Chapter 7 - Clearing the Infestation (Part 2)

277 11 2
                                    

Kami sudah punya senjata, yang kami butuhkan sekarang adalah sebuah rencana. Aku pergi keluar untuk mencari udara segar, karena sepertinya suasana didalam rumah terasa sedikit lebih panas. Kurasa cukup sulit membuat rencana disaat dunia sudah hampir menemui akhirnya. Saat dunia memaksa kami untuk bertahan hidup sementara umat manusia mulai saling memburu satu sama lain. Aku masih bisa mengingat dengan jelas saat aku berkumpul dengan teman-temanku. Meniup lilin, memotong kue, tertawa bersama, sebelum akhirnya bencana ini dimulai.

Bencana ini baru berlangsung selama kurang lebih 24 jam, dan dunia sudah hancur seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi satu atau dua tahun lagi. Entah aku masih bisa hidup untuk melihat keadaan saat itu seperti apa atau tidak. Aku bahkan tidak yakin bisa bertahan hidup sejauh ini. Aku mungkin sedang beruntung saja sekarang. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika suatu saat aku harus benar-benar bertahan hidup sendirian, tanpa teman ataupun rekan. Kenapa dunia begitu menyebalkan sekarang?

"Darr, cepat kemari. Ada sesuatu yang ingin Jack bicarakan." tutur Zack yang sedang berada didepan pintu. Aku segera masuk kedalam kedalam rumah, karena sepertinya ini hal yang penting untuk dibicarakan. Aku duduk di sofa, semua orang sudah berkumpul.

"Baiklah. Ada sesuatu yang harus kutunjukan pada kalian." Jack meletakan sebuah kertas diatas meja.

"Apa itu?" tanya Dean.

"Ini denah." jawab Jack.

"Lalu apa bagusnya denah ini? Aku bisa membuat seratus denah seperti ini." ucap Alex. Tunggu sebentar, denah?

"Ini denah pangkalan militer itu." tutur Jack.

"Dan aku baru saja mengetahui bahwa pangkalan militer ini punya terowongan bawah tanah yang terhubung langsung ke gudang senjata." sambung Jill.

"Dan kami membutuhkan seseorang untuk memimpin kami masuk kesana." Joe menambahkan. Semua orang tiba-tiba menatapku setelah Joe berkata seperti ini.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanyaku. Serius, kenapa mereka melihatku seperti itu?

"Sepertinya aku sudah menemukan orang yang bisa memimpin kita menuju terowongan itu." tutur Jack dengan sedikit senyuman.

"Tunggu dulu, maksudmu aku pemimpinnya?" Jack mengangguk padaku.

"Tidak tidak tidak. Aku tidak bisa memimpin kalian. Aku tid--" aku tidak sempat menyelesaikan ucapanku, karena terpotong oleh Eddith.

"Kau bisa Darr. Aku tahu kau bisa memimpin kami. Kau pernah menyelamatkan nyawa kami sekali, kan?" Eddith benar. Aku yang memimpin saat kami mencoba keluar dari apartemen.

"Tapi itu hanya kebetulan!" astaga, kenapa mereka tiba-tiba menunjukku sebagai pemimpin? Kenapa aku yang tidak tahu apa-apa ini lebih dipilih daripada si kembar yang sudah berpengalaman?

"Kurasa memimpin temanmu sampai sejauh ini bukanlah sebuah kebetulan." ucap Joe.

"Kau benar. Tapi kenapa harus aku? Kalian lebih berpengalaman soal ini."

"Kau pernah membawaku keluar dari kota mati dengan selamat Darr. Aku tidak keberatan dipimpin olehmu lagi." Dean akhirnya angkat bicara. Dan semua teman-temanku yang lain juga setuju dengan apa yang katakan oleh Dean. Aku masih tak habis pikir, kenapa harus aku? Tapi sudahlah, mungkin mereka memilihku karena suatu alasan.

"Baiklah baiklah. Aku yang akan memimpin." ucapku dengan sedikit terpaksa. Teman-temanku dan si kembar tersenyum puas mendengar jawabanku.

"Pangkalan militer ini sebuah infestasi, kan? Berapa banyak kira-kira zombie yang ada pada setiap infestasi?" aku mulai membahas soal rencana.

"Biasanya tidak lebih dari 20 zombie. Tapi kurasa pangkalan militer ini terlalu besar untuk dihuni oleh 20 zombie." jawab Jill.

"Kau bisa memperkirakan berapa banyak zombie yang ada disana?"

"Entahlah. Sekitar seratus mungkin." seratus? Kurasa 13 orang tidak akan cukup untuk melawan seratus zombie, bahkan dengan senjata yang lengkap.

"Apa tidak ada cara lain selain membunuh setiap zombie yang berada pada infestasi?"

"Sebenarnya ada. Tapi kita butuh seorang relawan untuk diajdikan umpan." ekspresi semua teman-temanku tiba-tiba berubah saat mendengar rencana itu.

