satu

1.2K 65 7
                                    

'Percaya atau tidak, setiap ada getar cinta yang memenuhi hati? Pasti ada sakit yang mengiringi.'

***

"Kapan ini akan berakhir? Aku cinta kamu, Li." Keluh Prilly pada sebuah figura yang ia genggam erat.

Ia menatap lekat figura itu, lalu di kecupnya singkat sebelum akhirnya ia beranjak tidur setelah meletakan figura itu di atas nakas yang berada tepat di samping tempat tidur.

***

"Ma-maaf." Ucap Prilly menyesal. Ia sangat terburu-buru tadi. Sehingga ia berjalan tidak memperhatikan sekitar yang membuatnya menabrak seseorang.

"Tak apa, ini bukan sepenuhnya salahmu." Pria berkemeja kotak-kotak itu mengulurkan tangannya berniat untuk membantu Prilly yang terjatuh karena bertabrakan dengannya.

Prilly membalas uluran tangan pria itu sembari tersenyum tulus.

"Terima kasih." Ucap Prilly sembari membenahi pakaiannya yang terlihat sedikit berantakan akibat terjatuh tadi.

Pria itu tersenyum kecil.

"Andigo Al-kaitri. Panggil saja, Digo." Ucap pria yang mengaku bernama Digo itu sembari mengulurkan tangannya kembali.

Dengan senang hati Prilly menyambutnya.

"Prilly." Ucap Prilly menyebutkan namanya.

Cukup lama Prilly dan Digo berjabat tangan dengan mata yang saling menatap satu sama lain. Seperti ada magnet yang saling tarik-menarik antara keduanya. Sampai-sampai salah satu diantara mereka sama sekali tidak ada yang bisa berpaling. Sampai akhirnya Prilly teringat bahwa ia sedang buru-buru. Prilly langsung melepaskan tangannya lalu tersenyum kecil.

"Mm, aku harus segera pergi. Senang bertemu dengan mu, Digo." Lanjut Prilly tak enak hati.

Digo hanya tersenyum kecil lalu mengangguk pelan.

Prilly pun segera pergi dari hadapan Digo dengan langkah seribu. Ia sudah sangat terlambat sekarang. Ia tak ingin dosen nya marah hanya karena ia terlambat masuk kelas. Ia tak ingin beasiswa yang ia peroleh dengan susah payah hilang begitu saja hanya karena ia tidak disiplin.

Prilly saat ini kuliah di Universitas Indonesia. Ia bisa kuliah di Universitas itu bukan karena orang tua yang membiayainya. Bukan! Melainkan karena kemampuan otaknya yang melebihi rata-rata. Ia bukan terlahir dikeluarga kaya raya. Melainkan disebuah keluarga yang sederhana namun harmonis. Dan itu, sudah lebih dari cukup baginya.

Sebelum ia kuliah di UI, ia kuliah di salah satu kampus dikampung halamannya, Bandung. Tapi karena otaknya yang jenius akhirnya ia mampu mendapatkan beasiswa untuk berkesempatan kuliah di UI. Dan Prilly sama sekali tidak menyia-nyiakan hal yang tidak mungkin akan datang dua kali itu.

Orang tua Prilly tetap berada di Bandung. Jujur, bunda Prilly sebenarnya sangat tak bisa jauh dari putri semata wayangnya itu. Ia risau Prilly berada dikota asing sendiri. Baik bunda ataupun ayah Prilly sama sekali tidak mempunyai sanak saudara yang tinggal disana. Maka karena itu, ia sedikit tak bisa melepas putri semata wayangnya itu. Namun ia bisa apa jika itu menyangkut masa depan putrinya? Sekarang ia hanya bisa berdoa agar putri nya baik-baik saja disana.

Diam-diam, Digo terus tersenyum memandangi tubuh Prilly yang kian menjauh lalu hilang dibalik pilar-pilar besar.

Tapi seketika, Digo mendesah. Ia sangat lupa untuk sekadar meminta nomor telpon Prilly. Kemana ia akan mencari gadis itu?

***

Saat sedang asik memandangi Prilly yang makin lama semakin jauh dan mulai tak terlihat. iPhone nya berdering. Ia merogoh saku kanan celana nya. Disana tertera nama Sisi. Tanpa pikir panjang, ia jawab panggilan masuk itu. Pasti, penting. Pikir Digo.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang