temuin di jalan dia bawa pulang. Dia menguras tabungannya untuk beli makanan kucing. Aku enggak masalah, dia bertanggung jawab. La... sekarang dia enggak pernah peduli sama sekolahnya Mbak...," cerocos Tante Mimi. Aku tersenyum. Ini menarik. Bata ternyata baik sekali.
"Enggak mau ngerjain PR gitu?"
"Awalnya jarang ngerjain PR, Mbak. Nah tapi makin ke sini malah enggak mau sekolah. Katanya dia enggak mau sekolah sampai semua kucingnya terbiasa membuang kotoran mereka di bak pasir masing-masing. Jadi ya, Mbak. Dia punya bak pasir 18. Nah kucingnya nanti diajari, ini bak punya siapa. Kucing yang enggak pup di baknya makannya dikurangi. Dan kucing yang berhasil pup di baknya akan ditambah makanannya," Tante Mimi melanjutkan.
Jadi... yang dibilang Bata itu... membiasakan... kucing membuang tahi-tahi mereka pada tempatnya? Mister Burger!
*
Suatu hari ketika usia kami sudah dewasa.
Bata telah menjadi dokter hewan. Mendalami psikologi hewan. Setelah dewasa, aku baru tahu bahwa yang dilakukan Bata, memberikan makanan tambahan kalau dia buang kotoran di bak yang benar, dan mengurangi makanan ketika buang di bak yang salah, adalah salah satu modifikasi perilaku. Differential Reinforcement namanya.

-----
Ada yang mau meledak tapi enggak tahu. Cerita ini mengalir saja. Cuma mau menceracau saja.

21/2/2016

Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang