In Regards to Love: Agape

1.7K 162 56
                                    

a.n: kindly check author's note di bawah, ada pengumuman dikit 

p.s. Yuri!!! on Ice fan anyone? kkk

.
.

    "Kau tahu, kami tidak bisa bermimpi. Jika aku bisa bermimpi dalam tidurku, aku ingin sekali saja memimpikan kehidupan bersamamu. Jauh dari kota dan manusia-manusia egois, dengan 11 anak yang kita adopsi dan seekor anjing. Cukup membayangkannya aku sudah sesenang ini..."

    Pagi-pagi sekali Seungcheol mulai berandai-andai. Pandangannya jauh memandangi langit-langit yang sepi. Waktu itu tak kurasakan sedikitpun ada yang lain dari nada suaranya. Untukku, pagi itu Seungcheol hanya lelaki biasa, bermimpi tentang masa depannya. Sungguh kadang aku berharap aku bisa lebih peka di saat-saat seperti ini.

    Alih-alih aku menjawab dengan antusias, "Kalau begitu ayo. Kita pergi dari tempat ini. Kau dan aku. Kemanapun asal bersamamu, bahkan maut pun takkan memisahkan kita," ucapku. Keraguan itu belum kurasakan ketika Seungcheol kembali bertemu mata denganku; meski begitu jelas lapisan air mata di sana.

    "Pasti akan menyenangkan." Ucap Seungcheol lirih.

    Getir itu muncul tiba-tiba di pangkal lidahku pada pagi yang tak bisa ku ramal alur ceritanya. Berbanding lurus dengan kata yang akan diucapkan Seungcheol, suasana hatiku terjun bebas sekali kata itu meluncur dari bibirnya.

    "Tapi, Jeonghan, kadang sekuat apapun seseorang berusaha, apa yang diinginkan takkan selalu sampai padanya." Seungcheol mengulurkan tangannya, meraih sisi wajahku dan menyentuhnya lembut. Ibu jarinya menggambar lingkaran kecil di pipiku, rasa yang ingin aku rasakan selama ragaku mampu.

    "Aku tidak percaya dengan kata 'selamanya'," Seungcheol melanjutkan kalimatnya. "Maka dari itu aku tak pernah terikat pada apapun dan siapapun. Bahkan padamu, aku tahu setiap saat aku bisa saja kehilanganmu."

    Pikiranku campur aduk. Aku tak tahu harus merasakan apa. Bingung memenuhi tengkorak kepalaku sampai tumpah ruah.

    "Maka, Jeonghan, jika semesta mengutuk perasaan kita ini, aku harap kamu ingat semua yang terjadi hanyalah mimpi yang akan dibangunkan oleh kematian. Aku akan mencintaimu, tetapi tak pantas jika aku hancur lalu menyalahkan rasa sakit itu pada kehilangan dirimu. Kamu tetap akan menjadi hal terindah yang pernah datang padaku." Sekali lagi senyum itu melengkung di wajah Seungcheol. Ia mendekat sampai bibir kami bertemu, hanya ciuman biasa tanpa keinginan mendominasi satu sama lain.

    Kudorong pelan tubuh Seungcheol, mengunci pandangannya sambil membaca raut wajahnya. "Apa maksudnya itu?" tanyaku, tak tahan dengan rasa penasaran oleh kalimatnya.

    Seungcheol menggeleng sebagai balasan, "Tidak ada. Aku hanya ingin kamu tahu kalau kamu berharga, penderitaan dan kesedihan tidak cocok untuk seseorang sepertimu. Sudah sepantasnya kamu dicintai, Jeonghan. Sudah sepantasnya kamu bahagia."

    Aku menghela napas lega. Jika memang begitu adanya, sungguh aku bersyukur Seungcheol datang di tengah carut marut hidupku. Setengah duduk kutangkup wajah Seungcheol, menenggelamkan diri dalam matanya yang kelam.

    "Kalau begitu, bahagiakanlah aku. Cintai aku, Seungcheol," pintaku seraya mengecup bibirnya singkat.

    Seungcheol mengangkat wajahnya dan meraih bibirku, menarikku dalam pagutan yang dalam dan basah. Ia bangkit dan membawaku duduk di pangkuannya tanpa melepaskan ciuman kami. Sepasang tangan besar yang menahan pinggang dan menjelajah punggungku seolah membakar kulit. Susah payah kutelan lenguhan yang nyaris keluar dari bibirku; Seungcheol sibuk meninggalkan jejak kepemilikannya di leher dan pundakku.

Blood VowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang