Hari itu, lima bulan yang lalu, aku duduk di barisan tengah dan memandang orang yang sama. Tak ku hiraukan sepasang suami isteri yang sedang berbahagia di depan sana. Di mataku hanya ada lelaki itu, seorang penyanyi gereja yang sedang melantunkan suara indahnya bersama anggota paduan suara lain.
Riuh pikuk para tamu dan keluarga yang terisak dalam suka cita atau sekedar berbincang tak mengalihkanku dari lantunan suaranya yang syahdu. Suara yang lembut dan harmonis itu memekakkan telingaku.
Cepat-cepat aku keluar dari gereja setelah dipaksa berfoto dengan Hyerin noona dan suaminya. Di ambang pintu kulihat lelaki itu berdiri, berbincang dengan tamu. Ingin rasanya aku tertawa. Siapa yang sedang aku bohongi sekarang?
“Jeonghan!” sebisa mungkin aku tulikan telingaku, berharap itu hanya imajinasiku dan berlalu menuju gerbang. Namun dipanggilan kedua tangan itu menahanku. Tuhan, aku tak sanggup berhadapan dengannya. Sambil mengumpulkan keberanian, kupalingkan tubuhku dan kupasang senyum paling palsu yang aku punya. “Hei, maaf aku tidak melihatmu, Joshua.”
“Tidak apa-apa,” jawabnya singkat. Kemudian semua menjadi canggung. Dua orang wanita yang tadinya mengobrol dengan Joshua perlahan mundur dan meninggalkan kami berdua. Aku sendiri masih sangat terkejut.
Untuk apa kamu menyapaku hari ini? Ingin rasanya aku bertanya. Namun nafasku tercekat ditenggorokkan. Ia lebih dulu membuka mulut, “Maaf.”
Dalam hati aku tertawa. Sekarang aku tahu ke arah mana pembicaraan ini akan menuju. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Joshua. Kamu tidak punya salah apapun denganku.”
Senyum itu muncul di wajah Joshua, senyuman akrab yang sudah dua tahun ini aku lihat. Senyuman itu pula yang membutakan hatiku dan menulikan telingaku. Mataku melirik ke tanganku yang masih digenggamnya, begitu lembut seperti sebuah mimpi indah. Dan memang Joshua hanya sebuah mimpi untukku. Aku sadar ketika ia menarik tangannya, rupanya dia menangkap pergerakkan mataku dan menyadari apa yang sudah dilakukannya.
“Setelah kejadian itu kita menjadi sangat canggung. Aku takut kau akan membenciku,” Joshua kembali bicara.
Aku tertawa getir, “Aku tidak sanggup membencimu, Joshua.”“Baguslah. Aku hanya tak ingin memutuskan hubungan kita. Walaupun kamu berubah seperti ini, walaupun keyakinan kita berbeda dan sekarang aku tahu orientasimu-” jeda, Joshua menatapku ragu, mungkin memilah kata-kata yang benar untuk sekedar menyenangkanku. “-menyimpang...”
“Aku harus pergi sekarang-”
“Kita harus menyelesaikan ini, Jeonghan.”
“Tidak ada yang perlu diselesaikan, aku sedang buru-buru-”
Aku berbalik dan beranjak pergi sampai lagi-lagi tangan itu meraih bahuku. Joshua memutar tubuhku setengah memaksa. Rambut merah gelapku yang sudah mencapai bahu sedikit menampar wajahnya saking kuatnya Joshua menarikku. “Aku hanya ingin bilang kamu tetap sahabatku, Jeonghan. Setelah seminggu ini aku berpikir, mungkin aku bisa menerima keadaanmu,” ujarnya seolah-olah aku sudah gila, seolah-olah aku sakit.
“Bagaimana bisa aku melihatmu kembali seperti sahabatku, Joshua? Aku mencintaimu. Seperti Hyerin noona dan suaminya. Seperti ayah dan ibumu mencintai satu sama lain. Kita tidak akan kembali sama seolah itu tidak pernah terjadi, aku yang tidak bisa. Semua sudah selesai sejak aku menjadi makhluk paling kotor dimatamu!” aku menatapnya nanar. Habis sudah pertahananku. Kupalingkan tubuhku dan bergegas meninggalkannya.
Memang sejak awal aku tak seharusnya keras kepala memerjuangkan Joshua.
--
Entah berapa lama sudah aku berjalan. Matahari sudah lama tertidur. Jas hitam yang awalnya aku kenakan tersampir di pundak dan dua kancing teratas kemejaku terbuka. Sepasang sepatuku yang tadinya mengkilap kini berlapis debu, menapak pelan diatas bata merah yang berjejer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Vows
FanfictionA Jeongcheol Fanfic "Janjiku terikat dalam darah. Darahmu yang mengalir dalam uratku.Aku tidak pernah menjadi parasit pada inang yang sama untuk waktu yang lama seperti denganmu. Aku tidak pernah kecanduan siapapun selain dirimu. Aku tidak pernah me...