"Aku mendengarkan."

"Kau perlu menarik perhatian zombie-zombie itu. Memang tidak semua zombie akan memakan umpan, tapi itu akan memudahkan kita untuk membersihkan infestasi ini."

"Bagaimana bisa? Zombie yang tertarik umpan pasti akan kembali lagi, kan?"

"Tidak. Kita hanya perlu membunuh zombie mutan yang memimpin pasukan zombie disana. Mereka sepertinya bisa berkomunikasi dengan cara mereka masing-masing. Kita bunuh pemimpin mereka, kita dapatkan pangkalan militernya."

"Rencana yang bagus. Tapi siapa yang mau menjadi umpannya?" tidak ada yang berbicara setelah itu. Karena memang siapa yang mau mengorbankan nyawa mereka hanya untuk menjadi umpan?

"Aku saja." aku kaget saat seseorang bersedia menjadi umpan. Semua orang menatap orang itu, dan dia adalah Ian.

"Kau yakin Ian? Akan banyak zombie yang mengejarmu." aku bertanya ragu.

"Aku sangat yakin. Kau sudah pernah menyelamatkan nyawaku sekali nak. Dan kurasa ini waktu yang tepat untuk balas budi." aku tidak bisa menemukan keraguan diwajah Ian. Ian sepertinya memang benar-benar yakin untuk melakukan ini. Justru aku sendiri yang ragu kalau Ian benar-benar ingin melakukan ini.

"Jangan khawatir nak. Aku pasti selamat. Tapi maafkan aku jika nanti aku berubah menjadi salah satu dari mereka dan mulai memburu kalian. Percayalah, itu bukan aku. Aku melakukan ini, agar aku tak punya hutang pada kalian." Ian mencoba meyakinkan kami bahwa ia memang ingin melakukan ini. Tapi aku tak tega bila harus melihat Ian menjadi umpan para kanibal ini. Aku juga tak mau menggantikan posisi Ian, tidak satupun dari kami ingin menggantikan posisi Ian.

"Baiklah. Kalau begitu, Ian yang akan menjadi umpan. Sisanya, ikut aku membersihkan infestasi itu." ucapku layaknya seorang pemimpin. Rencana sudah ditetapkan, kami hanya perlu melaksanakan.

"Istirahat dengan cukup, makan apa yang ingin kalian makan. Karena besok, kita akan bertarung." kami semua bubar, senja sudah menyapa, waktunya untuk kami istirahat.

Waktu terasa berjalan lebih cepat kali ini. Suasana saat malam hari ternyata jauh lebih mengerikan dibanding siang hari. Udara dingin yang menusuk, suara erangan dari zombie, bulan purnama yang bersinar terang menambah kesan horor saat itu. Semua orang sudah tidur saat itu, hanya aku yang masih terjaga. Sulit bagiku untuk hanya sekadar memejamkan mata. Lalu aku memutuskan untuk mencari udara segar. Aku membuka pintu rumah, seseorang sedang duduk diteras. Itu adalah Ian.

Aku kemudian duduk disamping Ian. Entah kenapa aku merasa sedikit bersalah saat Ian mengajukan diri untuk menjadi umpan. Aku tahu, Ian sendiri yang menginginkannya, tapi aku tidak bisa menyingkirkan rasa bersalah ini. Rasanya ingin sekali menggantikan posisi Ian, tapi aku tidak bisa. Aku terlalu takut untuk berada di posisi Ian saat ini.

"Tidak apa-apa jika kau ragu. Aku bisa mencari seseorang untuk menggantikanmu." aku membuka percakapan.

"Bukan itu yang sedang kukhawatirkan. Aku khawatir soal keluargaku. Aku mengkhawatirkan anak dan istriku." Ian menunjukan liontin hati yang sedang ia pegang tadi. Disana terselip foto dirinya, seorang wanita dan seorang anak perempuan.

"Aku dan istriku bertengkar hebat sehari sebelum peristiwa ini terjadi. Aku berkata bahwa aku tak lagi mencintai anak dan istriku, lalu aku pergi. Kemudian bencana ini terjadi, dan aku menyesali semua yang sudah kukatakan pada anak dan istriku. Aku ingin kembali dan memperbaiki kesalahan terbesar yang pernah kubuat. Tapi kau tidak bisa mengubah masa lalu. Kau hanya bisa belajar sesuatu darinya. Dan aku harap, dengan aku menjadi umpan bisa menebus kesalahan yang telah kuperbuat pada anak dan istriku." apa yang Ian katakan membuatku tak bisa bicara. Seperti inikah penyesalan seorang ayah terhadap kesalahannya pada anaknya? Seandainya ayahku masih disini.

"Sudahlah, lebih baik kau tidur. Besok akan menjadi hari yang berat untukmu." Ian beranjak masuk kedalam rumah, meninggalkan diriku yang masih duduk disana.

To Be Continued

The True Zombie ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang