Akhirnya kami bisa setidaknya pergi dari kota. Kami bisa menemukan tempat yang lebih aman, atau setidaknya tidak terlalu banyak zombie. Kami tidak bisa menetap disatu tempat, meskipun kami punya banyak makanan dan amunisi. Kami mungkin bisa bertahan hanya untuk beberapa bulan, sampai kami kehabisan makanan dan amunisi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain disaat seperti ini memanglah berbahaya, tapi menetap dan bertahan disatu tempat jauh lebih berbahaya.
Perjalanan ke Macon cukup jauh, memakan waktu sekitar enam jam. Matahari perlahan mulai menampakan sinar terangnya, yang berarti waktu sudah menjelang pagi. Semua teman-temanku sedang tertidur, hanya aku dan Ian yang sedang menyetir.
Aku kemudian pindah duduk dikursi disebelah kemudi, Ian mungkin bosan hanya melihat jalanan sendirian.
"Terima kasih sudah mengizinkan kami meminjam senjatamu." aku memulai pembicaraan, Ian pasti butuh teman ngobrol.
"Bukan masalah. Karena kau dan teman-temanmu aku juga bisa keluar dari kota mati itu dengan selamat." Ian tersenyum, mungkin ia merasa senang hati bisa membantuku dan teman-temanku.
"Ngomong-ngomong, apa kau punya keluarga?" tanyaku. Disaat seperti ini berbicara soal keluarga bukanlah topik yang tepat, dan aku sendiri terlambat menyadari hal itu.
"Keluarga ya? Aku melihat sendiri anak dan istriku menjadi bagian dari mereka. Lalu aku lari menyelamatkan diri ke toko senjata itu." jawab Ian dengan nada bicara pelan. Sekarang aku mengerti kenapa Stephanie menangis, melihat seseorang yang kau sayang berubah menjadi seekor kanibal, adalah hal yang paling menyakitkan disaat seperti ini, aku bisa menjaminnya.
"Aku turut berduka, aku sangat berterima kasih kau telah mengizinkan kami meminjam senjatamu." aku memang sudah tidak punya keluarga, tapi aku bisa merasakan bagaimana sakitnya saat melihat seseorang yang aku sayang berubah menjadi zombie.
"Bukan masalah yang besar, lagi pula itu bukan toko senjataku. Aku melihat penjaga tokonya dikerumuni kanibal itu saat mencoba kabur dengan mobil disebelah toko." Ian kemudian tersenyum. Hm... pria yang cerdik. Ian memanfaatkan keadaan dengan berpura-pura sebagai penjaga toko dan membiarkan kami mengambil senjatanya asal ia ikut dengan kami.
Biasanya aku sangat menikmati perjalanan kemanapun itu. Tapi tidak sekarang, apa yang biasa aku lihat sangat berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat sekarang. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa memanjakan mata, hanya ada mayat-mayat hidup yang haus akan darah. Tidak ada lagi suara mobil yang ku dengar, hanya jeritan orang yang meminta bantuan. Aku sebenarnya tidak tega melihat pemandangan ini. Tapi apa boleh buat, tidak ada lagi yang bisa aku pandang. Aku akan segera terbiasa.
Matahari sudah berada diatas kepala, tapi suasana disini masih gelap. Awan hitam menutupi matahari untuk memperlihatkan sinarnya. Tapi begini lebih baik, matahari pun tidak akan sudi menyinari para kanibal itu.
Entah kenapa aku merasa perjalanan ke Macon ini terasa sangat jauh. Biasanya seberapa jauhpun jarak yang ku tempuh tidak akan terasa lama. Padahal jarak dari kota tempatku tinggal ke kota Macon tidak terlalu jauh.
"Apa perjalanannya masih lama?" aku mulai bosan, aku juga belum melihat ada kota diujung jalan.
"Entahlah, aku bahkan hampir tidak mengenali bumi ini lagi." Ian berkata miris, kiamat memang baru terjadi kurang dari 24 jam, tapi dunia yang penuh warna kini menjadi planet yang hanya tersisa hitam dan putih. Gedung yang terbakar dimana-mana, kanibal yang berkulit pucat sudah menjadi populasi terbesar dibumi ini. Hanya beberapa orang yang selamat dari kiamat ini, orang yang masih memiliki akal sehat.
