Ini dia, saatnya aku dan teman-temanku keluar dari tempat yang hampir seperti gudang mayat hidup itu. Butuh mental yang sangat kuat untuk keluar dari sana. Bayangkan saja, 9 orang manusia melawan ratusan, oh tidak, mungkin ribuan zombie untuk keluar dari sana. Apalagi senjata yang kurang memadai. Semuanya bergantung padaku. Karena dari grup ini, hanya aku satu-satunya orang yang membawa senjata api. Sisanya hanya mengandalkan pisau dapur, tongkat kayu dan lain sebagainya. Aku menarik nafas dalam-dalam, jantung ku berdegup sangat kencang, aku dan teman-temanku harus bisa keluar dari sini.
"Kalian siap?" tanyaku yang kemudian dijawab oleh sebuah anggukan dari masing-masing orang. Perlahan, aku mulai membuka pintu pertahanan utama. Sesaat setelah aku membuka pintu, temanku Zack mendahului semua orang dan dengan brutalnya memukul semua zombie yang ia lihat tepat dikepalanya hingga beberapa ada yang hampir pecah.
"Aaaaa! Mati kau zombie bodoh!" teriak Zack dengan penuh semangat. Melihat 'pendahuluan' dari Zack, aku segera mengikuti Zack dari belakang diikuti teman-temanku yang lainnya. Ada rasa aneh saat aku membunuh para zombie itu. Takut, semangat, menyenangkan bercampur menjadi satu. Aku memang punya pengalaman membunuh zombie. Tetapi itu hanya di dalam video game. Tapi tiba-tiba aku mendengar teriakan seorang gadis dari belakangku. Ternyata suara itu berasal dari Eddith yang sedang tergeletak dan nyaris digigit zombie.
"Aaaa! Tolong aku!" dan 'Bukk!' sebuah hantaman keras dari sebuah tongkat mendarat tepat di kepala zombie yang akan menggigit Eddith hingga kepalanya pecah. Ternyata itu adalah Alex. Tidak ada yang menyangka kutu buku seperti Alex mempunyai kekuatan memukul yang sedemikian kerasnya. Alex membantu Eddith berdiri layaknya seorang Gentlemen. Tentu saja Eddith yang jatuh cinta pada Alex merasa sangat senang dengan perlakuan Alex padanya. Putri mana yang tidak senang ia diselamatkan pangeran pujaannya?
Aku tidak mau kejadian ini kembali terjadi. Maka dari itu aku membentuk sebuah formasi. Formasi 'Diamond'.
"Oke, kita buat formasi. Aku didepan, Alex disamping kiri dan Dean disamping kanan. Lalu kau, Zack, dibelakang. Sementara para gadis didalam formasi." tuturku bak seorang kapten pada prajurit-prajuritnya. Mereka semua mengangguk menandakan bahwa mereka mengerti perintahku. Aku dan teman-temanku segera membuat formasi yang tadi aku bicarakan. Kami berjalan perlahan menuju tangga darurat. Aku menembak semua zombie yang hadir dihadapanku. Tetapi 'Crekk' suara pistol yang kehabisan peluru.
"Goddamn Gun!" ucapku sedikit kesal. Aku menyimpan senjata itu di saku-ku. Suatu saat itu masih bisa digunakan lagi. Aku tidak punya senjata sekarang, sementara zombie yang kian lama kian membanyak. Beruntung aku menemukan kapak darurat. Kau tahu? Kapak dalam kotak kaca yang digunakan untuk keadaan darurat? Ya, semacam itulah. Aku segera mengambil kapak merah yang cukup besar itu dan kugunakan sebagai senjata jarak dekat. Kami sudah berada ditangga darurat, lalu kami menuruni lantai apartemen satu persatu dan membunuh zombie yang terlihat dimata kami. Kami bekerja sama cukup baik saat itu. Sampai akhirnya aku sampai di lantai paling bawah. Aku melihat banyak sekali zombie yang seperti sedang menunggu kehadiranku dan teman-temanku. Kami berhenti dulu sejenak, memikirkan bagaimana cara menyingkirkan zombie yang terlalu banyak untuk dilawan oleh 9 orang.
"Sial, mereka terlalu banyak!" gerutu Zack kesal.
"Aku tau Zack, aku sedang memikirkan rencana." jawabku. Semua orang terdiam, memikirkan cara untuk menyingkirkan atau setidaknya menghindari zombie yang sangat banyak itu.
"Kenapa tidak mengendap-endap lewat jendela saja?" usul pujaan hatiku, Ellie.
"Ide bagus sayang!" jawab Dean. Ya, aku lupa bilang, Dean dan Ellie sudah pacaran sejak 4 bulan yang lalu. Dan sejak itu pula aku jadi sedikit membenci Dean.
"Ya, ide bagus." jawab ku singkat dengan sedikit meredam rasa cemburu. Kalian tau kenapa aku cemburu, kan?
Setelah mendengar ide dari Ellie, aku segera memimpin menuju jendela terdekat. Aku menyuruh teman-temanku untuk jangan dulu keluar sebelum aku memberi tanda. Mereka mengangguk, dan perlahan aku keluar lewat jendela serta mempersiapkan mental dan senjataku. Mungkin saja ada zombie yang tiba-tiba menyerangku. Aku melihat kiri kanan, dan setelah dirasa cukup aman, aku memberikan tanda pada teman-temanku berupa gerakan tangan. Teman-temanku keluar satu persatu secara perlahan, dan kami berhasil keluar dari apartemen itu.
"Sekarang apa?" tanya Alex.
"Kita harus cari tempat yang lebih aman. Dan kurasa kita harus cari senjata yang lebih baik." jawabku
"Tapi dimana?"
"Aku tau toko senjata disekitar sini!" seru Stephanie yang awalnya sangat ketakutan.
"Benarkah? Dimana?" tanyaku lagi.
"Dipersimpangan jalan. 3 blok dari sini."
"Oke. Tapi kita harus cepat, langit sudah mulai gelap."Semua orang mengangguk tanda setuju. Lalu kami bergegas menuju toko senjata yang dimaksud Stephanie. Kebetulan tidak terlalu banyak zombie dijalanan. Kebanyakan dari mereka sedang nongkrong di gedung-gedung besar. Itu cukup memudahkan kami, karena kami tidak perlu membuang tenaga untuk menghabisi para mayat hidup yang akan menyerang kami.
Akhirnya kami sampai ditoko senjata itu dengan selamat. Tepat waktu sebelum malam tiba. Kami membuka pintu toko tersebut dan membunyikan sebuah lonceng kecil diatasnya. Lalu tiba-tiba seseorang berpakaian urban muncul dari sebuah ruangan dan segera menodongkan sebuah senjata api berjenis Pump-Shotgun kearah kami.
Siapakah orang itu? Akankah dia membunuh Darren dan teman-temannya? Lihat di episode selanjutnya!
Next Episode: Chapter 3 - New Survivor
KAMU SEDANG MEMBACA
The True Zombie Apocalypse
Science FictionManusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Tapi pantaskah seorang manusia disebut sempurna sementara keserakahan menguasai dirinya? Dan pernahkah kalian membayangkan hancurnya dunia karena keserakahan seorang manusia? Ya, itu terjadi sekaran...