Alex sedang tertidur pulas. Namun, sinar matahari dan elusan lembut di kepalanya membuat kelopak mata itu mengerjap pelan, lalu serta merta terbuka lebar.
Sekujur badannya terasa pegal karena tidur terduduk dengan rebahan kepala di kasur kecil ibunya.
Ia menegakkan tubuhnya dan menguap sebentar. Lalu, mendapati ibunya sudah terduduk di sandaran kasur dengan senyum lembut yang tersunging di wajah pucatnya.
"Ibu?" panggilnya pelan. Alex melirik ke arah jam yang terletak di dinding putih itu. Sudah jam sembilan pagi. Matanya terbelalak lebar.
"Astaga, Ibu sudah sarapan? Aduh, maafin Alex, ya, Bu. Alex ketiduran." Alex bergegas berdiri hendak mengambil makanan tetapi tangan rapuh ibunya menahan ia untuk tetap duduk.
"Kamu ga pergi sekolah lagi, hm?" tanya Ibu perhatian, namun tersirat nada sedih di dalamnya.
Alex terdiam. Mata sipitnya menatap Mira—ibunya—dalam-dalam. Lalu, ia menggenggam tangan kurus ibunya yang terasa seperti akan remuk jika ia menyakitinya sedikit saja.
"Iya," jawabnya pelan. "Tapi, ga usah khawatir, Bu. Ujiannya masih lama kok, Alex bisa minjam catatan teman di sekolah."
Tampak gurat kepedihan muncul di raut wajah Mira yang masih jelita meski penyakit mematikan itu telah menggeroyoti tubuh fananya.
"Apa karena Ibu, kamu tidak sekolah lagi?" tanyanya lirih. Ia tahu anaknya bekerja siang-malam untuk biaya pengobatannya sampai terpaksa tidak sekolah.
Sebenarnya, Alex masih bisa sekolah karena jam kerjanya di atas waktu pulang sekolah. Namun, Alex kerap bangun kesiangan, seperti saat ini. Ini bukanlah faktor kebiasaan, melainkan karena kelelahan dan Sang Ibu—kalau bangun pagi—tidak tega untuk membangunkannya.
Alex gelagapan. Ia menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Kok Ibu ngomong kayak gitu? Alex ga sekolah karna bangun kesiangan. Nih, Ibu lihat, Alex aja bangun jam sembilan. Jadi, ini semua bukan karena Ibu."
Mira lagi-lagi tersenyum pedih. Anaknya ini, selalu saja menutupi dirinya. Menyembunyikan tangis dibalik tawa, perih dibalik senyuman. Namun, jangan memanggilnya Ibu dari Alex kalau ia tidak mengetahui hati anak semata wayangnya itu.
Wanita paruh baya itu mengusap kepala anaknya membuat Alex memejamkan mata menikmati elusan nyaman yang sampai sekarang masih mampu menenangkan hatinya.
"Nak, jangan karena keadaan Ibu kamu jadi begini. Mau bagaimanapun juga, pendidikan itu penting. Kamu ingat 'kan, apa yang selalu Ayahmu ajari dari dulu?"
Kejarlah mimpimu sampai kau pulang ke rumah Bapa. Alex menjawab dalam hati. Ayahnya selalu mengatakan hal itu dulu. Alex selalu memegang prinsip itu. Dan untuk menggapai mimpi itu, ia harus sekolah. Namun, ketika keadaan menjadi pelik, masih sanggupkah ia meraih mimpi itu?
"Ingat, Bu. Tapi, itu masalah nanti. Sekarang, Ibulah prioritas Alex. Jadi, jangan pikirin Alex, pikirin kesehatan Ibu saja."
Mira menggeleng pelan. "Kamu masih muda, sayang. Masa depanmu masih panjang. Jangan terlalu memikirkan Ibumu yang umurnya tinggal sejagung ini. Ka—"
"Demi nama Tuhan Yesus, Ibu!" Alex menyela perkataan Mira. "Kenapa Ibu ngomong kayak gitu? Alex yakin Ibu akan sembuh. Tolong, jangan ngomong kayak gitu. Jangan ninggalin Alex, Ibu...." Mata Alex berkaca-kaca ketika hendak menyelesaikan ucapannya.
Mira segera menarik Alex ke dalam dekapannya. Tangan kurusnya membelai punggung Alex pelan. Air matanya lolos satu per satu.
Ia tidak sedih jika memang waktunya tinggal sebentar lagi. Karena, kematian itu adalah takdir, dan sebagai manusia yang fana, ia tidak bisa menentang kehendak Tuhan. Tetapi, ketika melihat anaknya, Alex, hatinya selalu dilanda kepedihan tidak berujung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short(ies)
Teen Fiction"Haiii, pendek." Alex menyapa Alexa dengan nada suara yang dibuat-buat. Alexa meliriknya sinis, "Pendek? Lo ga pernah ngaca, ya? Pendek kok teriak pendek?" ================================ Alex dan Alexa. Dua remaja dengan banyak kesamaan. Mulai da...