26

733 95 5
                                    

*Anne's POV*

Aku menunggu Dylan untuk datang siang ini. Dia memberitahuku untuk menemuinya pada pukul 1 siang di sebuah restoran di Manhattan. Sudah satu jam aku menunggu disini, namun Dylan tak juga muncul.

Aku baru saja akan pergi ketika Dylan masuk dengan terburu-buru. Rambutnya sekarang sudah cukup panjang. Dia memakai hoodie biru tuanya dan juga kacamata hitam.

"Maafkan aku Anne, aku tak bisa keluar sampai seluruh fans pergi. Kau tahu aku sudah berusaha dengan cepat pergi namun jalanan New York sepertinya menggila karena aku tidak bisa dengan cepat sampai. Supir taksiku merokok dan itu membuatku harus turun beberapa blok dari sini karena aku akan mati jika terus berada di dalam taksi itu. Apa kau sudah menghubungi Thomas? Apa kau mar-"

"Dylan! Berhenti mengoceh yang tak jelas oke? Aku tidak marah padamu." potongku.

Wajah Dylan melunak lalu dia duduk di depanku. Dia benar-benar terlihat kacau. Aku memberinya segelas air putih yang ia terima dengan senang hati.

"Jadi mengapa kau begitu panik meneleponku?" tanyaku ketika Dylan sudah cukup tenang.

"Ini tentang Britt," jawabnya.

Aku menatapnya dengan bingung.

"Britt? Siapa Britt?"

Dylan memandangku dengan tidak percaya. Aku hanya membalasnya dengan menaikkan sebelah alisku.

"Anne? Demi Tuhan kau ini sahabatku atau bukan? Britt kekasihku!" ucapnya tak sabar.

"Kekasihmu? Kau memiliki seorang kekasih? Mengapa kau tak memberitahunya padaku?"

"Aku sudah memberitahumu sebelum ka- ah sudahlah lupakan saja."

Dia terlihat sangat kebingungan dan aku merasa khawatir pada keadaannya. Aku meraih tangannya lalu menepuknya dengan pelan.

"Hei ceritakan padaku semuanya oke?"

Dylan menceritakan semuanya dalam waktu yang cukup lama sampai langit di luar berubah menjadi gelap. Dia masih terlihat bingung namun cahaya jenaka di matanya sudah mulai nampak kembali. Aku mengigit potongan terakhir paiku lalu memandang Dylan.

"Jadi kau cemburu karena film barunya bersama seseorang yang sangat tampan dan perlu kuakui, hot?"

"Anne tolong jangan mulai lagi. Ya aku cemburu walaupun aku tahu mereka tidak benar-benar melakukan apapun."

Aku tertawa mendengar ucapan Dylan. Dia mudah sekali merasa cemburu ataupun iri. Aku yakin Britt seseorang yang sangat sabar dengan Dylan.

"Dylan, kau harus percaya padanya oke? Dia bisa menerima seluruh peranmu bukan?" ucapku.

"Ya, aku harus percaya padanya. Terimakasih banyak Anne! Dan kuharap Thomas tidak marah padaku karena menahanmu sampai selarut ini dan aku tida-"

"Aku sangat marah padamu Dyl,"

Aku berbalik dan melihat Thomas tersenyum padaku. Tangannya dengan cepat melingkar di bahuku. Dylan nyengir lalu berdiri.

"Ya sebelum kau meledak lebih baik aku pulang. Terimakasih sekali lagi Anne karena mau mendengarkanku dan terimakasih padamu Tommy karena mengizinkanku meminjam kekasihmu selama beberapa jam." ucap Dylan sembari memakai kembali jaketnya.

"Aku akan membunuhmu di lain kesempatan Dylan."

Dylan tertawa lalu berjalan keluar dari restoran tersebut. Thomas membantuku berdiri lalu memberikan sebuah mantel tebal yang dibawanya.

"Kau pergi hanya mengenakan kemeja tipis jadi aku membawakanmu mantel." jelas Thomas.

