tiga

470 47 2
                                    

'Cinta dan sakit itu menjadi satu. Tidak ada kata sakit jika tidak tahu rasanya mencinta. Dan, tidak ada yang namanya cinta jika tidak merasakan sakit.'

***

"Ali, tunggu!" Jerit Prilly yang kini tengah berlari kecil mengejar pria yang berada sedikit jauh didepannya.

"Kejar, dong. Kalo bisa." Pria itu menoleh ke arah Prilly yang masih saja berlari berusaha mengejarnya. Ali memeletkan lidahnya meledek, lalu ia kembali berlari meninggalkan Prilly yang masih terus saja berlari mengejarnya.

"Ah, Ali. Udahan, ah. Capek." Ucap Prilly yang mulai berhenti berlari kemudian duduk dibawah pohon yang rindang.

Ali yang melihat Prilly berhenti berlari pun juga ikut berhenti. Ali melangkah menghampiri Prilly lalu duduk dengan kaki yang diluruskan tepat disamping Prilly.

"Ah, payah nih. Gitu doang capek." Ujar Ali meledek lalu mencubit gemas kedua pipi Prilly dengan tangannya yang membuat Prilly mengaduh sakit.

"Ali! Sakit!" Rengek Prilly sembari memukul pelan tangan Ali agar melepaskan cubitannya.

"Biarin, abis gemesin banget si." Sahut Ali acuh yang malah semakin memperkuat cubitannya pada pipi Prilly.

Melihat wajah Prilly yang benar-benar sudah merah membuat Ali melepaskan cubitannya. Lalu, ia usap lembut kedua pipi itu penuh kasih sayang.

"Udah, sembuh ko. Siapa dulu yang ngelus? Orang ganteng." Ujar Ali penuh percaya diri yang membuat tawa Prilly pecah seketika.

"Dih, kamu salah minum obat ya? Percaya diri banget." Ejek Prilly.

"Iya, aku salah minum obat. Masa tadi aku minum obat penambah rasa sayang. Iya, rasa sayang aku semakin bertambah besar buat kamu."

"Ember mana ember? Tenggelamkan Prilly sekarang, Tuhan." Batin Prilly.

Pipi Prilly merona merah. Ya, Prilly malu. Prilly blushing. Melihat hal itu Ali hanya tersenyum kecil.

"Aku cinta kamu, Li." Ujar Prilly menatap lekat tepat dimanik mata Ali.

"Aku juga sayang banget sama kamu." Sahut Ali pelan.

Seketika hati Prilly terasa tercabik-cabik. Ia kira selama ini Ali bersikap manis padanya itu berarti Ali sangat mencintainya. Namun, ia salah besar. Ternyata selama ini Ali sama sekali tidak mencintainya. Ali hanya, MENYAYANGINYA. Bukan, mencintainya.

Prilly berusaha keras menahan air mata yang terus mendesak ingin keluar dari mata indahnya. Ia tidak mungkin menangis didepan Ali. Sangat tidak mungkin!

"Udah sore, aku pulang ya?" Pamit Prilly sembari melirik jam yang membungkus rapih pergelangan tangan kirinya lalu menatap Ali sekilas.

Ali ikut melihat jam yang ia pakai lalu menatap ke arah Prilly yang sudah berdiri tepat dihadapannya.

Ali pun bangkit, mensejajarkan tingginya dengan Prilly. Ia menatap lekat mata indah milik Prilly lalu mengangguk pelan sembari mengacak singkat rambut lurus panjang kecoklatan milik Prilly.

Prilly hanya tersenyum kecil mendapat perlakuan seperti itu dari Ali. Prilly pun berjalan pelan meninggalkan Ali sendiri ditaman itu. Ali terus memperhatikan kemana Prilly melangkah sampai akhirnya Prilly menghilang dibalik pohon-pohon besar. Ali tersenyum kecil.

"Maafin aku." Lirih Ali pelan.

---

Masa-masa itu. Masa-masa itu bagaikan rekaman yang terus diputar ulang dipikiran Prilly. Mengingat masa-masa itu membuat Prilly menjadi sangat sedih. Bahkan, ia sempat terpuruk saat tahu orang yang sangat ia cintai sejak SMA itu sama sekali tidak ada rasa yang sama sedikitpun terhadap dirinya.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang