GINO duduk di balik meja kerjanya, mengecek surel berisi laporan dari manajer produksi ketika surel lain masuk. Perusahaannya, Point Onyx Garment, adalah perusahaan garmen yang memproduksi setelan resmi kerja untuk pria dan wanita. POG merupakan salah satu perusahaan penghasil setelan kerja terbesar se-Asia, yang telah mengekspor ke banyak negara di Asia, Australia, dan beberapa negara Eropa. Mengingat sasaran pasar mereka kaum menengah, harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau. Hanya sedikit lebih tinggi di antara jas-jas yang tersedia di department store. Tentu saja dengan kualitas yang juga lebih baik.
Dia membuka surel tersebut dan melihat lampiran undangan. Selepas jam kerja nanti akan diadakan acara perpisahan untuk beberapa pegawai POG yang sudah memasuki masa pensiun. Santi, sekretarisnya, juga salah satunya, membuat Gino tidak mungkin melewatkan acara itu. Santi sudah bekerja sangat baik selama tiga tahun ini. Gino mengirim jawaban kalau dia akan datang, sebelum kembali pada laporannya.
Saat jam makan siang, Gino mengirim chat pada Atha, mengatakan kalau dia akan pulang telat malam nanti. Jadi, Atha tidak perlu menunggunya untuk makan malam. Atha hanya membalas dua huruf. "Ya". Tanpa pertanyaan ataupun basa basi lain.
Gino menatap layar ponselnya tanpa kata. Sejak insiden di kamar mandi beberapa hari yang lalu, jurang pemisah yang sebelumnya sudah mereka jembatani dengan baik, perlahan kembali melebar. Kayu penopangnya satu-persatu terlepas. Jika tidak segera diperbaiki, jarak mereka akan semakin berjauhan.
Gino tidak tahu lagi bagaimana menyentuh Atha kali ini. Atha menutup diri secara emosional darinya. Saat mereka berinteraksi, Atha bersikap biasa, seakan sudah tidak memikirkan insiden itu lagi. Tetapi, saat tengah malam, Gino beberapa kali mendengarnya menangis. Ini jauh lebih buruk daripada dua kegagalan sebelumnya. Setidaknya, dulu Atha lebih terbuka tentang emosinya. Kali ini, Atha menjauh.
Pernah satu kali Gino ikut terbangun karena tangis diam-diam Atha. Dia bangkit duduk, menegur Atha dengan suara selembut mungkin. Gino sampai menyalakan lampu dan menarik Atha supaya menangis di pelukannya. Namun, Atha malah mendorongnya, menyuruh kembali tidur, lalu mengunci diri di kamar mandi entah berapa lama. Semuanya makin memburuk saat menstruasi Atha datang. Wanita itu jauh lebih sensitif dan muram dibanding sebelumnya.
Merasa kepalanya tiba-tiba terlalu penuh, Gino menekan satu-satunya nomor di daftar speed dial milik seseorang yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya. Gandi, sahabatnya yang bekerja sebagai dokter bedah umum, menjawab dalam nada tunggu ketiga.
"Sibuk nggak?"
"Lo kayak nanya sama selingkuhan," balas Gandi.
"Gue serius."
Gandi berdeham. "Jadwal praktek gue baru kelar. Tapi gue nggak bisa ke mana-mana. Ada pasien emergensi yang harus gue awasi."
"Gue ke sana."
"Oke."
Gino memutus sambungan telepon. Dia beranjak, menyapa pegawai yang dilewatinya seadanya, menuju lift. Begitu tiba di basemen, Gino menyalakan alarm untuk mengingatkan tempat dia memarkir mobilnya tadi pagi. Dia menaiki mobil itu, melesat pergi menuju rumah sakit tempat Gandi berada.
Setengah jam kemudian, kedua lelaki itu sudah duduk di kafetaria rumah sakit. Gino mengamati penampilan sahabatnya itu sekilas. Jas putih Gandi terlihat agak kusut. Rambut setengkuknya berantakan. Yang paling menyita perhatian, kantung hitam di bawah matanya.
"Kantong mata lo udah bisa dipake nyimpen koin."
"Diem lo," dengus Gandi. Dia menyesap kopi hitam tanpa gula di depannya. "Kenapa ngajakin gue kencan? Bukannya makan siang sama Atha."
Gino mengaduk teh manisnya. "Program bayi tabung gue sama dia gagal lagi."
Sejenak, Gandi terdiam. "Gue ikut prihatin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Separate Us (Sudah Terbit)
RomanceVERSI CETAK GANTI JUDUL MENJADI: STORM CLOUD MARRIAGE (Untuk keperluan penerbitan, chapter 13-END sudah di-unpublish) Blurb: Sebelum menikah, Atha tahu kalau Gino mengalami masalah kesuburan. Saat itu, Atha tidak keberatan. Dia yakin dengan kecanggi...