"Udah nih, Bu?" Tanya Aisy dengan wajah kesal sambil berdiri di hadapan Ibu, yang ditanya hanya mengangkat kedua ibu jarinya.
"Kamu cantik! Kata Ibu juga 'kan, kamu harusnya pake dress ini, jadi kelihatan anggun, sopan, manis, can--" ucapan Ibu terpotong dengan suara Aisy yang setengah memelas.
"Iya, Bu, iya," Ibu hanya tertawa. "Mau ada tamu aja aku harus dandan gini," gerutu Aisy sambil memperhatikan dirinya di depan cermin. Dress pink soft melekat di tubuhnya, gelang emas putih melingkar di tangan kirinya, rambutnya di kepang biasa dengan rambut yang menjuntai indah disamping pipinya, make up tipis dan sepatu high heels 10 cm berwarna putih. Aisy tak menyangka bahwa bayangan itu dirinya. Kepangannya membuat dirinya seperti gadis desa, namun kata Ibu, "Kamu malah jadi kembang desanya, Ais!"
"Ayo turun! Tamunya sudah datang," ajak Ibunya lalu menggandeng tangan Aisy. Entah mengapa Aisy rasanya seperti pengantin yang akan menemui suaminya, karena apa? Dia dituntun Ibu untuk berjalan!
"Emang tamunya siapa, sih, Bu? Kok kayaknya penting banget," Aisy melirik sekilas tamu yang sedang berbincang-bincang dengan Ayahnya yang keadaannya sudah membaik. Matanya membelalak melihat kurir yang kemarin, duduk diapit dua orangtua yang seumuran dengan Ayah dan Ibunya.
"Mereka 'kan calon besan Ibu," Aisy menoleh terkejut. Tak percaya bahwa dirinya akan dinikahkan dengan seorang kurir. Aisy melepaskan tangannya yang digandeng Ibunya lalu berbicara dengan suara tertahan.
"Tapi dia kurir, Bu! Aku gak mau! Aku gak akan nerima dia!" Ibu menatap Aisy bingung.
"Loh? Masa kamu gak mau sama dia?" Aisy melihat lagi laki-laki yang menjadi kurir itu sedang mengobrol dengan Ayahnya. Ibunya lalu menarik Aisy untuk segera ke lantai bawah. Aisy berjalan terseok-seok karena menggunakan sepatu hak tinggi, namun diusahakan untuk tetap menjaga keseimbangan agar tak memalukan diri sendiri di depan tamu-tamu 'penting' itu.
"Ibu!" Ucapan Aisy tak digubris Ibunya. Semua orang yang berada disana menoleh kearah Aisy dan Ibunya. Ibu Aisy hanya tersenyum lalu duduk disamping suaminya membuat Aisy bingung ingin bagaimana.
"Nah, ini dia menantu kita," ucap seorang ibu dengan senyum terpatri diwajahnya. Aisy yang mendengar itu hanya bisa tersenyum sambil mengangguk sopan. Lalu berjalan mendekati Ayahnya agar bisa duduk disebelahnya juga. Ayah dan Ibunya memberi jarak diantara mereka sehingga Aisy sekarang juga diapit orangtuanya. Dalam hati Aisy merutuk semua ini.
"Cantik banget, loh, ya 'kan, Ban?" Tanya seorang laki-laki tua kepada pemuda di sampingnya. Yang ditanya hanya mengangguk lalu mengacungkan jempolnya setuju.
"Jadi, Om, kapan tanggalnya?" Mata Aisy membelalak. Tak menyangka bahwa pemuda kurir yang tadi memperhatikannya langsung bertanya seperti itu kepada Ayahnya.
"Ayah! Aku gak mau!" Ucap Aisy lantang membuat semuanya menatap Aisy dengan wajah bingung. Ibunya hanya mencubit perut Aisy membuat gadis itu hanya meringis kecil.
"Gak mau apa, sayang?" Tanya wanita tua dihadapannya. Sebenarnya Aisy tak bermaksud untuk bersikap tidak sopan, hanya saja....sebelum semuanya terlambat, lebih baik Aisy berkata jujur, 'kan?
"Gak mau nikah sama dia!" Tegas Aisy sambil menatap pemuda dihadapannya. Semua orang menatap Aisy dengan dahi yang berkerut. Semuanya hening hingga akhirnya pemuda itu tertawa terbahak-bahak diikuti semua orang yang di sekelilingnya. Bahkan Caca yang saat ini dipangkuan Astrid pun ikut tertawa.
"Loh? Siapa yang mau nikah sama lo?" Tanya pemuda itu di sela-sela acara tawanya.
"Loh?" Aisy ikut bingung. Jadi siapa yang ingin menikah dengannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Merah Jambu
Cerita Pendek[WARNING!!! 3 part terakhir aku private buat yang mau baca silahkan follow aku lebih dulu.] Ku tuliskan semuanya untukmu Untuk dirimu yang memberikan senyuman terbaik setiap hari Dirimu yang mengajarkanku apa arti itu kebahagiaan Dan, dirimu yang ak...