Chaptie 1

27.7K 1.9K 167
                                    

Chaptie 1 | Pacar pertama, sama jenis!

***

S E A N

Gue menatap bosan guru matematika yang baru aja keluar dari kelas gue setelah sebelumnya ngasi tugas abracadabra ke gue, serta temen sekelas gue tentunya. Yakali, cuma gue yang dikasi tugas. Dan, ya Tuhan, sebenernya istirahat itu dimulai dari sepuluh menit yang lalu. Dan si guru, baru keluar tadi.

Gue ngalihin perhatian gue dari pintu kelas dan beralih menatap temen sebangku gue yang menatap papan dengan pasrah, tanpa ada harapan. Perut bunyi keroncongan, mulut menguap lebar, siap untuk dimasuki lalat. Em, turut berduka.

Sesuatu bergetar di balik celana gue. Eh, ralat, di balik kantong celana gue. Tenang sob. Gini-gini gue bukan anak mesum, gue anak alim yang selalu pake baju kaos dalam saat ke sekolah. Asek.

Gue akhirnya memutuskan untuk mengabaikan getaran demi getaran yang terus dikeluarkan handphone gue.

Gue pun melangkahkan kaki-kaki panjang gue menuju kantin, surga bagi para murid setelah tersiksa di dalam kurungan dengan puluhan orang di dalamnya. Juga terdapat satu orang yang disebut guru.

Eh, menurut gue ini ya, ada dua macam guru di sekolah gue. Yang pertama, bersyukurlah kalo gurunya enak diajak ngomong, easy going, dan lain sebagainya. Tapi, kalo gurunya sebelas-duabelas sama Lucifer? Eh, Demon aja deh, gue suka Demon. Lo bisa apa?

Gue menggeleng dramatis. Memikirkan nasib masa depan gue kalo masih tersiksa kayak gini. Gue gak suka belajar. Tebak kenapa? Well, gue terlalu males untuk itu.

Kantin udah di depan mata, gue menghampiri si ibu kantin. Sebut saja, Bu Kerti.

"Bu. Baksonya satu ya. Sama es teh. Ge-pe-el, ya! Bawain kesana!" seru gue sambil menunjuk meja di pojok kanan, yang masih kosong, tempat duduk langganan gue dan selalu dapet kesempatan buat ngupil diem-diem karna tempatnya yang agak gelap. Hm.

"Oke!" Bu Kerti menjawab dengan semangat sambil ngancungin jempol.

Gue ikut mengangguk semangat. Kembali melangkahkan kaki, kali ini dengan tujuan meja pojok kanan, tempat gelap nan suram. Pantat gue udah duduk manis di kursi besi. Tangan tertumpuk di atas meja, dengan mata jelalatan ngelirik cewek ber-rok mini yang melintas di hadapan. Kesempatan gak boleh dilewatkan, sob.

Karena lama nunggu, tangan gue yang gatel akhirnya ngambil handphone yang tergeletak manja di kantong celana sekolah berwarna abu-abu itu. Dengan warna hitam yang agak kontras sama kulit putih gue.

Mau tau physical appearance gue? Oke. Kita mulai.

Tapi pertama-tama, kita kenalan dulu. Nama gue Sean Elbert. Gue punya kulit putih pucat punya Papa gue. Ekhem, maksudnya bukan kulit Papa gue, gue kupas gitu terus tempelin ke badan gue. Maksudnya tuh, turunan dari Papa. Hidung gue bisa dibilang mancung, mirip Mama. Soalnya hidung Papa gue agak melebar ke samping. Mungkin keseringan ngupil. Jadi, ati-ati ya, jangan kebanyakan ngupil.

Tinggi gue, berapa ya? Gak sempat ngecek lagi soalnya. Tapi ya, gue tinggi lho! Lumayan lah.

Mata gue agak sipit—

Wait! Apa-apaan nih si semut nge-BBM gue lagi?

"Nih dek, bakso sama es teh-nya."

Dengan itu, gue memutuskan untuk ngebales pesan si semut bersamaan dengan tangan kanan gue yang terus nyuapin bakso ke mulut gue sendiri, walau agak susah sebenernya, fokus gue ke bagi dua.

Dave_Ant: PING!!!

Dave_Ant: PING!!!

Dave_Ant: Gue pengen kenalan. Respon dong.

Gue memutar bola mata, merasa malas. Ini anak, keras kepala.

Seanelbert: Gak. Gak usah sok-sok ngajakin gue kenalan.

Dave_Ant: Hehe. Kalo gak mau kenalan gausah dibales lagi. Lo kayak seneng aja digangguin gue.

Gue tepok jidat. Iya juga, kesannya kayak gue yang pengen dijailin. Kenapa gue bales coba?

Dave_Ant: Gue pengen kenalan.

Seanelbert: Gue gak punya nama.

End Chat

Sumpah! Gue gak bakal bales lagi!

.

A U T H O R

Bel pulang sudah berdering kencang. Murid-murid segera berhamburan keluar dari siksaan mereka.

Tepat saat Sean hendak melangkahkan kakinya keluar kelas, sesuatu mencegahnya.

"Yo. Ada apaan nih?" tanyanya bingung saat mendapati cowok yang ber-notabe teman sekelasnya menatapnya gugup.

"Anu.. apa itu.. sebenernya gue mau ngomong. Tapi lo jangan marah ya Aan," pintanya sambil menundukkan kepalanya.

Alis Sean mengerut, "Iya ngomong aja."

"Se-sebenernya, gue su-suka sama lo, An!" Semburat merah menjalar di pipi putih miliknya, ketika berseru.

Sean menelengkan kepalanya, sedikit bingung akan 'pernyataan' dari teman sekelasnya, tapi Sean sangatlah pintar menyembunyikan kebingungannya di balik kata, "Haha.." yang terdengar sedikit terpaksa.

"Ih, kok malah 'haha' sih? Jadi gimana, lo suka gue juga gak?"

"Oh, jadi lo maksa?"

Cowok itu menggelengkan kepalanya cepat, "Enggak kok!"

Sean terlihat berpikir. Sebenarnya, menurut Sean, Rendi—cowok mungil di hadapannya itu terlalu manis untuk ukuran lelaki. Tubuhnya yang hanya setelinga Sean, bibir kemerahan, mata bulatnya, kulit putih, dan rambutnya yang hampir menutupi telinga membuatnya terlihat seperti seorang wanita yang sedang menyamar menjadi cowok.

"Jadi.." Rendi terdiam sebentar. "Lo nerima gue gak An?" tanya cowok itu akhirnya, memastikan.

Sean menatap Rendi sekilas, membiarkan mata, pikiran, dan hatinya menilai Rendi untuk sekali lagi, sebelum akhirnya mengangguk ringan.

"Hah? Serius?" pekik Rendi terkejut.

Alih-alih menjawab, Sean malah menarik tangan Rendi dan berkata, "Pulang bareng yuk." Dan dijawab dengan anggukkan seperi berbunyi dengan senang hati dari Rendi.

Mereka pun melangkah meninggalkan kelas dengan tangan yang saling menggenggam.

Kagak dapet cewek, cowok yang mirip cewek juga gaet lah! Sean menyeringai dalam hati.

Em, tidak tulus rupanya. Ingat! Karma itu ada Aan!

***

Friday, 5 Feb 2016

[✔] Chat?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang