Karena insiden di Kamis siang yang tidak menyenangkan. Begitu menurut ... Dina pastinya.
Ia masih kesal dengan makhluk berwajah cool, yang bernama Evan.
Meski Evan memiliki badan yang tinggi, kulit putih-bersih, dan tampang yang... Ehm, tidak mengecewakan.
*setidaknya begitulah menurut penulis wkwkwk...Tetapi, walaupun begitu Evan adalah tipe cowok yang mempunyai mulut besar. Alias ember bocor. *Pake No Drop deh Van!
Dan Dina, tidak suka itu.
•••
Di Senin pagi, sekitar pukul 07:15 WIB
Dina sampai di sekolah.
Dina mengepalkan ke dua tangannya setelah melihat sesosok makhluk planet bumi sedang mencoret-coreti papan tulis dengan spidol.Begitu orang itu melihat Dina, cowok itu tersenyum. Senyum manis. Sangat manis.
Dina membuang muka dan menatap lurus ke arah mejanya.Dan cowok kembali lagi ke dunianya, dunia papan tulis-dengan coretannya.
•••
Dengan cepat Evan berada di hadapan Dina. Evan menarik rambut Dina yang tergerai---seperti menarik kain lap yang kotor.
"Heh, kenapa rambut lo kaya begini jadinya?" tanya Evan setengah berteriak.
Buru-buru Dina menarik rambutnya dari tangan jahil Evan.
Dina tak mau menanggapi sikap Evan tersebut.Tak ada lagi tatapan gahar dari manik kecoklatan milik Dina. Kini hanya ada tatapan kosong yang terpancar dari matanya. Tatapan kosong yang menatap Evan.
Evan pun terdiam karena Dina tak merespon ucapannya. Ia berjalan menuju bangkunya, tertunduk kaku.
"Gue ... Gak suka liat rambut lo kaya begitu"
Suara Evan sangat pelan, terdengar seperti bisikan.
*bisikan setan wkwkwk...
Penulis error. Masa Evan setan?
*nelen sendal.Next⬇
Dina langsung berjalan ke luar kelas, setelah bel istirahat pertama.
Ia naik ke lantai dua. Kelas Kevin"Keviiiiiiiiiin ... Keviiiiiiiiin" teriaknya membahana.
Seketika, semua orang melihat ke arah Dina. Termasuk Bu Risma-yang masih mengajar di kelas.Dina nyengir, "eh Ibu, maaf ya Bu Ris maaf. Saya kira kelasnya kosong" kata Dina sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Setelah mendapat anggukan dari Bu Risma, Dina menundukan kepalanya kemudian pergi. Dina masih berjalan menyusuri koridor dengan wajah menunduk--merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa ia begitu bodoh hari ini?
Kenapaa?
Entah apa yang mengubah sikap periangnya akhir-akhir ini, Dina seperti kehilangan gairah hidup. Belum lagi tentang perasaan nya yang harus tercabik-cabik melihat Nando. Walaupun cowok itu sudah putus hubungan dengan Aya, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal di pikiran nya.
Dina masih berjalan pelan menyusuri koridor kelas dengan wajah menunduk kesal.
"Cieeeee... Yang punya rambut baru cieeee" celetuk seorang cewek di hadapan nya.
Dina mendongakkan kepala--melihat ke depan. "Ih, iya dong barbie kan harus tampil cantiiik" kata Dina genit.
"Iya. R sama I nya di hilangin jadi Babi" celetuk seseorang.
Dina mengalihkan pandangannya ke cowok tersebut. Raut wajahnya berubah datar tanpa ekspresi marah yang ia tunjukan jika Dina berhadapan dengan cowok itu.
"Hush, Van lo jangan kaya gitu dong" ucap Melody.
Saat Melody-Evan melihat ke arah Dina, cewek itu sudah menghilang dari hadapan mereka berdua.
•••
Jam ke enam, Sejarah Indonesia.
"Oke, anak-anak karena kalian kompak tidak mengumpulkan tugas, saya percepat ulangan untuk minggu depan menjadi hari ini." perintah Bu Hesti
"Huuuuuuuuuu"
"Diam! Cepat kumpulkan semua buku di atas meja saya. Ulangan harus selesai sampai satu jam mendatang. Cepat-cepat kumpulkan semua buku kalian."