Akhirnya kota Macon yang dinanti-nanti sudah terlihat oleh mata. Tapi, ini bukan kota Macon yang kukenal. Kota Macon yang ada dibayanganku sangat berbanding terbalik dengan apa yang terlihat didepan mata. Tidak ada kota Macon yang dipenuhi gedung-gedung kaca, hanya ada sisa-sisa gedung yang habis terbakar, atau gedung yang sudah dipenuhi oleh ribuan mayat hidup.
"Welcome to Macon City." ucap Ian dengan tersenyum miris, melihat keadaan kota Macon yang juga hampir rata dengan tanah. Akupun juga tersenyum miris, sepertinya sudah tidak ada lagi tempat aman didunia ini. Kemanapun kau berlari, mereka pasti selalu hadir. Kami sudah tidak punya lagi pilihan. Bertahan hidup, atau menjadi bagian dari mereka.
Kami mulai memasuki kota Macon, dan aku membangunkan teman-temanku yang sedang tertidur lelap. Mereka kelihatan sangat lelah, aku juga. Kami semua lelah. Tapi jika kami hanya diam, itu sama saja bunuh diri.
"Ayo bangun dan bersiaplah, kurasa kita akan mendapat sambutan." aku mengambil senjata jenis shotgun, Alex Sub-machine gun, para gadis membawa handgun, sementara Zack membawa Light Machine-gun. Ian membawa kami masuk ke kota Macon. Dugaanku benar, tak lama setelah kami masuk, kami langsung diserbu oleh ribuan mayat hidup dari berbagai arah. Aku menendak pintu RV dan keluar pertama menembaki zombie yang mulai mendekati RV. Shotgun tidak pernah mengecewakan untuk jarak dekat. Teman-temanku satu persatu mulai keluar dari RV dan membantuku menembaki zombie. Tapi aku tidak melihat Ian dan Zack keluar RV.
"Mereka terlalu banyak!" aku berteriak. Aku masih tidak melihat Ian dan Zack. Aku merasa zombie itu semakin banyak.
"Sial! Peluruku habis!" kataku.
"Peluruku juga!" ucap Alex. Sekarang kami terpojok, sepertinya peluru gadis-gadis juga sudah habis. Aku mulai bertanya-tanya soal dimana Ian dan Zack. Apa mereka terlalu takut untuk keluar?
Kami sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Kami sudah dikepung oleh ribuan mayat hidup yang siap merubah kami menjadi bagian dari mereka. Sementara aku masih bertanya-tanya, dimana Zack dan Ian? Dimana mereka disaat kami membutuhkan mereka?
"Bersiap untuk mati!" teriak Zack yang baru keluar dari RV membawa Heavy Machine Gun atau Gatling gun atau apalah itu dan dengan brutal menembaki semua zombie yang mencoba mendekati kami. Sementara Ian berdiri diatas RV dan menemembaki zombie dengan Light Machine-gun.
"Yang lain, ikut aku! Kita ambil amunisi baru!" kataku dengan lantang. Kami berlari menuju RV dan mengambil amunisi yang bisa kami bawa. Beberapa dari kami mengganti senjata dan membawa senjata tambahan.
Kami segera kembali membantu Zack dan Ian. Mereka sangat banyak, aku berani jamin. Kami memang kalah jumlah, tapi kami masih punya harapan, selama kami masih punya senjata dan amunisi.
"Reloading!" Zack berteriak, memberikan tanda bahwa ia akan mengisi ulang pelurunya. Dan mengisi ulang peluru Heavy Machine-gun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Kami mencoba untuk melindungi Zack selama ia masih mengisi peluru. Aku merasakan perasaan ini lagi, rasa tegang bercampur senang saat aku membunuh zombie itu satu persatu. Selama ini aku hanya membunuh zombie di video game, dan ini seperti fantasi yang menjadi nyata.
Entah mengapa aku merasakan kehadiran orang lain selain kami. Maksudku bukan zombie, tapi orang sepertiku, orang yang masih memiliki jiwa dan akal sehat. Aku merasakan ada survivor lain.
Benarkah ada survivor lain selain Darren dan kelompoknya? Jika benar, lalu siapa?
Tunggu chapter selanjunya!Next Chapter:
Chapter 6 - Is Somebody There?
![](https://img.wattpad.com/cover/65379065-288-k304399.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The True Zombie Apocalypse
Science FictionManusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Tapi pantaskah seorang manusia disebut sempurna sementara keserakahan menguasai dirinya? Dan pernahkah kalian membayangkan hancurnya dunia karena keserakahan seorang manusia? Ya, itu terjadi sekaran...