Chaptie 16 | Permasalahannya, siapa yang lebih berharga?
***
S E A N
Rendi nangis. Di pelukan gue. Dan rasanya itu, bersalah banget. Seolah-olah, di cerita ini, gue adalah tokoh antagonisnya.
Gue baru sadar. Sumpah, baru sadar. Ternyata rasa bersalah yang gue rasain setiap gue bertindak salah sama Rendi itu, bukan sekedar rasa bersalah aja.
Gue suka sama Rendi. Gue sayang. Dan gue nggak mau kehilangan dia.
Tapi gimana Dave?
Gue tahu. Gue tahu. Gue masih mikirin Dave. Kayak ada sedikit rasa sama Dave tapi.. gimana? Gue bingung.
Gue sayang Rendi, tapi gue pengen jaga Dave. Dia masih diincar Ariel, lho. Gimana kalau gue nggak ngawas Dave, dan dia malah diapa-apain sama Ariel?
Kalau sampai hal itu terjadi, gue nggak bakal bisa maafin diri sendiri.
".. mikirin David?"
Rendi melepas pelukan, ngusap-ngusap pipinya, dan kembali ngambil pulpen yang ada di atas bangku. Dia main coret-coretan lagi.
Nggak mau bohong, gue ngangguk. Lalu gue lihat Rendi gigit bibir.
Gue baru inget, gue pernah nyium—atau dicium—Dave yang bahkan nggak punya status sama gua—oke, bahkan kita sepupuan. Tapi Rendi? Gue belum pernah ciuman sama Rendi, bukan sih?
"Ren, kita belum pernah—"
"WAH! SUMPAH! LAIN KALI KALAU MAU NRAKTIR KITA TUH GAUSAH TUNGGU ULANG TAHUN DULU, DEL!"
Gue nengok ke arah pintu kelas. Gerombolan temen sekelas yang kelihatannya pada puas itu memasuki kelas, dan langsung mandang gue bingung.
"Lah, Sean nggak ikutan makan tadi? Wah, padahal satu kelas ditraktir sarapan lho, sama Fidel," kata Tyas bersemangat. Tapi gue nggak. Gue lagi nggak bersemangat.
"Oh? Fidel ulang tahun? Ini Rendi kenapa nggak ikut?" Iseng gue nanya ke Tyas, bukan ke Rendi. Gue tahu, kalo gue nanya ke Rendi responnya pasti bakal sedikit melenceng. Secara kan dia lagi marah sama gue. "Rendi nggak ikut ditraktir, kenapa?"
Tyas lirik Rendi yang masih asyik nyoret-nyoret buku, terus kembali lihat gue sambil angkat bahu.
"Katanya lagi nggak enak badan. Tau deh, tanyain aja sama anaknya sendiri."
Cewek rambut ikat kuda itu langsung berlari ke bangkunya. Sekilas gue lihat godain Fidel yang kelihatan kayak meratapi nasib.
.
A U T H O R
Handphone Sean bergetar. Sebuah notifikasi masuk, dan Sean dengan cepat membukanya.
Dave_Ant : Sean, belakang sekolah. Bisa, kan?
Sean melirik Rendi yang masih dengan dunianya sendiri. Cowok itu menepuk bahu Rendi, membuat yang lebih kecil menoleh spontan.
"Ren, gue pergi dulu, ya?"
Awalnya Rendi hanya menatap Sean kecewa, namun akhirnya dia membuka suara. "David?" tanyanya pelan.
Napas Sean tertahan. Kepalanya mengangguk dengan terpaksa. Sean dapat melihat Rendi menarik napas dengan berat, kemudian mengangguk dan tersenyum miris.
"Kita udah putus, kan? Lo nggak perlu nanya pendapat gue. Kalau mau pergi, silahkan pergi."
"Rendi.. nggak kayak gitu." Sean mengacak rambutnya. Memandang mata Rendi yang kembali berkaca-kaca. "Rendi, asal lo tahu, ya. Gue.. gue cinta sama lo. Jangan anggap gue main-main. Bagaimana pun caranya, bagaimana pun akhirnya, yang penting, gue cinta sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Chat?
Teen FictionSemua bermula dari media sosial. Yang awalnya jauh, menjadi dekat. Yang awalnya dekat, menjadi jauh. . 𝗰𝗼𝘃𝗲𝗿: 𝗽𝗶𝗻𝘁𝗲𝗿𝗲𝘀𝘁.