Aku memakai mantel tersebut lalu melingkarkan tanganku di tangannya.

*Thomas' POV*

Anne masih tertidur ketika aku bangun. Napasnya yang teratur terdengar lembut pagi ini. Karena akhir-akhir ini ia selalu mengalami mimpi buruk, aku harus selalu menjaganya. Max sebenarnya tidak terlalu setuju namun Anne meyakinkannya aku tidak akan berbuat apapun.

Aku keluar dari dalam kamar dan melihat Max sudah duduk di meja makan sembari membaca koran. Kacamata tanduknya bertengger di hidungnya yang bengkok.

"Pagi Thomas," sapa Max ketika melihatku.

"Pagi Max. Sudah sibuk?" tanyaku.

"Hanya sedikit membaca sebelum pergi bekerja. Mum baru saja menelepobku untuk memintamu dan Anne pulang ke London secepatnya. Ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan kalian berdua."

Aku tersedak kopi yang sedang kuminum. Max menurunkan korannya lalu menatapku melalui kacamatanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku tak tahu tapi yang pasti aku sudah memesankan pesawat pribadi untuk kalian berdua pada malam ini. Jadi lebih baik cepat berkemas,"

Max membaca kembali korannya, mengacuhkan aku yang masih berdiri dalam keadaan kaget. Aku berjalan kembali menuju kamar dan melihat Anne sudah bangun. Dia sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Wajahnya terlihat cukup senang.

"Ya Mum, aku bisa menjaminnya jangan khawatir. Baiklah, aku akan segera bertemu denganmu kalau begitu."

Anne menutup teleponnya dan tersenyum padaku. Aku duduk di sebelahnya dan tiba-tiba dia memelukku dengan senang.

"Kita akan pulang ke London!" ucapnya senang.

"Ya, Max baru saja memberitahuku. Tapi apakah kau tahu mengapa ibumu ingin bertemu denganku?"

"Aku tak tahu, Mum hanya memberitahuku bahwa kau harus ikut. Ayolah Tommy, kau pasti merindukan Ava."

Aku menatapnya dengan terkejut. Wajahnya terlihat sangat polos, seakan dia tidak mengatakan sesuatu yang aneh.

"Bagaimana kau tahu Ava?" tanyaku.

"Entahlah. Nama itu tiba-tiba muncul di pikiranku."

London menyambut kami dengan udaranya yang dingin. Selama perjalanan Anne hanya tersenyum, senang dirinya akan kembali ke London setelah sekian lama tidak pulang. Rumah Anne yang besar berdiri megah di tengah hamparan rumput setengah beku. Mobil yang kamu tumpangi berjalan masuk lalu berhenti di depan pintu masuk.

"Julianne!"

Mrs Windsor dengan cepat memeluk Anne yang sudah turun. Victoire dan Daniel berlari memelukku.

"Hei kalian sudah bertambah tinggi dengan cepat!" ucapku kepada mereka berdua.

"Apa kau akan menikah dengan Anne?" tanya Victoire.

"Victoire!" sela Anne.

Victoire hanya tertawa pelan lalu memeluk Anne. Daniel sudah sedari tadi memeluk Anne.

"Thomas, senang bertemu denganmu lagi." sapa Mrs Windsor.

"Terimakasih atas undangannya Mrs Windsor,"

"Oh aku yang harus berterimakasih karena kau mau menjaga Anne selama ini. Ayo masuk sebelum kalian semua jatuh sakit,"

Kami berjalan melewati lorong-lorong besar dan berisi barang antik yang masih sama seperti yang kuingat. Pintu ruang perapian di ujung lorong tersebut terbuka sedikit dan dari dalam terdengar beberapa suara yang sedang mengobrol.

Mrs Windsor membuka pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan para pemilik suara yang kudengar tersebut.

"Mengapa kau ada disini?"

Amore ➡ Thomas Brodie Sangster (Book 2)Where stories live. Discover now