Bab 19 : Pahit

8.9K 608 58
                                    


"Kakak namanya siapa?"

"Ronald Rastafari. Tapi panggil saja Kak Rasta."

"Jadi nama kakak,Kak Rasta? namaku Sachi."

"Iya. Kakak sudah tahu."

Sebuah potongan memori dari masalalunya seakan terputar kembali. Sachi seperti baru saja di tampar dengan keras. Wajahnya pucat layaknya kertas. Sachi mencengkeram dadanya yang berdenyut menyakitkan. Seakan oksigen perlahan mulai meninggalkannya. Sesak.

"Sachi.. "Ronald keluar dari mobil dan dengan cepat segera menghampiri Sachi. Dia mengulurkan tangannya hendak menjangkau gadis itu namun Sachi justru beringsut mundur.

"Jangan mendekat."suara Sachi sedikit gemetar. Gadis itu nampak begitu rapuh dan ketakutan di saat yang sama. Mengingatkan Ronald pada saat pertemuan di kantornya waktu itu. Namun kali ini Sachi tidak menjerit histeris. Ya,belum.

"Sachi, kau baik-baik saja?"tanya Ronald penuh dengan nada khawatir. Reaksi Sachi membuat hatinya terluka. Mengapa Sachi masih saja ketakutan saat melihat Ronald? Bukankah beberapa saat lalu mereka juga berinteraksi walaupun sikap Sachi sangat tidak bersahabat tapi setidaknya Ronald tahu bahwa Sachi tak menghindarinya karena takut. Melainkan hanya sisa-sisa kebencian.

"Ku mohon jangan mendekat!" Sachi kembali mundur selangkah. Tangannya mengisyaratkan agar Ronald tak mendekat.

Sachi membuka mulut untuk mengambil nafas. Seolah hidungnya tak mampu lagi merengkuh oksigen. Sachi begitu rentan. Dan Ronald tahu bahwa ia lah penyebabnya. Tapi mau sampai kapan Sachi terperangkap dalam trauma menyakitkan itu?

"Mengapa?" entah mengapa Ronald justru merasa ingin melampiaskan kemarahannya. Marah karena ia tak bisa melakukan apapun untuk meredam ketakutan gadis di hadapannya. "Apa karena akhirnya kau sadar jika kak Rasta mu telah kembali?"

Kedua netra gadis itu melebar sempurna. Ia tak menyangka jika Ronald bicara seperti itu. "Kak Rasta takkan pernah kembali. Dia mati."jerit Sachi seperti kehilangan kontrol. Pertahanan yang coba ia bendung kini luluh lantak. Gadis itu nyaris saja berteriak histeris tepat di hadapan Ronald.

Mata Ronald berkilat tajam. "Dia tak pernah mati,Sachi. Kak Rasta mu telah kembali dan kini dia berada di hadapanmu!"

"Tidak. Kak Rasta sudah mati. kau yang melenyapkannya. Dan kau juga yang telah membunuh Becky!"

Kini giliran Ronald yang tersengat rasa terkejut. "Aku TIDAK PERNAH membunuh Becky! Demi Tuhan,Dia mati karena kecelakaan yang tak di sengaja!" tanpa sadar Ronald maju dan tangannya mencengkeram pundak Sachi. Seolah ingin menegaskan jika bukan dirinya penyebab kematian anjing golden retriever kesayangan Sachi.

Tubuh Sachi mendadak beku. Kedua matanya reflek memandang jemari tangan Ronald yang menyentuh lengannya dan Sachi seperti baru saja terbakar. Seakan jari-jari Ronald tak ubahnya seperti cakar tajam yang siap meremukkan Sachi kapanpun.Bagaimana mungkin Sachi membiarkan Ronald menyentuhnya?

Sachi berteriak nyaring dan segera berjongkok sambil menutupi kedua telinganya. Reaksi spontan yang mengingatkan Sachi pada traumanya yang kian menguat. Tubuh Sachi bergetar hebat dan gadis itu memejamkan mata dengan wajah penuh ketakutan.

"Ku mohon jangan mendekat. Ku mohon."Sachi terisak. Gadis itu meringkuk dan membenamkan wajahnya di antara lutut. Kedua telapak tangannya masih membekap telinga. Siapapun tentu tahu jika Sachi tengah di serang rasa takut yang teramat parah.

"Ku mohon.. Ku mohon.. Jangan mendekat.. "Suara Sachi bercampur dengan tangis yang menyayat hati.

Melihat keadaan Sachi tentu saja membuat Ronald langsung kalut. Ronald ingin sekali merengkuh Sachi dalam pelukan dan menenangkannya.menjanjikan apapun asalkan bisa membuat Sachi tak lagi ketakutan. Tapi Ronald tak bisa melakukannya. Itulah yang mambuat hati Ronald kembali koyak. Sachi menangis di hadapannya tapi ia tak bisa melakukan apapun.

Sachi : OBSESITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang