Chaptie 3

13.6K 1.3K 64
                                    

Chaptie 3 | Lupa!

***

S E A N

Gue membuka mata dengan malas. Sedikit nengok ke meja di samping kanan gue, dimana ada si penunjuk waktu berukuran kecil disana,

19.00

Weh, tidur berapa jam gue? Kok kayak baru tidur beberapa detik, ya?

Baru juga duduk, suara teriakkan Mama ngebuat gue kesal.

"Sean! Kamu udah mandi belum?"

Gue mendengus, "Ya belom lah Ma! Ini Sean baru bangun. Capek tau!"

"Yaudah, cepet mandi! Terus turun, makan malem bareng. Ini kakakmu yang masak, lho! Contoh Kakakmu, pinter, gak suka ngebantah kayak ka—"

Gue nutup telinga. Ini nih! Ini yang gak gue suka!

Mama selalu ngebanding-bandingin gue sama Kakak. Tau deh, yang pinter, yang penurut, yang jauh diatas gue, yang blah-blah-blah!

Gue turun dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi yang letaknya emang ada di dalem kamar gue, sambil masih nutupin telinga. Malas ah, denger Mama muji-muji Kakak.

.

A U T H O R

Sean keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu membuang handuk itu sembarangan.

"Aduh.. kok kayak ada yang kelupaan ya?" gumamnya, mengecek satu-persatu pakaiannya.

"Enggak, kok. Gue gak lupa pake celana dalem."

Sean berjalan menuju cermin. Memeriksa wajahnya dengan teliti.

"Gue udah pake sabun muka. Udah sikat gigi juga.." Sean terus bergumam, masih mengecek setiao inci tubuhnya. "Apa yang kelupaan ya?"

Sean menggaruk kepalanya.

"Ah, mungkin juga efek gara-gara 'pujian Mama ke Kakak'. Biasalah, gue bakal terus dijatohin kalo udah sama Kakak."

Sean melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan menuju ruang makan.

"Eh, adek udah turun. Yuk, kita makan! Kakak buatin nasi goreng lho.. adek pasti suka! Ada omelet ju—"

"Iya-iya, udah liat!"

Sean mendengus kesal, mendudukkan dirinya dihadapan Kakaknya yang menatapnya sambil tersenyum.

"Apa liat-liat? Mau nunggu gue makan, terus berharap gue muji masakan lo? Gitu?" ujarnya sinis, membuat Kakak cowoknya itu menampakkan wajah kecewa.

"Eh, Sean! Kok ngomongnya gitu, sih?" Sean menoleh pada Papanya yang tiba-tiba datang dan duduk disampingnya. "Agi itu Kakak kamu. Mulutmu itu lho, dijaga," lanjutnya, menatap Agi—Kakak Sean, yang terlihat tidak enak.

"Udahlah, Pa. Ini kan mulutnya Sean. Sean berhak mau ngomong apapun tentang siapapun. Mau ngomong yang jelek, gak sopan, gak manusiawi, ataupun mau ngomong yang baik-baik. Toh, yang dosa juga Sean, kan?" Sean membalas sinis.

Papanya hanya menggeleng.

"Kamu tuh ya, dikasi tau yang baik malah ngelawan. Kapan benernya kalo kayak gini terus?"

Sean menggeleng. "Kapan pun yang Sean mau, Pa. Ini kan hidup Sean."

Mereka saling melempar tatapan tajam. Untung saja belum saling bacok, sampai akhirnya suara cempreng Mama Sean menghentikan tatapan bermusuhan mereka berdua.

"Agi, sini bantuin Mama buat dessert! Aduh, susah banget sih motong apelnya.."

Agi bangkit dari duduknya.

"Emm, Pa? Agi bantuin Mama dulu ya? Dek?" ucapnya meminta izin, membuat Sean memutar bola matanya.

Papanya mengangguk. Agi pun pergi dari hadapan ayah-anak itu dan menghampiri Mamanya di dapur.

"Sean? Kamu mau kemana?"

Sean yang baru saja bangkit dari duduknya, menoleh.

"Malas Pa, kalo makan bareng dia," jawabnya.

"Kamu setiap makan bareng, pasti selalu kabur."

"Salahin tuh, anak angkatnya Papa! Perhatian Papa sama Mama jadi ke dia terus!"

"Seandainya Papa nggak angkat dia, dia juga bukan orang lain dari keluarga kita, An. Dia anak dari sahabat Papa, sahabat terbaik Papa. Harusnya kamu mengerti, dia pasti sakit karena harus kehilangan kedua orang tuanya. Terus, apa salahnya kita bikin dia bahagia?"

Sean menghela nafas. "Sean udah bilang, Pa. Sean lebih suka hidup kayak lima tahun yang lalu. Sebelum semua perhatian Papa, jatuh ke Kakak. Cukup hari ini Sean ngulangin itu, untuk kedepannya, Papa harus terbiasa sama sikap Sean."

Sean melangkah meninggalkan lelaki paruh baya yang hanya bisa menatap cemas anaknya itu.

Dibalik sikap Sean yang easy going, ternyata Sean juga memiliki kisah yang menyedihkan—menurut Sean, sih, menyedihkan, ya.

Dulu, sewaktu masih berumur 11 tahun, Sean adalah anak tunggal. Ya, sebenarnya Sean adalah anak tunggal. Tapi, semenjak Papanya memberitahu bahwa, sahabat terbaiknya mengalami kecelakaan pesawat bersama istrinya, semua berubah.

Papanya membawa seorang anak cowok berumur sekitar 14 tahun bernama Agiartha Pratama ke rumah, dan diterima dengan senang hati oleh Mamanya. Tapi, tidak dengan Sean. Sean merasa kecewa, kecewa karena menurutnya, ia tidak lagi memiliki sedikit pun perhatian dari kedua orang tuanya. Semua hanya memanggil nama Agi, Agi, dan Agi.

Seiring waktu, usia mereka bertambah, bersamaan dengan semakin besarnya rasa kesal Sean pada Agi.

Bila di usia yang makin dewasa ini Agi menjadi anak yang penurut, tidak dengan Sean. Sean memilih untuk menjadi anak yang suka membantah. Bila kini Agi menjadi seseorang yang suka membantu orang tuanya—meski orang tua angkat, maka Sean lebih memilih menjadi pemalas dan mengurung dirinya di kamar seharian.

Kembali pada Sean yang kini sedang berbaring di ranjangnya, mengerucutkan bibir dan mengembungkan pipinya.

Tidak imut.

"Gak. Gue gak boleh nangis. Masa gara-gara kalah sama Kakak aja gue nangis, sih? Gak boleh dong! Itu lemah namanya. Gue kan cowok kuat. Hm, sekarang enaknya gue ngapain ya?"

Sean menengokkan kepalanya kekanan dan kekiri, seolah sedang mencari aktivitas yang membuatnya bisa membuatnya kembali seperti semula. Kembali menjadi Sean yang ceria.

"Aha! Handphone!" Ucapnya riang.

Sean bangkit dari tidurnya, mengangkat bantalnya dan mengambil benda berbentuk persegi panjang yang tadinya tersembunyi di bawah bantalnya.

"Weiis, tumben nih. 37 missed call, dari.."

Sean melotot.

"RENDI!"

"Sial! Gue lupa!"

***

1 3 - 0 3 - 2 0 1 6

[✔] Chat?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang