Hi! Namaku Darren Pierce. Tepat hari ini aku berulang tahun yang ke 17. Yah, sweet seventeen. Semuanya berjalan dengan lancar. Semua sahabatku yang berjumlah 9 orang hadir di pesta kecil yang aku buat sendiri. Meski tanpa kedua orang tua yang membesarkan aku sampai seperti ini. Oh ya, aku lupa bilang. Orang tuaku meninggal 1 bulan sebelum aku ulang tahun. Dan sejak itu pula, tidak ada anggota keluarga lain yang mau mengurusku. Jadi aku bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah hotel berbintang dan tinggal di sebuah apartement dipusat kota.
Oh, perkenalkan sahabatku. Dean Callahan, orang yang paling kalem dan tampan. Tetapi agak bodoh; Zack Oxford, si badan kekar dan wajah sangar. Tetapi nyalinya tidak sesangar dan sekekar fisiknya; Jimmy Thompson, si tukang pukul yang doyan membully. Tapi dia sebenarnya baik; Alex McLaren, si kutu buku bermata empat. Biasanya ia suka dijadikan bahan pembully-an Jimmy; Stephanie, si gadis tomboy berkacamata. Ia sering dipasang-pasangkan dengan Alex dengan alasan karena sama-sama berkacamata; Jessie, gadis yang juga tomboy. Ia dan Stephanie selalu bersama, tidak bisa dipisahkan, seperti adik kakak; Agnes, gadis kutu buku. Ia menaruh hati pada Alex. Tapi karena Alex selalu dipasang-pasangkan dengan Stephanie, Agnes jadi pesimis untuk bisa mengambil hati Alex; Eddith, gadis yang pendiam. Menurut teman-temanku yang lain, Eddith jatuh cinta padaku. Dia gadis yang cantik, tapi hatiku untuk orang lain; dan Ellie, gadis cantik dan anggun yang murah senyum. Aku menaruh hati padanya. Rambut hitam pekatnya yang terurai bebas sepundak, matanya yang berwarna aqua, dan bibir manisnya yang selalu tersenyum. Pria mana yang tidak akan jatuh cinta pada senyuman itu? Namun sayang, Ellie sudah jadi pacar Dean. Dan karena hal itu aku jadi sedikit agak benci pada Dean.
Cukup perkenalan nya. Kembali ke cerita. Aku sungguh senang saat pesta berlangsung. Meski hanya dihadiri oleh 9 orang terdekatku. Aku meniup lilin, dinyanyikan lagu selamat ulang tahun seperti bocah umur 5 tahun, diberi hadiah yang dibungkus kertas kado dan hal-hal lain yang biasa dilakukan saat seseorang sedang berulang tahun.
Namun, semuanya tiba-tiba berubah. Aku mendengar teriakan yang sangat keras dari luar apartement tempatku bernaung. Aku bisa melihat dengan jelas, segerombolan zombie yang haus darah itu secara membabi buta menggigit dan menularkan virus pada orang yang mereka lihat. Aku mulai panik, aku segera menutup rapat-rapat semua pintu masuk yang dapat dijangkau oleh zombie. Aku dan teman-temanku lebih memilih mengurung diri daripada lari menyelamatkan diri. Lari tanpa tahu tujuan lebih mempunyai resiko untuk tergigit dan berubah menjadi salah satu dari mereka.
"Oh shit man. Aku tidak mau jadi kanibal seperti mereka." ucap salah satu temanku Zack, Zack Oxford. Zack terlihat sangat ketakutan. Padahal ia kelihatan sangar. Bisa dilihat dari wajah dan otot-ototnya yang menonjol.
"Diam Zack! Tidak ada dari kita yang akan menjadi zombie!" ucapku dengan sedikit membentak. Aku terlihat untuk tidak tegang, padahal sebenarnya aku orang yang paling tegang diantara teman-temanku.
Suara teriakan perlahan mulai merambat menuju apartementku. Menandakan bahwa para zombie sudah mulai masuk ke tempat ku tinggal. Aku tinggal di lantai paling atas. Itu berarti akan memakan waktu cukup lama untuk para zombie masuk ke ruanganku.
"Sudah cukup! Aku pergi dari sini!" ucap Jimmy, sahabatku yang dijuluki si tukang pukul. Padahal sebenarnya ia penakut. Jimmy melakukan hal mengejutkan. Ia membuka kunci pintu depan ruangan apartementku dan berlari keluar. Aku dan sahabatku yang lainnya kaget dengan tindakan bodoh Jimmy.
"Jimmy, jangan!" tegurku singkat dan mecoba untuk menarik Jimmy kembali masuk. Tetapi terlambat, para kanibal itu sudah sampai dilantai atas dan segera menggigit Jimmy sesaat setelah mereka melihat Jimmy keluar. Aku sungguh panik, lalu aku segera menutup pintu dan kembali menguncinya. Aku dan sahabat-sahabatku bisa mendengar jelas teriakan Jimmy yang sedang digigit. Hal itu membuat aku dan yang lainnya semakin ketakutan. Apalagi sahabat perempuanku.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Dalam keadaan seperti ini tidak ada seorangpun yang dapat berfikir jernih. Akhirnya muncul sebuah ide untuk melarikan diri dari sana. Aku memutuskan untuk mengambil sebuah tindakan.
"Oke, ambil semua barang yang dapat dijadikan senjata. Kita akan keluar dari sini. Tidak akan ada lagi yang menjadi zombie. Tidak dari kita." perintahku dengan nada tegas. Teman-temanku segera mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Sementara aku sendiri mengambil sebuah senjata berjenis handgun berpeluru penuh. Itu senjata turun-temurun. Dan kurasa ini waktu yang tepat untuk memakainya.
Bisakan aku dan teman-temanku keluar dari apartement? Apakah ada korban lagi? Natikan Chapter selanjutnya!
Next Chapter: Chapter 2 - The Apartement Escape
KAMU SEDANG MEMBACA
The True Zombie Apocalypse
Fiksi IlmiahManusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Tapi pantaskah seorang manusia disebut sempurna sementara keserakahan menguasai dirinya? Dan pernahkah kalian membayangkan hancurnya dunia karena keserakahan seorang manusia? Ya, itu terjadi sekaran...