Chaptie 17 | Memulai semuanya dari awal.
***
A U T H O R
Setelah Rendi mati-matian menahan tangis di depan Tedi, dan mau menceritakan masalahnya dengan Sean pada Tedi—dengan sedikit mengubahnya, bercerita bahwa ia dan Sean bertengkar karena suatu masalah, bukan menceritakan versi asli bahwa mereka telah putus—Rendi akhirnya kembali ke kelasnya.
Saat itu Tedi berkata kalau sebaiknya Rendi berbicara baik-baik dengan Sean. Tedi mengatakan bahwa Sean adalah manusia kepala batu paling parah yang pernah ia kenal. Jadi, sebaiknya selesaikanlah secara baik-baik.
Tapi masalahnya, gengsi Rendi cukup besar.
Dia yang sudah menyuruh Sean untuk pergi dan tidak usah peduli dengannya lagi. Tidak mungkin dia juga yang mengajak Sean berbicara baik-baik perihal hubungan mereka.
Saking asyiknya melamun, Rendi tidak sadar bahwa langkah kakinya membawa dirinya ke belakang sekolah.
".. baik-baik, ya, Sean. Gue dukung lo selalu. Gue sayang lo."
"Semoga berhasil aja, deh. Gue juga sayang sama lo."
Rendi mendengarnya. Rendi melihatnya juga. Dua cowok berbeda ukuran tubuh sedang berpelukan erat, di depan matanya.
Itu Sean, dan Rendi yakin cowok yang satunya lagi adalah David.
Mata bulat Rendi terlihat sayu. Melihat apa yang ada di depan matanya saat ini membuat jantungnya kembali berontak. Rasanya sama saat kejadian dimana ia melihat Sean mengecup pipi David.
Sakit.
Cowok itu menghela napas dan mengusap dadanya. Mengerjap pelan, lalu menggigit bibirnya yang bergetar.
"Kenapa jatuh cinta rasanya bisa sesakit ini?" bisik Rendi. Air mata kembali menetes, mengalir di pipinya yang memerah. "Kenapa rasanya bisa sesakit ini..?"
.
Tedi melirik Wiguna yang sedang melempar tatapan tajam padanya. Sesekali dilihatnya Wiguna mendengus kesal dan mengetuk meja kayu di depannya.
Tak tahan dengan tatapan Wiguna, Tedi akhirnya menghela napas dan angkat bicara.
"Kenapa sih lo, Wi? Kenapa? Kenapa?"
Wiguna mengangkat alisnya dan menggeram. "Masih nanya kenapa? Kadar kepekaan lu berapa persen, sih?"
"Wi, gue nanya baik-baik, ya. Lo juga jawabnya yang baik-baik, dong. Kagak usah sewot gitu," balas Tedi kesal. Menyentil tangan Wiguna yang masih mengetuk-ngetuk meja, hingga sang empunya tangan mengaduh pelan.
"Biasa aja, ya. Elu sih, kagak peka."
"Gue harus peka kayak gimana lagi, he?"
"Pokoknya elu nggak peka. Gue nggak suka."
"Emang gue habis ngapain, Wi jelek?"
Mata Wiguna melotot. Memanyunkan bibirnya dan menoyor kepala Tedi.
"Lu abis minjem baju olahraga gue, terus pas balikin udah ada lubang aja di ketek bajunya! Badan lu sebenernya segede apasih, Ted?!"
Tedi bungkam. Wiguna masih melotot.
Suasana di antara mereka hening seketika. Suara gaduh yang dibuat teman sekelas mereka bahkan tidak bisa menganggu.
".. ya, maaf." Tedi mencicit.
"Maaf, tai."
.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi, namun Sean masih setia terduduk di bangkunya sembari memandang Rendi yang tengah tertidur pulas dengan kepala yang berada di atas lipatan tangannya yang bertumpu di atas meja.
Sangat damai.
Sean ingin sekali membangunkan Rendi, namun dia tidak ingin menganggunya. Ingin sekali Sean mengelus punggung Rendi lalu berkata, "gue disini" tapi Sean mah apa atuh.
Banyak yang bilang, Sean itu player, hatinya bercabang. Sean oke. Sean sehat.
Sean sesekali berpikir tentang dirinya yang—ia rasa—mulai berubah haluan semenjak mengenal Rendi, David, dan Argele. Sean bingung, apa menjadi seorang gay akan membuatnya dosa? Jika iya, hukuman apa yang akan diberikan padanya di neraka nanti?
