Bab 7 : Candu

14.7K 860 29
                                    

Dia tertawa. Demi Tuhan,malaikat itu akhirnya tertawa.

Ronald tak pernah menyangka jika kedatangannya ke TK Permata untuk survey lokasi sebelum pembangunan mall miliknya itu, ia justru bertemu kembali dengan Sachi. Sachi Pradita yang sudah dua hari ini membuatnya tak dapat tidur. Ronald bahkan harus mengonsumsi obat tidur agar ia bisa memejamkan mata. Ronald tak bisa mengenyahkan bayangan Sachi. Betapa wajah ketakutan Sachi ternyata jauh lebih membuat Ronald khawatir dari harga saham yang anjlok.

Ronald juga tak tahu jika Sachi bekerja sebagai pengajar di TK Permata. Selama ini fakta mengejutkan itu memang luput dari perhatian Ronald. Bagaimana mungkin Ronald tahu akan bertemu Sachi kembali setelah bertahun-tahun berlalu?

Ronald yakin sepertinya hari ini termasuk hari keberuntungannya. Ataukah harus di sebut sebagai hari penuh keajaiban? Bagaimana tidak,Ronald baru saja menyaksikan betapa menawannya saat malaikat tengah tertawa. Betapa merdunya tawa itu di pendengarannya. Ronald hampir saja lupa bagaimana rupa gadis itu saat tertawa lepas seperti kali ini.

Jika boleh berkata jujur,Ronald bahkan mengakui bahwa dirinya jatuh cinta setengah mati saat pertama kali ia mendengar tawa Sachi walaupun saat itu gadis itu masihlah bocah perempuan berusia 7 tahun. Anak perempuan yang masih duduk di bangku SD. Ronald ingat betul saat pertama kalinya ia melihat Sachi.

*Flashback*

"Mengapa kau menendangnya terlalu jauh?"Galang mendorong Marko dengan kesal. Bocah lelaki yang masih menginjak kelas satu SMP itu sedang bermain bola di lapangan yang dekat dengan rumah mereka.

"Aku tidak sengaja."balas Marko dengan wajah tak bersalah. Mau bagaimana lagi,bola itu kini masuk ke halaman rumah besar yang ada di dekat lapangan. Kebanyakan dari mereka tak berani mengambil bola kembali karena ada seekor anjing yang akan menyalak tiap kali ada orang asing yang mencoba menerobos halaman berpagar itu.

"Sudahlah,jangan ribut. Biar aku yang ambil."kata seorang pemuda tanggung bernama Ronald Wiraguna itu.

Pemuda yang minggu lalu baru lulus SMA itu memang selalu rutin bermain sepak bola meskipun banyak kawan sepermainannya yang usianya jauh lebih muda. Ronald tak peduli sekalipun ibunya memintanya untuk berhenti bermain bola karena di anggap seperti masih bocah.

"Hati-hati,Bang. Di situ ada anjing galaknya."kata Galang mengingatkan. Minggu lalu Galang pernah mencoba mengambil bola kasti yang masuk ke halaman rumah besar itu dan anjing galak itu menggonggong dengan suara ribut bahkan nyaris menggigit Galang hingga detik ini Galang masih tak berani dekat-dekat dengan rumah besar peninggalan jaman Belanda itu.

"Tenang saja. Kalian main kasti dulu saja. Kalau aku sudah dapatkan bolanya baru kita main sepak bola lagi."kata Ronald kalem. Ia memang tak takut.

Ronald berjalan menghampiri pagar tinggi yang mengelilingi rumah tua itu. Rumah peninggalan Belanda itu bukanlah rumah yang besar seperti yang mereka sangka. Rumahnya sederhana,hanya saja memiliki halaman yang luas.

Pertama Ronald harus memastikan dulu keberadaan anjing galak itu. Walaupun Ronald tak takut pada anjing tapi setidaknya pemuda itu harus memastikan bahwa dirinya tak akan menjadi target gigit dari si makhluk yang hobi menggonggong itu.

Ronald menyusuri pagar mencari celah dimana baiknya ia harus menyelinap. Ronald mengintip di salah satu kayu pagar yang sudah sedikit keropos di makan rayap. Dari arah sini Ronald bisa melihat dengan jelas keseluruhan halaman. Ronald mengedarkan pandangan mencari dimana kiranya bola itu terjatuh. Bola sepak milik Galang merupakan bola sepak yang paling mahal diantara yang lain jadi wajar jika Galang kesal saat Marko menendangnya terlalu tinggi dan bahkan sampai jatuh ke halaman rumah orang lain.

Sachi : OBSESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang