Special for Dina❤

908 14 5
                                    

"Haaaaah, dosa apa gue di masa lalu" ucap Dina sambil nenyandarkan kepalanya di kursi.

Uci yang hanya menjadi pendengar budiman pun ikut nimbrung. "Emang lo pendosa. Baru nyadar?!"

Plak!!!

Sukses dengan tamparan yang mendarat di pipinya, Uci menjambak rambut Dina. Mereka asyik saling menjambak.
Dan tak ada yang memperdulikanya.
Rapat sidang paripurna mereka pun bubar dengan sendirinya. Zahra bangkit dan mengajak Ayu ke toilet, Sasha menjauhkan diri dan sibuk dengan ponselnya, Jihan kembali ke mejanya dengan headset menempel di kedua telinganya.
Sampai bel pergantian mata pelajaran berbunyi ke seluruh penjuru sekolah pun, Dina-Uci masih sibuk saling menjambak satu sama lain.

• • •

Apa ada, ada apa.

Evan duduk di tepi lapangan. Di tempat duduk permanen yang terbuat dari semen, masih berkutat dengan laptop yang berada di pangkuannya. Sibuk menggerak-gerakkan jarinya di kursor. Jarinya menari-nari mengetik keyboard dengan cepat.

Di sisi lain, Dina sedang berdiri tak jauh dari tempat Evan duduk. Di bawah pohon mangga-berjalan mundur sambil mengetikkan pesan balasan untuk Nando. Perlahan-lahan ia berjalan mundur selangkah demi selangkah. Sampai pada akhirnya kakinya menabrak kaki Evan, Evan yang masih berkutat dengan laptopnya. Ia pun mendongakan wajahnya melirik apa yang sudah menabrak kakinya. Dina jatuh terjengkang ke belakang, ponselnya terlempar ke atas mengenai kepala Evan.

Gedebuk!!!

"Aduh" ucap mereka berbarengan.

Dina masih sibuk dengan dirinya yang terjengkang, dan Evan sibuk dengan benda persegi berwarna putih yang mendarat di kepalanya.

Hidung Evan kembang-kempis, wajahnya memerah menahan marah. Ia bangkit dari duduknya.

"Lo tau gak kalo jalan itu jangan mun-" bibir Evan tertahan begitu melihat sosok yang menabraknya terlihat begitu... Menyedihkan. Mungkin?

Rahang Evan mengeras ketika ia melihat sosok yang ia kenali sedang meringis kesakitan di hadapannya.
Dilihatnya siku dan lutuDina berdarah. Juga dahinya yang terbentur ujung tempat duduk yang terbuat dari semen.

"Lo... Gak kena... Kenapa-napa kan?" tanya Evan panik. Dina mendongakan wajahnya sambil mengangkat tanganya memperlihatkan siku yang berdarah, lalu menunjuk pada dahinya. Dina merasakan sakit di kepalanya. Mata nya berkunang-kunang
Saat Dina melihat ke arah kakinya, ada Evan yang sudah berjongkok memunggunginya.

"Naik"

• • •

Di kantin sekolah.

Kevin duduk di bangku kantin paling pojok sendirian. Sepi. Tak ada penghuni kantin kecuali Kevin dan penjaga kantin. Duduk termenung sambil menopang dagu dengan tangan kanan. Pandangan lurus ke depan, kacamata yang ia pakai melorot dari hidung mancungnya, itu pun tak di hiraukanya. Entah apa yang ada di pikiranya sekarang. Kevin galau. Galau. Galau, sangaaaat galau. Galau segalau-galaunya.

Seseorang menutup mata Kevin dengan tangan. Kevin tersenyum, "ehm, Zah-ra" ucapnya pelan.

"Apa?" ucap cewek itu sembari berpindah duduk di sebelah Kevin.

Senyum Kevin memudar "oh, kamu toh rupanya Vin"

Vina mencebikan bibirnya. "Ada apa dengan Zahra? Yang mana sih anaknya? Aku jadi penasaran deh"

"Cari aja sendiri"
Kevin bangkit dan berjalan keluar kantin.

"Loh kok malah pergi," Vina berdecak kesal. "Is, tuh anak," Vina mengangkat tanganya-setengah berteriak. "Bu baksonya satu ya."

"Kan udah bel neng" ucap ibu penjaga kantin.

"Pada gak ngerjain tugas, cuma saya yang gak di hukum" ucapnya berkilah.

• • •

"Naik"

"Hah?"

"Naik"

"Apa?"

Evan memutar lehernya ke belakang melihat Dina sambil melotot. "Ck, lo ngerti bahasa gak sih? KALO KATA ORANG JEPANG TUH BAHASANYA... 'NAIK' TAU GAK!?"

Evan masih menunggu respon dari Dina, tapi Dina diam saja. Ia kembali memutar lehernya, "batu banget sih lo. Kalo di bilang naik, ya naik" suara Evan meninggi. "Eh buset, nih anak"

Dengan wajah bingung, Dina pun menurut saja. Dan kini ia sudah naik ke atas punggung Evan. Cowok itu berjalan perlahan, Dina mengeratkan pegangannya di leher Evan. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di UKS saat Evan berjalan pelan sambil menggendong tubuh mungil Dina. Jarak antara lapangan dan UKS memang dekat. Tetapi untuk sampai ke kelas mereka berdua, bukanlah jarak yang dekat. Terlalu banyak bangunan kelas yang harus mereka lalui.

Sesampainya di UKS, Evan berjongkok agar Dina bisa turun dari punggungnya. Dina duduk di atas bed sambil meremas ujung roknya. Perih sekali rasanya luka yang ada pada dahinya.
Evan membuka lemari obat untuk mengambil alkohol, betadine dan kapas. Tak ada guru penjaga di UKS, mungkin sudah pulang terlebih dahulu. Mengingat Bu Tia sedang hamil besar.
Evan membersihkan luka Dina dengan alkohol, perlahan-lahan ia membersihkan luka di dahi Dina, lalu ia membersihkan luka di siku sebelah kanan Dina. Ia memejamkan matanya sambil menggigit bibirnya, menahan perih yang di rasakanya. Dina tak ingin berkomentar saat ini juga, lidahnya terasa keluh.
Biasanya Dina akan memukul Evan, tapi kali ini tidak.
Evan masih sibuk dengan siku Dina.

Evan melemparkan kapas ke keranjang sampah. "Udah"

Dina bangkit ingin berdiri, namun Evan menarik tanganya.

"Mau kemana? Di sini aja"

Kini ada rasa cemas di raut wajahnya, Evan menatap Dina dengan wajah memelas. Sebelumnya Dina tak pernah berfikir Evan akan menggendongnya sampai UKS, membersihkan lukanya seperti sekarang. Ia bingung dengan sikap cowok itu yang berubah-ubah, seperti suasana hatinya saat ini.

"Mau baliklah, udah masuk tuh gurunya. Nanti di omelin lagi gue, udah sana lo juga balik"

Dina bangkit dari duduknya.

Tbc.sorry

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta di SMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang