"Apa memang lo yang buat Alex ga datang, ya?"
Alexa mendongak, ia mengernyit keheranan. "Maksud lo apa? Kenapa tiba-tiba jadi gue?"
Tasha—teman sebangku Alex—mengerling kepada Alexa. "Yaa, mungkin aja, 'kan. Bisa aja dia trauma sampai ga berani datang sekolah. Yah, you tau lah, masalah 'boxer' itu." Tasha membentuk kata petik ketika menyebut boxer.
"Yeee, itu salah dia sendiri lah!" sahut Alexa berapi-api, "Siapa suruh ngerjain gue duluan? Lo pikir gue ga malu apa dimarahin Bu Vita?"
"Tapi ini beda kasus, loh," sambung Leoni, "Dia ngerjain lo di depan kelas aja, lo kerjain dia di seluruh sekolah, bahkan di depan guru."
Zella mengangguk, ikut membenarkan. "Yup, itu benar sekali. Gue sering loh, liat drama-drama korea yang anak sekolahnya bunuh diri gara-gara di bully atau dipermaluin di sekolah."
Seketika Alexa mengerjapkan mata marah, ia melotot tajam kepada cewek penggila drakor itu. "Lo ga usah mendramatisir keadaan, lo ga bisa bedain yang mana kenyataan sama yang mana drama?"
"Eh, tapi benar juga loh, apa kata Zella. Bisa aja, 'kan, Alex kayak gitu?" bisik Tasha.
"Iya ya." Leoni menatap Alexa dalam-dalam. "Jangan sampai ada berita koran bahwa 'SEORANG SISWA SMA MENINGGAL MENGGENASKAN DENGAN GANTUNG DIRI DI POHON CABE MILIK TETANGGANYA. SELIDIK DEMI SELIDIK, TERNYATA IA DIPERMALUKAN DI SEKOLAH DENGAN AJANG-AJANG PAMER BOXER YANG DILAKUKAN OLEH TEMAN SEKELASNYA.'" Leoni berhenti sebentar, berusaha mencari napas sebanyak-banyaknya karena bicara tanpa henti layaknya tukang koyok. Sementara itu, Tasha dan Zella menyimak perkataannya baik-baik.
Leoni berdeham sebentar sebelum melanjutkan, "Dan setelah itu ... BAM! Lo akan jadi buronan polisi dan dikenal sebagai 'penjahat boxer'."
Alexa menggeram dan berdiri menggebrak meja. "Aaa!!! Udahlah! Bubar-bubar! Mau Alex hidup kek, mau dia mati kek, gue kagak peduli. Dan kalian kok nyalahin gue terus, sih? Gue pun heran sendiri kenapa mau ngomong sama makhluk astral macam kalian, Bubar!!!"
Kelima cewek yang mengelilingi tempat duduk Alexa segera beranjak pergi. Mending kabur daripada menghadapi amukan medusa pms, pikir mereka.
Sementara itu, Alexa sendiri hampir meledak di bangkunya. Ia benar-benar kesal disalahkan seperti itu. Ya, memang dia siapanya Alex sampai-sampai Alex tidak datang?
Bisa saja cowok itu lagi malas. Bisa saja cowok itu lagi molor. Bisa saja cowok itu memang mati.
Pun, kalau memang benar seperti apa yang Leoni bicarakan, Alexa tidak peduli sedikitpun. Ingat itu, sedikitpun.
==•^^•==
Dan disinilah Alexa, di depan gubuk yang dianggapnya 'tidak layak dihuni' dan seperti 'tempat pembuangan sampah akhir' itu.
Ia berdeham sebentar, lalu mengetuk pintu itu dengan gaya elegan. Namun, tidak ada yang menyahut dari dalam. Ketukan elegan itupun menjadi gedoran kasar sampai ada segerombolan anak kecil yang melihatnya dengan kebingungan.
Setelah tadi menjadi pusat perhatian warga-warga sekitar, sekarang ia menjadi objek penglihatan anak-anak.
Ya, bagaimana tidak? Hari ini, Alexa berdandan layaknya orang yang hendak melayat dengan busana serba hitam itu.Topi, tanktop yang dipadu dengan jaket kulit, rok sejengkal di atas lutut, stocking, serta sepatu boots yang terlihat keren di kaki mungilnya. Semuanya berwarna hitam, belum lagi kacamata hitam dengan hiasan permata di sudut kaca yang melekat di wajahnya. Ia benar-benar terlihat seperti paranormal salah haluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short(ies)
Teen Fiction"Haiii, pendek." Alex menyapa Alexa dengan nada suara yang dibuat-buat. Alexa meliriknya sinis, "Pendek? Lo ga pernah ngaca, ya? Pendek kok teriak pendek?" ================================ Alex dan Alexa. Dua remaja dengan banyak kesamaan. Mulai da...