Dengan terpaksa semua siswa mengumpulkan buku nya masing-masing di meja guru.
Setelah semua siswa mengumpulkan buku, Bu Hesti menghitung semua buka yang terkumpul di meja."Kenapa bukunya kurang? Bukankah semua nya hadir tidak ada yang absen? Siapa dari kalian yang tidak mengumpulkan buku?" tanya Bu Hesti berapi-api.
Tetapi tidak ada satupun dari siswa-siswa yang berkutik menatap mata Bu Hesti. "Oke. Kalau sampai ada yang ketahuan menyontek nantinya, saya tidak akan segan-segan merobek lembar jawaban kalian. MENGERTI?!""Mengerti Bu" sahut mereka serentak
Setelah Bu Hesti membacakan sepuluh soal Esai, semua siswa sibuk dengan jawabannya masing-masing. Tak terkecuali--Dina yang sibuk celingukan kesana-kemari untuk mendapatkan contekan.
Dari awal Dina sudah menetapkan hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya setelah hari Kamis. Tadi malam ia tidak belajar karena terlalu sibuk menonton Sinetron Anak Jalanan. Juga, terlalu sibuk dengan Khayalan-khatalan Reva dan Boy.
Itulah kegiatan rutin yang dilakukan Dina. Dan hari ini, ia tak mau mengambil resiko mendapat nilai nol lagi seperti yang sudah-sudah. Sukur-sukur dapet nilai enam, Dina membatin. Dan tentunya tak mau menjadi bulan-bulanan teman satu kelasnya karena untuk yang kesekian kalinya--Dina mendapat nilai nol.
Jika Dina mendapat nilai nol lagi, maka uang jajan nya seminggu akan di potong.
"Aduh, guys kasih tau gue dong" bisik Dina sambil menggigit bibirnya.
"Nomor berapa Din" tanya Adit
Dina menyodorkan lembar jawabannya kepada Adit. "Nih soal satu sampe sepuluh" ucapnya polos.
Adit mencebikan bibirnya, "ngimpiiiii" ucapnya sarkatis.
Jika di saat-saat seperti ini, Adit bukanlah seorang cowok yang kalem. Nada suaranya seperti anak-anak, suaranya melengking, sikapnya berlebihan dan agak lebay.
Dina mencebikkan bibirnya. Ia melirik lembar jawaban Zahra.
"Zahr, ini nomor tiga jawabanya dari mana?" tanyanya berbisik.
Zahra melotot. "Kamu meragukan kemampuan aku Din?"
Dina nyengir. Lalu mulai menulis.
•••
Tanpa terasa waktu berjalan cepat. Sukses. Sukses ujian yang telah Dina jalani. Dan sukses, karena telah mendapat contekan.
Dina mengusap-usap dadanya sambil tersenyum kecil.Zahra, Dina, Uci, Jihan, dan Sasha kini sudah memulai rapat sidang paripurna mereka. Masing-masing menarik bangku dan duduk mengelilingi satu meja. Seperti akan menyusun rencana mengatur strategi permainan sepak bola, masing-masing memelankan suaranya bercerita tentang asal-muasal jawaban mereka di lembar ujian tadi.
"Tuhan, terimakasih telah menyelamatkanku hari ini." ucap Dina setengah berteriak.
"Eh, kenapa lo kok tiba-tiba sikap lo aneh sama Evan?" tanya Jihan.
"Maksud lo?" mata Dina terbelalak.
"Tadi, kok gak berantem"
"Gue tau kalo gue ladenin dia... Dia bakal menjadi-jadi sama gue," Dina menarik nafas dalam-dalam. "Lebih baik mulai sekarang gue diem. Itu kayanya lebih baik"
Jihan memutar bola matanya, "maybe"
"Haaaaah, dosa apa gue di masa lalu" ucap Dina sambil nenyandarkan kepalanya di kursi.
Uci yang hanya menjadi pendengar budiman pun ikut nimbrung. "Emang lo pendosa. Baru nyadar?!"
Plak!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di SMA
Novela JuvenilSeorang cowok tinggi, putih, berkumis tipis, manis. Hingga aku tak sadar aku menyukainya. Dan, takdir yang akhirnya menjawab. Apa kah ia akan memilihku atau tidak. Antara persahabatan. Apakah akan tumbuh rasa suka? Dan rasa suka yang berbuah menjadi...