"Alex?" gumam Alexa.
Suasana kelas hening sampai Anton berteriak, "Eehh, nih anak. Gue pikir lo udah hilang kebawa arus sana. Baru siapin peti juga."
Sontak, pecahlah tawa kelas IS itu-termasuk Alexa.
"Kemane aja lo, baru aja gue mau aduin ke metro tipi," celetuk Budi, "Mau ngilang kok ga ngasih kabar."
Para warga kelas langsung menyoraki bocah petakilan itu. "Yeeee, siapa yang mau hilang pakai acara ngasih kabar segala? Otak mana, woi!"
"Kamu kemana aja? Ga tahu apa, kalau kakang merindu," sahut Reyhan mendramatisir keadaan yang langsung disambut ejekan sekelas.
"Kegatelan lo!"
"Salah makan, lu, cuk?"
"Homoprikitiuw! Iew!"
"LGBT, LGBT!!!"
Alex yang masih berdiri di ambang pintu hanya tersenyum simpul mendengar ocehan-ocehan temannya yang tidak rasional itu.
Setidaknya, ia masih mempunyai teman dan kelas gokil yang meramaikan suasana hatinya. Dan merekalah obat penyemangatnya untuk pergi ke sekolah.
"Ehh, senyum dia, bang. Jangan-jangan, mereka emang ada apa-apanya nih. Hihhh, merinding akiu," ujar Budi sambil mengusap lengannya.
Alex yang dari tadi terdiam saja pun memutuskan untuk mengeluarkan suara, "Emang nampak kali ya, kelas ini ga sreg tanpa gue. Dan lo-lo pada udah kebelet rindu, ya, sama Kakang yang ganteng ini?"
Para warga kelas langsung berbalik menyerangnya. "Iiiihhh!!! Kepedeean amat lo, bang."
Pak Johan yang dari tadi hanya diam memperhatikan drama mereka pun angkat berbicara. Ia melambaikan tangannya ke bawah. "Eeehhh, udah, udah. Dramanya selesai." Pak Johan mengalihkan pandangannya ke Alex. "Nah, Alex, kenapa kamu baru datang sekarang? Bel udah bunyi beberapa menit yang lalu, loh."
Alex nyengir tidak bersalah, "Maaf, Pak. Tadi, saya ada sedikit urusan."
"Ada urusan apa lu, cuk, sampe terlambat? Nyuri sempak orang?" celetuk Anton lagi-lagi meramaikan suasana kelas.
"Ga," jawab Alex kalem.
"Maca cih?" Reyhan bercelutuk sok imut ala jablay kurang belaian.
"Ga percaya, ah, gua!" Budi ikut menimpali.
Melihat reaksi teman-temannya itu, sudut bibir Alex terangkat lebar. "Maksud gue tuh, Sekalian beha-nya juga." Mata sipitnya berkilat nakal.
"ANDA LUAR BIASA!"
"Mantapp, broooo!"
"Bagi woi, bagi!"
"Ukurannya berapa, woi?"
Pak Johan segera mendiamkan anak-anak. Kalau dibiarkan, bisa jadi habis dua jam pelajaran untuk ajang sahut-menyahut dengan Alex di ambang pintu. Bisa-bisa didamprat guru piket yang lewat.
"Udah-udah ... Kalian ini, dibiarin malah keblabasan. Alex, duduk di tempatmu dan adik-adik sekalian, keluarkan buku Alkitab, yang Perjanjian Baru." Pak Johan melirik sekilas alkitab di genggamannya. "Buka Yohanes 3:16."
Sementara para murid membuka halaman Alkitabnya, Alexa hanya duduk termenung di tempatnya. Memang dari tadi, ia hanya penonton disini. Ia hanya melihat dan tertawa. Namun, ketika dilihatnya celana Alex berbeda dengan celana yang ia berikan beberapa hari lalu, ia sedikit tersinggung.
Mengapa? Apa karena cowok itu marah atau jijik untuk memakai celana yang ia berikan? Tapi, ia sudah capek-capek untuk datang memberikannya. Ya, meskipun, keadaan Alex seperti itu. Tapi, tetap saja, 'kan, kita harus menghargai apa yang diberikan orang lain kepada kita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Short(ies)
Teen Fiction"Haiii, pendek." Alex menyapa Alexa dengan nada suara yang dibuat-buat. Alexa meliriknya sinis, "Pendek? Lo ga pernah ngaca, ya? Pendek kok teriak pendek?" ================================ Alex dan Alexa. Dua remaja dengan banyak kesamaan. Mulai da...