Kepala Sean menggeleng pelan. "Apasih, kenapa nyangkut neraka-nerakaan segala. Mati aja belum," gerutunya sebal.
Sean kembali melirik Rendi. Cowok kecil itu ternyata sudah terbangun dan melakukan peregangan pada tubuhnya. Setelahnya, Rendi terdiam selama beberapa detik, dan kembali menjatuhkan kepalanya pada lipatan tangan.
Otak bodoh Sean sedang bekerja, jadi Sean tahu kalau Rendi sedang menangis, ketika dirinya melihat tubuh kecil Rendi bergetar dan isakkan kecil mulai memenuhi ruang kelas yang sepi.
Raut wajah Sean mengeras. Tidak habis pikir, mengapa Rendi masih saja menangisi orang bejat seperti dirinya?
Tapi mungkin sekarang bukanlah saatnya untuk membahas masalah itu.
Sean bangkit dari duduknya dan mulai melangkah dengan pelan ke arah Rendi. Ketika Sean sudah bersimpuh di atas lantai, di samping tubuh Rendi, Sean lantas memeluk pinggang kecil Rendi.
"Ha—hiks.. Sean?"
"Iya, Rendi. Ini gue."
"—Sean.."
Rendi menunduk, mengusap rambut Sean sembari tertawa miris. "Kenapa Sean? Kenapa lo meluk gue?"
"..."
".. Sean, gue nggak bisa jauh-jauh dari elo ternyata."
"Rendi, jangan menjauh makanya."
"Sean—hiks.. Sean, gue nggak mau lo sama David, enggak!"
"..."
"Gue sayang elo, Sean, please.."
"Rendi..?" Sean mengangkat kepalanya, menatap mata Rendi yang berair, sebelum akhirnya menarik sudut bibirnya. "Udah berapa kali gue bilang, kalo gue sayang sama lo?"
Rendi menahan napasnya sebentar, sebelum akhirnya berusaha mengungkapkan apa yang ia pendam sejak pagi tadi.
"David sama lo pelukan. Gue lihat. Gue nggak suka," aku Rendi lirih, meremas celana abu-abunya yang terlihat basah di beberapa bagian akibat air matanya.
"Nggak ada apa-apa, Rendi. Nggak ada apa-apa."
"Tapi gue seriusan lihat."
"Gue tahu. Tapi itu bukan apa-apa."
Tangisan Rendi kembali pecah. Kepalan tangannya memukul bahu Sean dengan telak, seiring semakin banyaknya air mata yang membasahi pipinya.
"Kalau bukan apa-apa, kenapa kalian bisa saling lempar kata-kata sayang?! Kalau bukan apa-apa, memangnya harus pelukan?! Kalau bukan apa-apa.. apa harus ketemuan di belakang sekolah?"
"Rendi.. bukan—"
"Gue akui, David memang manis. Gue tahu, dibandingkan David, penampilan gue bahkan nggak ada apa-apanya, kan? Gue tahu, tapi gue nggak bisa ngelepas lo gitu aja. Sean, demi apapun, gue sayang sama lo. Jangan tinggalin gue, Sean.."
Sean menatap Rendi dengan pandangan bersalah. Bagaimana dia melihat Rendi menangis untuknya, memohon padanya—padahal Rendi tidak perlu melakukan itu, dan mengatakan perasaannya secara terang-terangan, membuat Sean harus menanggung rasa bersalah yang semakin lama semakin membesar.
Lalu, entah mendapat dorongan darimana, Sean menarik kerah Rendi, dan mengecup kening cowok itu dengan lembut.
"Berhenti nangis. Gue nggak suka lihat lo nangis. Gue lebih suka lihat lo senyum. Jadi, lo harus senyum untuk gue, mulai sekarang dan untuk kedepannya."
Sekali lagi, Sean melayangkan kecupannya pada bibir tipis Rendi, mengusap pipi Rendi, dan menyatukan kening mereka.
"Lo harus senyum pake bibir lo. Gausah pake topeng."
Rendi terpaku. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya ia memilih untuk memejamkan mata.
"Kita harus mulai dari awal," bisik Sean.
***
9 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Chat?
Teen FictionSemua bermula dari media sosial. Yang awalnya jauh, menjadi dekat. Yang awalnya dekat, menjadi jauh. . 𝗰𝗼𝘃𝗲𝗿: 𝗽𝗶𝗻𝘁𝗲𝗿𝗲𝘀𝘁.