[C] Sebelum Waktunya Tiba

1.4K 105 28
                                    

Pagi tadi, ditemukan tulisan ini di sebuah folder berdebu. Selamat menikmati.


Mataku menerawang ke langit-langit sel sempit ini. Aku masih ingat ketika lelaki berjubah hitam itu berkata hukuman matilah yang kudapatkan. Dan ketukan palunya dua tahun lalu masih terngiang di telingaku. Kadang malam-malam tak tenang dengan mimpi busuk dan mendengar suara palu yang bertalu-talu sering kualami.

Aku masih ingat aku hanya terdiam, dan terus membisu setelah palu itu diketukkan. Aku menutup mulutku sampai para polisi kembali membawaku ke mobil dan menjebloskanku ke sel. Aku sudah membatu dan tak ada lagi tangis yang bisa kuteteskan sejak saat itu. Aku lelaki dan menangis hanya untuk perempuan.

Kenyataannya semua telah terjadi. Dan yang telah terjadi tidak bisa diubah apalagi dihapus. Tapi seandainya aku bisa mengulang waktu, tak akan kulakukan itu.

~~~

Ibu sedang menggoreng bala-bala ketika Anisa, adikku yang sebentar lagi lulus SMA berkata ia diterima di Fakultas Kedokteran sebuah universitas negeri ternama di Bandung. Aku begitu senang mendengarnya, adikku akan menjadi dokter. Kuharap itu bisa memperbaiki kehidupan keluargaku yang pas-pasan sejak Abi meninggal dan harta kami terkuras untuk biaya kesembuhan Abi.

Maka ketika Anisa menyebutkan sejumlah uang untuk biaya masuknya, kukatakan aku akan menyanggupinya. Aku tidak ingin Anisa sepertiku dulu. Aku yang drop out dari kampus karena Ibu tidak sanggup membiayai uang semesteranku dua tahun lalu.

Minggu pagi, setelah mengantar Anisa berjualan nasi kuning dan gorengan buatan Ibu di Terminal Baranangsiang, aku memutuskan menemui Andri, teman SMA-ku dulu. Kalau-kalau Andri bisa meminjamkanku uang atau memberiku pekerjaan.

"Jadi lo butuh duit berapa Win?" tanya Andri begitu aku mengutarakan maksudku.

"Ya, sekitar sepuluh juta Ndri. Itu sekalian biaya kost si Nisa di Bandung nanti."

"Lo bisa nyupir kan Win?"

"Bisa."

"Nyupir, nyupir truk. Teman gue ada yang butuh supir. Lo tinggal ke Aceh dan bawa truk kesini. Gimana ?" tawar Andri. Aku mengerutkan kening. Bawa truk dari Aceh kesini ? Kenapa harus orang sini ?

"Mau enggak ? Lo bakal dapat lima puluh juta."

"Lima puluh juta?"

"Iya, Bro. Lima puluh juta. Tapi yang lo bawa ganja," terang Andri. Aku terdiam dan berpikir. Uang yang ditawarkan sangat menggiurkan. Lima puluh juta ? Kukira itu sudah cukup untuk kuliah Nisa di tahun-tahun pertama.

"Gue pikir-pikir lagi ya, Ndri. Nanti gue sms gimana keputusannya," sahutku.

"Oke. Jangan kelamaan mikir lo!" teriaknya. Aku kembali menstarter motor bututku dan pergi ke sebuah taman kanak-kanak yang tak jauh dari rumah Andri. Aku membantu Teh Ina mengajar di sini.

Kuputuskan menerima tawaran Andri dengan syarat ia memberiku dua puluh juta di muka. Bosnya yang tidak kuketahui namanya itu pun setuju. Ada raut bahagia terpancar dari wajah Nisa begitu kuberikan uang itu padanya. Kukatakan bahwa aku meminjamnya dari Andri dan membayarnya dengan bekerja padanya. Andri mengantarku ke bandara, ia berkata, akan ada orang yang menjemputku di sana. Dan benar, seorang lelaki berambut keriting dan berkulit hitam menyambutku. Ia mengajakku ke rumahnya dan makan siang. Semangkuk sayur daun singkong terhidang di meja. Alif – nama pemuda berambut keriting – itu berkata bahwa sayur santan itu diberi beberapa helai ganja sebagai bumbunya.

Esoknya, sebuah colt diesel telah disiapkan untukku. Aku tidak melihat daun ganja disana. Yang ada karung-karung berisi kentang dan wortel. Aku melihat sayuran itu tersembul dari karung. Mereka mungkin sudah mengemas ganja-ganja itu dengan sedemikian rupa. Aku pamit pada Alif dan keluarganya, dan memulai perjalanan sambil terus-terusan berdoa, Tuhan menjagaku.

Abu-abuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang